Oleh : Dr. Sunarto Sastrowardojo
Sekretaris Forum Socio Engineering Nusantara
Setidaknya ini gambaran saya tentang Ibukota Nusantara dari berbagai media. Pertama saya memang bukan yang berwenang di IKN-Nusantara itu kedua saya hanya orang kecil yang melihat IKN Nusantara dari perspektif yang paling sederhana, paling relevan. Apa itu, masyarakat sekitar Ibukota Nusantara yang paling dekat, yakni Penajam Paser Utara, Kecamatan Sepaku atau Desa Bumi Harapan atau Kelurahan Pamaluan atau RT delapan di desa yang semula bernama Sepaku Empat itu.
Ini dia persepsi yang terbentuk di kepala saya, yakni IKN Nusantara adalah kota baru yang smart, green, sustainable, modern dan futuristic dan berbasis hutan. Nah tentang hutan ini saya berhasil menghibur diri saya sendiri kendati dengan nalar yang cukup dangkal.
Sejauh mata memandang dari lapangan helikopter yang ada di kawasan IKN itu yang terlihat hanya Acacia mangium dan Eucalyptus sp. Setahu saya monokultur itu bukan hutan. Juga pemahaman masyarakat atas sebutan hutan jati di Jawa. Tegakan monokultur itu bukan hutan, tapi kebun.
Saya kagum atas pernyataan Presiden Joko Widodo ibukota berbasis hutan¹. Maksudnya hingga tahun 2035 ibukota Nusantara itu dihutankan kembali dan saya percaya bisa. Ibukota beriklim tropis dan curah hujan cukup tinggi akan tetapi terancam kekeringan, karena selain jenis batuan dan tanah yang memang porositasnya tinggi, saat ini lahan Hak Guna Bangunan milik pengusaha itu, kebun tanaman industri hanya ada acasia mangium dan eucalyptus sp dan hanya memberikan pasokan air baku sekitar 42 persen. Konon jika bendungan itu bisa dikoneksikan ke Sungai Mahakam, akan meningkatkan hingga 69 persen.
Total pasokan air yang ada hingga tahun 2023 menurut data executive summary urban design development KIPP-Ibukota Nusantara adalah 1.000 liter per detik dari intake Sungai Sepaku, 2.000 liter per detik dari Bendungan Sepaku Semoi. Hingga tahun 2030 target yang diharapkan adalah 10.000 liter per detik. Baru pada 2035 dengan selesainya bendungan Batu Lepek.
Perlakuan khusus terutama seputar ketercukupan air bersih bagi hampir 2 juta jiwa di awal 2035 itu adalah air bersih. Perkiraan penyediaan air baku di kawasan itu lewat bendungan Safiak, Beruas, Selamayu selain Batu Lepek dan Sepaku Semoi akan diperoleh angka air baku hingga 12.000 liter per detik.
Artinya kebutuhan air bersih di IKN harus ada alternatif lain dengan memaksimalkan pemanfaatan air yang dilakukan dengan pemanenan air hujan dalam skala rumah, gedung dan kawasan untuk dapat dimanfaatkan kembali atau diresapkan ke dalam tanah. Misalnya melalui green rofftop, tangki penyimpanan air hujan yang bersifat lolos air, permeable serta desain kota lainnya yang bersifat peka air.
Menanam pohon bukan pekerjaan mudah dan sebentar. Kawasan Ibukota Nusantara jika tidak diimbangi dengan solusi bangunan yang merespons kondisi ini akibatnya, kawasan IKN-Nusantara akan kekeringan.
Asia yang juga dikenal dengan gaya arsitektur tropis dengan curah hujan yang tinggi menuntut perlakukan khusus. Apalagi kawasan yang saat ini berpenduduk 36.393 jiwa itu akan jadi ikon internasional Indonesia. Coba bayangkan sekitar dua juta manusia akan hidup di wilayah seluas 1.172 km² atau dua kali luas DKI Jakarta 664,01 kilometer persegi tanpa jaminan air baku yang cukup.
