(Bagian 9, Novel Bocah Bintan, Menggugah Harapan Dan Jiwa)
Siang itu selepas pelajaran sekolah usai, aku, Anhar, Riko dan Bambang mempunyai rencana untuk menjenguk Paito di rumahnya, karena sudah beberapa hari ini dia tidak masuk sekolah, setelah ibunya meninggal Paito seperti sudah kehilangan semangat lagi untuk melanjutkan sekolah, sebagai sahabatnya kami juga merasa ada yang hilang dalam kehidupan kelas kami, biar bagaimanapun Paito adalah teman kami yang baik, beberapa hari ini kami kami hanya menyaksikan kursi di bagian belakang tempatnya biasa duduk selalu kosong. Kami harus membantunya, bagaimanapun juga dia harus terus bersekolah, itu sudah menjadi janji kami bersama saat istirahat di taman pemimpi.
Setelah perbincangan kami di warungnya babah Sompret pada saat keluar main, kami bersepakat untuk membantu Paito, khususnya memastikan dia bisa ikut bersekolah dan bisa lulus dari SD.
“Darimana kita nak mulai, Har ?’’, tanya Riko sambil memakan kue jajanannya. “Aku khawatir kalau paito sudah tak payah lagi ke sekolah, dia pasti pilih bekerjalah Har !” belum sempat Anhar menjawab, Bambang yang dari tadi menyedot pipet jus jeruknya ikut menimpali pertanyaan Riko.
“Engkau ada usulan tak Qi..? ”, tanya Anhar padaku.
“Yang jelas menurutku, dia pasti butuh biayalah untuk rumah dan biaya sekolahnya, agar pikirannya tak terganggu dengan mencari biaya sekolah, bagaimana jika kita minta Wicksono untuk meminta bantuan ayahnya memberikan bantuan uang sekolah,” usulku kepada Anhar.
“Yah, aku setuju dengan usulan itu, sementara untuk membantu Paito bisa belajar dengan baik, aku nak sarankan kite buat kelompok belajar kecil dengan dia, aku siap saja membantunya dan mungkin bantuan teman-teman lainnya, gimana ?” tandas Anhar kepada kami.
“Setuju……!!! ” serempak kami menjawab, membuat babah Sompret keheranan sambil tetap tangan kanannya mengayunkan kipas bututnya.
“Ada apa kalian nih!” mana si Mail bilang sama dia babah mencarinya utangnya sudah banyak di warung nih, bisa bangkrut oe,” ketus babah sompret kepada kami.
“Wah kalau itu urusan Mail ko,,,kita orang nih pantang berutang,“ sindir Bambang.
“Tapi Ko,,,untuk Hari ini aku hutang dulu yah ko..!,” kata Riko
“Dasar Sompret engkau orang yah….!” mengumpat kami semua yang terlanjur lari meninggalkan warungnya, karena lonceng masuk pelajaran akhir setelah istirahat kedua sudah berbunyi.
“Besok Insya Allah kami kami bayar ko..! jangan kuatir,” sedikit aku berteriak kepadanya.
**
Berempat kami segera meluncur dengan mengendarai sepeda BMX , menelusuri jalan kecil di daerah kampung Pisang menuju rumahnya Paito di daerah barak motor. Akhirnya kami sampai di rumahnya Paito, namun nampak tak ada tanda-tanda orang di dalamnya suasananya sepi dan senyap. Pekarangan rumahnyapun sedikit tak terurus, beberapa sampah dedaunan pohon ketapang di samping rumahnya yang sederhana menumpuk di atas tanah.
“Assalamu ‘alaikum !!” Riko memberikan salam seraya mengetuk pintu rumahnya, kami bertiga dibelakangnya hanya melirik ke setiap sudut rumahnya.
Setelah dua kali ucapan salam kami akhirnya terjawab oleh suara laki-laki yang sedikit lemah, yang menurutku adalah suara ayahnya Paito yang sedang terbaring sakit.
“Wa’alaikum salaam , siapa ?“ tanya suara itu dari dalam.
