Sebut saja namaku Putri. Sudah 7 tahun aku bekerja di kantor pusat salah satu perusahaan swasta ternama di kota kecil ini. Awalnya, aku bertugas di bidang hubungan masyarakat, kini aku ditempatkan pada bidang pengembangan sumber daya manusia, menangani pelatihan pegawai baru atau pegawai lama yang akan pindah ke jenjang jabatan yang lebih tinggi.
Semula aku memang sangat berkomitmen di pekerjaan akan selalu bersikap profesional, fokus dengan pekerjaan dan tidak mau melibatkan diri pada hal-hal di luar tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan. Tapi entah kenapa, komitmen itu akhirnya bergeser. Aku mulai tak kosentrasi dengan pekerjaanku akhir-akhir ini. Sejak kapan?
Yap, sejak kepala bidang pengembangan sumber daya manusia dipimpin oleh dia… Iya, kehadiran kepala bidang baru itu. Bapak Maulana lebih tepat namanya. Sangat mengganggu kosentrasiku. Mungkin ia tahu, kalau aku kesepian dibalik ketegaranku. Mungkin ia tahu betapa beratnya menjadi orang tua tunggal, sejak mas Argi wafat 1 tahun lalu. Kepergiannya begitu membekas dalam gemuruh hatiku, hingga aku belum bisa membuka hatiku untuk yang lain.
Entah dengan kehadiran Pak Maulana… Aku tak kuat menolak… Bagaimana tidak, setiap aku menaruh berkas laporan pengembangan di ruangnya, aku tak kuat menatap matanya yang teduh namun tajam menatapku dari ujung kaki sampai ujung jilbabku. Risih juga rasanya, ditatap begitu. Tapi entahlah, hatiku selalu bergetar… Aku selalu teringat mas Argi, mungkin karena Pak Maulana seusia dengan mas Argi, 45an tahun keatas.
Berapa kali kami tak sengaja beradu pandang. Walau aku ingin meminjamnya sebentar, sekadar menatapnya lama, hanya untuk mengusir kesepianku. Entahlah, aku mulai suka mencuri pandang, suka melihat rambut hitamnya yang mulai tumbuh uban-uban kecil di sekitar rambutnya. BIla masuk ruang kantor Pak Maulana, aroma khas wangi parfumnya menggoda hatiku.
Makin mengganggu kosentrasiku. Jujur, aku suka kedewasaannya. Kharismanya mungkin, suka suaranya yang makin berat dengan dialeg tertentu… Aku makin suka caranya memandangku…. Aku makin suka caranya memperhatikananku, dengan cara yang sederhana… Apakah Pak Maulana yang terpikat atau akulah yang terpikat? Hingga pesan WA darinya berulang kali aku terima, mengajak makan siang bersamaku… Aku masih bisa menolaknya halus, dengan beribu alasanku.
Aku masih normal bisa berpikir jernih, meski sahabatku teman sekantor berani bermain api. Menjalin hubungan dengan pria beristri di kantorku. Aku belum bisa enjoy, tak merasa bersalah ketika istrinya menelepon misalnya. Aku masih merasa bersalah ketika anak-anaknya menelepon ketika sedang kunikmati kebersamaan dengannya.
Untuk itu cukup bagiku melihat sosoknya dari jauh. Itu saja sudah mampu mengganggu kosentrasi kerjaku. Karena sungguh, aku tak pernah bermimpi memiliki kekasih seorang pria beristri. Walau…. Dia sungguh memikatku… Apakah semua laki-laki makin dewasa dan berkharisma ketika dia mencapai usia 45an tahun keatas? Aku bagai terpasung cinta… terjangkit virus cinta… Pada pria yang beristri!
Ya beginilah kalau orang telah terjangkit yang namanya virus cinta. Cinta ibarat pisau bermata dua, bisa menyenangkan dan juga bisa menyakitkan. Namun tetap saja ada cinta yang tidak biasanya. Intinya, cinta itu memang tidak bisa diukur dengan akal atau logika. Karena kadang apa yang dilakukan jauh dari nalar.
“Apa salah seorang wanita mencintai pria yang sudah beristri? Dan keduanya saling mencintai?” gumamku, berusaha membuang lamunan ini…
Tak lama… suara pesan wa masuk dari HP-ku.
“Putri, bisa temani saya mengantar berkas ke kantor walikota sekarang?”
Akh… entah alasan apalagi aku bisa menolak, sebuah pesan WA yang jujur… selalu dinanti darinya… Sekuat apa aku menolak, padahal hatiku sudah terpikat… Duh, beneran aku jatuh cinta?
*
“Put, kamu bener mau pindah kerja?” Tanya Tanti berusaha mengalihkan pandanganku kepadanya. Aku menggangguk lemes…
“Mba Put, jadi istri kedua kenapa? Kan gak dilarang agama, kamu bukan merebut suami orang… Kalian saling cinta,” Azizah ikut bersuara.