Menurut Ontario Guidelines for Residential Rainwater Harvesting Systems Handbook, pemanenan air hujan (RWH) adalah praktik kuno untuk mengumpulkan air hujan dan menyimpannya untuk digunakan kemudian. Secara umum cara ini tidak asing dan sudah dilakukan oleh masyarakat Kalimantan dengan menampung air hujan ke dalam drum atau alat lain yang lazim digunakan di Pulau Kalimantan.
Sistem RWH yang didengung-dengungkan akan diterapkan di ibukota Nusantara ini terdiri dari tangkapan atap, jaringan angkutan, tangki penyimpanan air hujan, pompa, dan perlengkapan di mana air hujan dimanfaatkan.
Kebanyakan sistem juga menggabungkan teknologi treatment untuk meningkatkan kualitas air hujan sebelum dan atau setelah penyimpanan, dan termasuk ketentuan untuk periode pasokan air dan waktu overflow.
Pertimbangan yang paling penting ketika merancang dan memasang sistem RWH adalah ketentuan provinsi yang bersangkutan dan peraturan, standar, dan peraturan kota. Pertimbangan lainnya termasuk bagaimana desain, instalasi dan pengelolaan sistem RWH dapat mempengaruhi kuantitas air disimpan dan kualitas air hujan dipanen, serta kesesuaian cuaca dingin dari sistem.
Pedoman desain dan instalasi disajikan dalam beberapa bagian, yang diselenggarakan oleh berbagai komponen dari sistem RWH. Komponen-komponen tersebut di antaranya penangkapan air hujan dan pengangkutannya, penyimpanan air hujan dan ukuran tankinya, kualitas air hujan dan penanganannya, water make-up system dan sistem pencegahan arus balik, pompa dan sistem distribusi bertekanan dan ketentuan overflow dan manajemen stormwater.
Pemanenan air hujan merupakan cara yang berkelanjutan untuk menyediakan air yang telah berhasil diterapkan di masyarakat di seluruh dunia. Sistem pemanenan air hujan digunakan di daerah dengan tingkat curah hujan tinggi dalam rangka mengurangi jumlah limpasan permukaan yang terjadi selama curah hujan.
Penurunan limpasan dapat menurunkan risiko banjir lokal sementara, juga mengurangi biaya dan penggunaan energi yang berkaitan dengan penanggulangan stormwater. Pemanenan air hujan juga sangat sesuai bagi masyarakat dengan siklus tahunan musim basah dan kering karena hujan memungkinkan untuk ditangkap dan disimpan ketika peralihan musim terjadi.
Pengalihan curah hujan secara intens dapat membantu mencegah banjir, menyediakan air untuk konsumsi dalam periode kering berikutnya, serta dapat berguna untuk mengisi ulang air tanah. Pemanenan air hujan mendukung penggunaan sumber daya lokal – memanfaatkan curah hujan secara lokal untuk membantu memenuhi kebutuhan air, namun dengan cara hemat uang dan energi.
Menurut Balai Penelitian Agroklimat dan Hidologi dalam lamannya panen hujan merupakan suatu cara menampung air pada musim hujan untuk dapat dipergunakan pada saat musim kemarau.
Secara sederhana panen hujan dapat dilakukan dengan cara memanen atau menampung air hujan dari atap rumah, dengan cara ini air dapat dimanfaatkan untuk keperluan air minum dan rumah tangga.
Sistem panen hujan biasanya dipergunakan untuk keperluan domestik. Sistem ini sangat lazim dilakukan di negara-negara yang sangat rentan terhadap kekeringan seperti di Afrika, India, Srilanka, Iran, Cina, dan di beberapa negara Asia Tenggara.
Di Indonesia, sistem panen hujan yang diaplikasikan di beberapa negara tersebut dapat dijadikan pembelajaran untuk mengantisipasi kelangkaan air terutama di wilayah beriklim kering. Upaya yang dilakukan yaitu dengan menampung air hujan dari atap rumah, terutama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Sistem panen hujan untuk keperluan rumah tangga dengan menampung aliran air dari atap rumah dapat mempergunakan berbagai jenis bak penampung yang sudah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Biasanya air yang ditampung dapat dipergunakan untuk minum, memasak, dan untuk irigasi dalam skala rumah tangga.