“Kami, temannya Paito Pak !” jawabku
“Masuklah, pintu tak dikunci,“ Perintah Ayahnya Paito.
Akhirnya kami berempat perlahan masuk kdalam rumahnya Paito, menghampiri ayahnya yang hanya bisa baring di kasur dekat sofa kursi tamu, setahun terakhir ini setelah stroke yang membuat tubuh bagian kirinya menjadi lumpuh, sehingga jalanpun tak sanggup.
“Duduklah nak,,maaf yah berantakan rumahnya,“, tutur ayahnya Paito
“Tak apalah pak Cik , kami berempat nak ingin ketemu Paito,“ ungkap Anhar.
“Sepertinya tak ada yah pak Cik, beberapa hari ini dia tak sekolah,“ imbuhku kepada ayahnya.
Dengan menghela napas agak panjang, ayahnya Paito menerangkan kepada kami semua yang duduk di atas lantai hanya beralaskan tikar butut.
“Sejak ibunya meninggal, dia sepertinya kehilangan semangat, sempat dia bilang, nak ingin kerja saja langsung biar bisa membantu keluarga,” kami berempat mendengarkan dengan serius.
“Pak cik merasa menyesal karena keadaan ini, menyebabkan dia harus mencari uang, sejak sepekan ini kalau tak ada kapal yang masuk dia jualan es lilin di pasar barak motor sana,” miris hati kami mendengar kabar Paito teman kami tersebut harus mengorbankan usia belajarnya untuk mencari kerja.
“Lantas dimana Paito sekarang, pak Cik ?” tanya Anhar.
“Mungkin sekarang ini dia ada di pelabuhan bersama bang Togar teman kerja pak Cik di pelabuhan,“ terang ayahnya Paito.
“Baiklah pak Cik, kalau begitu kami semua nak kesana jumpa dengan Paito,“ imbuh Bambang saat itu.
Segera saja kami berempat mengayuh sepeda menuju pelabuhan yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari daerah barak motor, selang 15 menit kami semua telah sampai di daerah pelabuhan, setelah memarkirkan sepeda kami bergegas masuk menuju kawasan pelabuhan yang memang tidak terlalu ketat penjagaannya.
Mata kami menyapu dari kejauhan dimana gerangan Paito berada.
“Nah itu die…!” teriak Riko sambil telunjuknya menuju ke arah Paito yang sedang duduk memegang alat pancing di sisi paling kiri dermaga pelabuhan.
Berempat kami segera menghampirinya, sambil Bambang berteriak memanggil namanya,“ Paitoooo…..woi paito…!”. Spontan dari kejauhan Paito menoleh ke arah suara datang dan tangannya tetap saja memegang alat pancingan.
Dia hanya tersenyum tipis dari kejauhan menyambut kedatangan kami yang sedikit berari ke arahnya.
“Hai…kalian semua, ayo ikut mancing, lumayan bisa di bawa pulang untuk disantap makan malam nanti,“ jawab enteng Paito.
Aku melihat beberapa ekor ikan seukuran kepalan tangan sebanyak 3 ekor dalam ember penampungan yang sudah dia dapatkan. Kami berempat akhirnya duduk disampingnya sambil menemaninya mancing.
“To…tadi kami dari rumah engkau, kata ayahmu engkau ada disini,“ Anhar membuka pembicaraan, sementara paito hanya dingin menanggapinya, matanya hanya fokus dengan umpan yang sesekali bergerak di makan ikan.
Aku hanya melihat guratan wajah Paito yang begitu keras, namun sepertinya dia tidak terlalu terbebani dengan persoalan hidupnya.
“To,,abang pulang duluan yah, sampaikan salamku pada ayahmu..!” teriak seorang lelaki kekar dari kejauahan, dia bang Togar rekan kerja ayahnya Paito sewaktu sehat.
“Iya,,bang.” balas Paito.
