JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan penghapusan ambang batas minimal pengusulan calon presiden dan wakil presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Keputusan ini disampaikan pada sidang putusan yang digelar Kamis (2/1).
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa norma Pasal 222 tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketua MK Suhartoyo menegaskan bahwa keputusan ini mulai berlaku untuk Pemilu 2029 dan seterusnya.
Pasal 222 UU Pemilu mengatur bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden harus didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan minimal 20 persen jumlah kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah secara nasional. Ketentuan ini telah diterapkan sejak Pemilu 2004 dengan berbagai revisi, namun sering kali menjadi sorotan karena dinilai membatasi demokrasi.
PERTIMBANGAN MK
MK mengemukakan beberapa alasan di balik penghapusan ambang batas pencalonan ini. Pertama, selama ini pemilu didominasi oleh partai politik tertentu, yang menyebabkan keterbatasan pilihan calon presiden dan wakil presiden bagi masyarakat. Kedua, sistem tersebut cenderung memunculkan hanya dua pasangan calon dalam setiap pemilu, yang sering kali memicu polarisasi di masyarakat. Selain itu, ambang batas berpotensi menghasilkan pasangan calon tunggal, yang dianggap mengurangi kompetisi demokratis.
Mandat pemilih di Indonesia juga dinilai terpisah antara lembaga legislatif dan eksekutif, sehingga tidak perlu ada ambang batas untuk pencalonan presiden.
Implikasi Keputusan
Dengan adanya keputusan ini, Pemilu 2029 diproyeksikan akan memberikan peluang lebih besar bagi partai-partai kecil dan independen untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ini diharapkan dapat menciptakan lebih banyak alternatif pilihan bagi masyarakat, memperluas demokrasi, dan mengurangi polarisasi.
Keputusan ini disambut dengan berbagai tanggapan dari pengamat dan politisi. Sebagian pihak menyebut bahwa langkah ini dapat membuka ruang politik lebih inklusif, sementara yang lain mengkhawatirkan potensi fragmentasi politik dengan munculnya terlalu banyak kandidat. (MK)