Tempat penyimpanan, penampung air dibagi menjadi tiga katagori yakni tanki penampung air di atas permukaan, biasanya dipergunakan untuk menampung air dari atap bangunan, lalu tanki penampung di bawah permukaan, dan reservoir.
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan bangunan penampung air yaitu jumlah penampung yang diperlukan, jenis dan ukuran daerah tangkapan (catchment), jumlah dan distribusi curah hujan, jenis tanah, ketersediaan dana, kemampuan teknis dan pengalaman serta ketersediaan sumberdaya air atau curah hujan.
Tapi menurut saya yang lebih penting, ketimbang teknologi yang terkesan canggih padahal sudah dilakukan oleh masyarakat itu adalah memasyarakatkan pola bangunan memanen air hujan ini.
Hal ini jadi penting agar perhitungan perhitungan matematis atas potensi jumlah air yang dapat dipanen (the water harvesting potential) dapat diketahui melalui perhitungan secara sederhana. Misalnya jumlah air yang dapat dipanen. Luas luas area dikali curah hujan dikali koefisien runoff.
Contohnya begini maksud saya dengan luas area, katakan lah luas atap rumah 200 meter persegi dan jumlah curah hujan tahunan 500 mm, maka volume air hujan yang jatuh di atap tersebut adalah 20.000 dm² x 5 dm sama dengan 100.000 liter dengan asumsi hanya 80% dari total hujan yang dapat dipanen, maka volume yang dapat dipanen adalah 100.000 dikali 0.8 sama dengan 80.000 liter pertahun.
Dimensi tempat penampung air ditentukan berdasarkan kebutuhan air keluarga dan jumlah air yang dapat dipanen. Data yang diperlukan meliputi konsumsi air harian per orang, jumlah orang dalam satu rumah, dan rata-rata musim kemarau terlama.
Sebagai contoh untuk memenuhi kebutuhan sebuah rumah tangga dengan anggota keluarga 5 orang dan konsumsi airnya 20 liter per hari per orang serta musim kemarau terpanjang selama 100 hari, secara sederhana dapat dihitung.
Kapasitas tampung yang diperlukan: 20 x 5 x 100 sama dengan10.000 liter atau sepuluh meter kubik air. Namun demikian di daerah dengan curah hujan rendah dan tidak menentu diperlukan penetapan kapasitas tampung yang lebih teliti.
Tempat penampungan juga selayaknya dapat menampung air pada musim hujan untuk memenuhi kebutuhan air pada saat musim kemarau. Bila melihat dari unsur-unsur yang kita dapatkan setelah mengetahui berbagai definisi tentang rainwater harvesting maka bisa diambil dua unsur yang terpenting dari definisi rainwater harvesting tersebut yaitu air hujan dan penyimpanan.
Jadi dapat kita ambil kesimpulan bahwa definisi rainwater harvesting adalah tentang bagaimana cara untuk memanfaatkan air hujan dengan cara menyimpannya, dengan berbagai cara dan peralatan yang tersedia.
Teknik pemanenan air hujan ini mulai menghilang dengan meningkatnya urbanisasi. Ini mungkin terjadi akibat pasca era industri standar akan kebutuhan air bersih meningkat yang pengolahannya hanya bisa dicapai dengan teknologi terpusat. Penyaluran dengan menggunakan pipa juga dinilai lebih aman dan menjadi alasan kedua mengapa pemanenan air hujan mulai jarang digunakan. (disadur dan diterjermahkan dari “Rainwater Reservoir Ground Structure for Roof Catchment, Rolf Hasse, 1989)
Dari beberapa sumber literatur, penerapan sistem rainwater harvesting bisa sangat bervariatif. Beberapa contoh sistem rainwater harvesting di antaranya membuat kolam pengumpul air hujan, membuat tempat khusus penampungan air hujan dengan pasangan bata atau cetakan fiber, membuat taman sebagai penangkap air hujan, membuat bak penampungan air hujan dari bambu semen, dan pemanenan air hujan dengan atap.