“Sejak kapan engkau mancing To..? “, tanya Riko
“Yah, aku hanya sesekali saja biasanya mancing kalau sudah kapal berlayar, yah kadang sampai jelang maghrib baru aku pulang,“ jawabnya
“Wah lumayan juga hasil tangkapanmu To,“ tegur Anhar
“Lantas kalian nak datang menemuiku untuk apa ? mengajak aku sekolah lagi ?” ungkap Paito datar.
“Begini To, aku nak sampaikan salam teman-teman kelas semua untukmu. Kami berempat kesini juga atas nama teman-teman sekelas jugalah, mereka semua nak inginkan engkau bisa kembali masuk ke sekolah,“ ungkap Anhar.
“Jangan kuatir To, kami semua telah bersepakat untuk saling membantu, yang penting engkau harus kembali belajar, ingat juga pesan ibumu dulu engkau harus terus sekolah supaya bisa jadi orang sukses,” tambah Bambang menjelaskan.
“Mungkin ini memang sudah jalan takdir bagiku teman, sekolah tak tinggi dan hanya jadi kerja-kerja kasar seperti ini, aku juga kasian melihat adik-adikku yang masih kecil,” balas Paito sambil wajahnya menoleh ke arah kami semua.
“Paito, kami orang semua nih sudah rundingkan tentang engkaulah, seperti pesan pak Arif kita ini seperti satu tubuh, kalau satu yang merasakan sakit maka sakit semualah satu badan tuh,” Riko sedikit meyakinkannya.
“Wicaksono sudah menyampaikan ke kami juga bahwa ayahnya akan menjadikan engkau dan adik-adikmu sebagai anak asuhnya, semua biaya sekolahmu akan di tanggungi juga To..!, bahkan perusahan Antam akan memberikan bantuan bea siswa juga,“ jelas Bambang lagi kepadanya.
“Tapi aku merasa selalu tertinggal dan susah menyerap dalam pelajaran, tak seperti engkau Har,“ balas Paito dengan nada keraguan
“Eiiits tunggu dulu, kita orang ini semua dah diciptakan tak samalah , tapi yang tak boleh tidak adalah semangat tak boleh luntur dalam hati dan harus saling membantu, karena itu kami telah sepakat membentuk kelompok belajar untukmu juga, macam mana Qi ?” Tanya Anhar kepadaku.
“Yalah,,,aku setuju !!!” sambil kuacungkan 2 jempolku ke arahnya.
“Jangan engkau liat dari situnya saja To,,,aku yakin jalan takdir kita sudah ada sejak lahir, kita ini tinggal berusaha saja, siapa tahu engkau jadi orang sukses, walaupun kita bebal semua, patut kita inget,,,,,cita-cita dan harapan itu harus setinggi mungkin, kita butuh semangat tuk mencapainya,“ jelasku kesemuanya.
“Yang jelas bu Syaf juga telah merindukanmu….ha,,ha “, canda Riko disambut ketawa kami semua.
Kemudian Anhar mengambil sebuah batu kecil dan melempar sejauh mungkin ke laut dan seteah itu dia menghadap kami dengan penuh semangat,
“Aku sangat yakin , bahwa kelak suatu saat pada jam pelajarannya bu Syaf kita akan buktikan semua siswa akan mengambil buku tugas matematika tidak dilantai, kita akan ambil secara terhormat dan tak perlu memungut buku itu dilantai,” terang Anhar kepada kami semuanya disusul dengan anggukan optimis, khususnya aku dan Riko yang juga langganan memungut buku di lantai.
“Gimana T, engkau berjanji pada kami atas nama teman semua untuk mau bersekolah kembali.?” suara kami memelas kepadanya. Wajah paito kemudian perlahan melihat satu persatu kami dan kemudian seketika berangsur-angsur wajahnya menjadi cerah, lalu dia melemparkan senyumnya kepada kami semua.
“Baiklah, aku akan kembali ke sekolah,” imbuhnya sambil menganggukkan kepalanya.
“Alhamdulillah,,,itu baru namanya Paito!“ ungkap Bambang girang.