Aku menatapnya datar… sama datarnya aku menatap pagi dan langit hari-hari ini. Aku menghela nafas, entah berapa kali… Tanganku masih terus memunguti barang-barang di atas meja kerjaku, dan menaruhnya di dalam kardus-kardus kosong. Ini mumpung Pak Maulana sedang dinas keluar kota, kesempatanku untuk membersihkan barang-barangku di ruang kerja ini…
“Put, kamu dengar kami lagi bicara serius denganmu khan?” Tanti terus mengejarku dengan tatapannya dan beribu pertanyaannya.
Aku tak punya kata-kata indah pagi ini… Aku hanya diam..
“Put, please… jangan pindah kerja ya… Kita sudah seperti saudara.. bukan lagi sahabat Put…” Tanti terus merengek, menarik-narik kardus barang-barangku.
“Put, kamu kenapa lemah begini sih…” Tanti menatapku dengan mata berkaca. Tanti sahabat sebayaku ini memang paling peduli denganku. Apalagi sejak Argi wafat…
Aku menatapnya datar… Aku tak kuasa… Kupeluk tubuhnya erat, tangisku pecah… Azizah, tim satu kantorku yang usianya masih kepala dua pun terpaku… Matanya ikut berkaca…“Put, bicara donk… Agar kita tau yang sebenarnya…” Tanti membujukku…
Aku masih terdiam… Masih datar… Mungkin mati rasa…
“Aku… Aku gak kuat… Aku gak bisa di kantor ini terus…” suaraku bergetar memecah pagi…
“Put, kamu pindah ke kantor manapun, pasti ada aja yang tertarik padamu… Kenapa tidak kamu putuskan segera yang mana yang paling menyenangkan hatimu Put… Kanapa harus Pak Maulana, Putri… masih banyak yang lain, yang siap menggantikan Argi, kamu kan tinggal pilih saja… aku tau itu Putri…” Tanti menguatkanku…
“Aku belum bisa memutuskan apapun…” jawabku singkat, lirih nyaris tak terdengar… Pak Maulana lah yang justru berhasil ‘mengganggu’ hari-hariku.
“Pak Maulana, laki-laki lemah. Harusnya berani membuat kamu jatuh cinta, harusnya tanggung jawab, Putri. Aku gak tega lihat kamu begini…” Tanti memegang tanganku, suaranya bergetar…
“Gak ada yang salah, Tan… Aku yang gak cerdas, kenapa harus buka hati…” suaraku masih lirih.
Akh, mana mungkin cinta diukur dengan kecerdasan apalagi logika… Tapi, bagaimana mungkin aku kuat, menatap rindu pada sosok Maulana yang sudah mencuri hatiku… setiap hari bertemu…
Sama halnya… Aku tak kuat menatap sendu, wajah istrinya yang belum rela ada istri kedua menemani Maulana… Aku tak mau disebut orang ketiga. Bukan orang ketiga… Aku bukan perebut suami orang… Meski tawaran ‘gila’ Maulana berani menceraikan istrinya dan meninggalkan anak-anaknya demi bersamaku.
Tidak, tidak akan itu terjadi! Aku perempuan yang masih punya logika. Aku yang akan pergi. Aku tak akan mengusik siapapun. Walau aku tau… Aku tau bagaimana gemuruh rindu Maulana padaku… Terlebih aku…
Upss… Aku memandang sendu Tanti, Azizah… Sahabat di kantorku… Maafkan, aku tak mungkin tetap bekerja di kantor ini…
*
Malam ini hatiku sudah agak tenang… Sungguh, tidak ada yang mampu menolong diriku kecuali aku sendiri. Aku putuskan, besok sudah masuk kerja di kantor baruku… Akhirnya aku menerima tawaran kerja adik tingkatku, di kantor barunya.
Bunyi pesan masuk… memudarkan lamunanku…
Ada pesan dari Pak Maulana… Berkali-kali… Hatiku masih bergemuruh…Rindu itu belum mau pergi…
Ia mengirimkan link lagu kenangan kami… aku menahan buliran bening dari penglihatanku… Tanganku masih terasa lemas, mungkin ini terakhir aku memutar lagu ini…
Beberapa pesan masuk darinya… Aku tak sanggup membacanya… Mungkin tak akan pernah membacanya lagi…
Aku menghela nafas, ada luka di sana… Aku menatap kejauhan dengan gamang dari arah jendela. Langit senja mulai berubah warna. Gelap perlahan–lahan mengusirnya pergi. Seperti perasaanku saat ini. Sesuatu terasa lepas dari jiwaku. Entah kemana… Kini.. Rindu itu memaksaku pergi.. (***)
Cerpen: Muthi’ Masfu’ah