Pada artikel ini kami memfokuskan bahasan pada pemanenan air hujan dengan atap. Untuk memahami hal tersebut diperlukan pemahaman yang cukup mengenai komponen-komponen pembentuknya. Komponen dari sistem pemanenan air hujan antara lain, area Penangkapan (Catchment Area) . Catchment area merupakan permukaan untuk menangkap air hujan yang kemudian dikumpulkan untuk penyimpanan.
Dapat merupakan atap, permukaan lantai diaspal, atau area lain. Pada umumnya area penangkapan dihitung berdasarkan meter persegi. Cara perhitungannnya adalah setiap 1 cm curah hujan yang jatuh di area sebesar 40 meter persegi dapat menangkap air hujan sebesar 900 liter atau 237 galon air. Bila luas atap rumah sebesar 100 meter persegi (atau 2.5×40 meter persegi) maka atap tersebut mampu menangkap air hujan sebanyak 900 x 2.5 = 2.250 liter air hujan untuk setiap 1 centimeter curah hujan.
Sistem penyaluran merupakan sistem pemipaan yang menyampaikan air hujan yang disimpan sampai titik akhir penggunaan (air pembersih toilet, air penyiram tanaman dan lain lain.) dapat menggunakan sistem pompa. Air hasil pemanenan ini tidak dianjurkan untuk minum, memasak dan mencuci piring kecuali sistem dari hujan tersebut menggunakan sistem penyaringan lebih lanjut.
- Pemanenan air hujan sudah dimulai sejak 4000 tahun yang lalu di Palestina dan Yunani, bahkan sejak abad Alkitab. Pada zaman Romawi kuno, rumah dibangun dengan waduk individu dan halaman beraspal untuk menangkap air hujan. Pada awal milenium ketiga SM, masyarakat petani di Baluchistan menyimpan air hujan dan digunakan untuk irigasi Dames, yang kini artefaknya dapat ditemukan di Baluchistan dan Kutch di Gujarat, India.
- Pemanenan air hujan sangat penting karena:
- Ketersediaan air tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan hasilnya masyarakat harus bergantung pada air tanah.
- Karena urbanisasi yang cepat, infiltrasi air hujan ke dalam tanah telah menurun drastis dan pengisian kembali air tanah telah berkurang.
- Eksploitasi sumber daya air tanah yang berlebihan mengakibatkan penurunan tingkat ketersediaan air di sebagian besar negara.
- Pemanenan air hujan berguna untuk meningkatkan ketersediaan air tanah di tempat dan waktu tertentu, meningkatkan kualitas air di akuifer, meningkatkan tutupan vegetasi, dan meningkatkan kadar air dalam sumur.
- Manfaat dari sistem pemanenan air hujan dapat dielaborasikan sebagai berikut:
- Sebuah solusi ideal untuk masalah air di daerah yang memiliki sumber daya air yang tidak memadai.
- Tingkat ketersediaan air tanah akan naik dan kualitas air meningkat.
- Meringankan dampak kekeringan.
- Mengurangi limpasan dari stormwater, sehingga banjir dapat berkurang.
- Erosi tanah berkurang.
- Penghematan energi pompa untuk mengangkat air tanah – kenaikan satu meter di permukaan air menghemat listrik sekitar 0,40 KWH .
- Panen air hujan menciptakan sinergi dalam hal pertanian dan perkebunan dengan meningkatkan pertanian tadah hujan dan meningkatkan produktifitas lanskap.
- Pemanenan air hujan mengurangi tekanan untuk menarik air tanah dari sumber air permukaan yang dapat berakibat negatif pada habitat ekosistem perairan.
- Di Jepang dan Korea Selatan, pemanenan air hujan dengan penyimpanan juga telah diimplementasikan sebagai cara untuk mengurangi kerentanan dalam keadaan bencana alam, seperti gempa bumi atau banjir parah yang dapat mengganggu pasokan air publik. (**)
¹https://www.idntimes.com/news/indonesia/muhammad-ilman-nafian-2/jokowi-konsep-ibu-kota-nusantara-adalah-kota-hutan/1