“Wah Mihar bakalan merindukan lemparan bola gebokmu To !” ungkap Riko disusul ketawa kami semuanya, kami berpelukan gembira rasa di hati saat itu.
Tiba-tiba umpannya bergerak keras, “ To…tarik To, umpanmu dimakan ikan !! “ teriakku girang kepadanya, kemudian dengan sedikit tenaga Paito menariknya dan walhasil seeokor ikan dengan seukuran dua telapak tangan berhasil dia dapatkan.
“Nah teman-teman, bagaimana kalau ikan yang ini kita bakar untuk kita makan sama-sama yah,” sambil Paito mengangkat ikan tersebut dihadapan kami.
“Ayo, siapa yang takut,“ kata Riko membalas.
Sore itu langit Bintan mulai menuju senja dan angin sedikit bertiup kencang, kami berlima dengan ceria bersama menyantap ikan hasil tangkapan Paito dan kami saling bercengkerama dengan sesekali bercerita tentang bu Syaf yang selalu menjadikan Paito sebagai “murid idolanya “, diriku berguman dalam hati, terima kasih ya Allah Engkau telah memberikan kepada kami nikmat persaudaraan, aku melihat wajah Paito begitu ceria dan sudah barang tentu itu juga menjadi kesenangan kami semua, karena yang penting adalah dia tidak kehilangan semangat, karena aku masih ingat perkataan pak Arif, jika kalian telah kehilangan semangat maka kalian telah kehilangan kehidupan.
**
Keesokan harinya kami sudah menyiapkan sedikit kejutan kepada Paito untuk menyambutnya kembali ke sekolah, beberapa lembar tulisan di dinding kelas untuk memberikan ucapan semangat kepadanya kembali ke sekolah, Agus, Mail, Anto, Sumihar, Herdi, Arga dan wicaksono mereka menulis di papan tulis pesan-pesan teman satu kelas semuanya, dengan kapur warna warni, pokoknya satu papan tulis jadi ramai dengan tulisan kami semuanya, ini semua di kordinir oleh Tri dan Nur Dewi, pokokya semua dbuat indah menyambutnya.
Saat menjelang masuk jam belajar, kami sedikit was-was apakah Paito benar-benar akan bersekolah kembali, padahal waktu jam pelajaran awal sepuluh menit lagi akan masuk. Beberapa teman ada yang mengintip di jendela untuk memastikan Paito masuk dari arah sering dia datang dan pulang sekolah. Akhirnya dari kejauahan kami melihat dirinya sedikit berlari mungkin takut terlambat,,,,akhirnya dia kembali sekolah.
Sontak seisi kelas membuat kejutan kepadanya, drinya tampak kikuk karena yel-yel untuk membangkitkan dirinya begitu riuh didengar dan beberapa kelas dan guru yang sedang lewat kelas kamipun tak ayal dibuat bingung.
“Ayo Paito,,kursi empukmu sudah lama merindukanmu ?” teriak Arga dar belakang.
“Hore,yang jelas ada teman langgananku di hukum di toilet dah tiba “, celetuk Mason singkat.
Kemudian Anhar kedepan kelas dan menyampaikan, “ teman-teman sekalian, hari ini yang penting bagi kita semua adalah kebersamaan, pelangi itu indah dalam perbedaannya tapi mereka menampakkan harmoni yang indah, satu gerak, satu tujuan”.
Yah aku merasakan hari itu sangat bahagia, karena kami bisa menolong teman kami dan menyelamatkan dari putus asa yang menyebabkan dia bisa kehilangan harapan terhadap masa depannya. Kelas itu menjadi saksi atas semangat yang menggelora para siswa kelas 6 kala itu dan disudut ruangan guru tak luput juga turut bahagia, pak Basirun, Pak Arif dan guru lainnya mengucapkan rasa syukur terhadap siswa-siswa mereka. Diam-diam bu Syaf mengintip di balik jendelanya sambil dia membuka kaca matanya, beliau tersenyum simpul melihat anak didiknya tidak patah semangat dan kembali ke sekolah.