SAMARINDA – Pengesahan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menuai kritik dari sejumlah elemen di Kaltim. Sejumlah akademikus dan politikus Bumi Etam menilai, RUU tersebut terburu-buru dibahas. Tudingan pun terurai. RUU IKN ditengarai tidak lebih dari pesanan oligarki.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama, menilai bahwa pengesahan RUU IKN terlihat seperti by request atau pesanan kelompok oligarki. Draf RUU yang disiapkan terkesan tinggal dibacakan. Menurutnya, hal ini pertanda bahwa pemerintah tidak serius menyerap aspirasi masyarakat mengenai IKN.
“Tidak menutup kemungkinan, pengesahan RUU IKN bakal berakhir ‘inkonstitusional bersyarat’ di hadapan Mahkamah Konstitusi. Sudah mirip dengan UU Cipta Kerja saja,” ucapnya kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Rabu, 19 Januari 2022.
Di tempat berbeda, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, menyatakan bahwa publik tidak mendapatkan cukup waktu untuk memberi masukan. Unsur legislatif tingkat daerah bahkan tidak dilibatkan dalam memberi tanggapan terhadap RUU IKN. Padahal, dari sisi prosedur, pansus sesungguhnya bisa membuka ruang sosialisasi.
“Sebenarnya, tidak terburu-buru dari sisi waktu. (Akan tetapi), draf yang sudah final di tingkat pansus DPR sebaiknya dilempar lagi ke publik. Jadi, masyarakat Kaltim diberikan waktu untuk melihat. Ditelaah semua masukan dan aspirasi. Ini kesannya jadi formalitas saja,” kritik politikus Partai Amanat Nasional tersebut.
Dari 250 ribu hektare luas lahan IKN, Demmu melanjutkan, pansus seharusnya memerinci luas lahan pembangunan infrastruktur. Pansus kemudian menelisik populasi masyarakat di kawasan tersebut. Dampak sosial dari pembangunan IKN pun bisa diukur.
“Jangan sampai UU sudah sah lantas seenaknya melakukan penyingkiran. Jangan ada lagi contoh seperti pembangunan jalan tol. Ternyata masih ada masyarakat yang belum menerima hak setelah pembangunan selesai,” jelas Demmu.
Sebagai politikus, ia juga menyinggung Pasal 5 ayat 3 UU IKN yang berbunyi “Dikecualikan dari satuan pemerintahan daerah lainnya, IKN hanya menyelenggarakan pemilihan umum tingkat nasional.” Peraturan tersebut dianggap mengebiri hak masyarakat Loa Kulu, Sanga-Sanga, Samboja, Muara Jawa, dan PPU, dalam pemilihan tingkat daerah. Sebagai anggota DPRD dari daerah pemilihan tersebut, Demmu merasa heran.
“Karena setelah ditetapkan, (UU) berlaku dua tahun yaitu 2024 sehingga berdekatan dengan pemilihan legislatif. Konstituen hilang semua. Jadi anggota DPRD dari dapil tersebut bakal kelimpungan,” bebernya.
Akademikus dari Fakultas Hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah, mengkritik Pasal 24 ayat 1 poin b. Pasal ini menjelaskan bahwa pendanaan IKN dapat bersumber dari pihak swasta. Castro, sapaan pendeknya, menilai bahwa aturan itu tidak menyebut dengan eksplisit pembatasan persentase dan kontribusi sektor swasta. Kondisi itu berpotensi menimbulkan dominasi investor dalam kawasan IKN. Ia khawatir, kelak pemerintah bergantung sektor swasta.
“Bisa-bisa, 90 persen (dana swasta) dan ingat logikanya ‘tidak ada makan siang gratis’. Kalau kita lihat kemarin, dewan pengarah saja Raja Abu Dhabi. Ini bertentangan dengan semangat kemandirian bangsa,” tegasnya. “Lagi pula, kenapa mesti dikebut, sih? Jangan-jangan ini bukan buat kepentingan publik tapi elite politik. Kelompok oligarki yang bakal untung. Semua proyek infrastruktur bakal ditangani pengusaha di belakang mereka. Padahal, masyarakat masih tertatih-tatih menghadapi pandemi,” sindirnya.
Sementara, Rektor Universitas Mulawarman, Prof Masjaya mengatakan kritik adalah bagian dari kontribusi kaum intelektual dalam pembangunan IKN. Meskipun demikian, ia berpesan, jangan sampai tenaga dan pikiran akademikus berhenti di beberapa pasal yang tidak esensial dalam mempercepat pembangunan IKN. Kampus bisa terlibat aktif dengan mendukung pembangunan sumber daya manusia Kaltim.
“Secara kelembagaan, Unmul dan 24 kampus PTN dan PTS di Pulau Kalimantan mendukung penuh pembangunan IKN,” tegasnya dalam agenda Konferensi Konsorsium Universitas Se-Kalimantan, Rabu, 19 Januari 2022.
Penambahan 10 Pasal
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kaltim, Prof Aswin, mencatat penambahan 10 pasal dari total 34 pasal RUU IKN. Sepuluh pasal itu terbagi dalam tiga klaster peraturan presiden, keputusan presiden, dan peraturan pemerintah.
Dari klaster peraturan presiden, Pasal 5 ayat 7 mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah Badan Otorita; Pasal 7 ayat 4 mengenai perincian rencana induk IKN; Pasal 7 ayat 6 mengenai perubahan rencana induk IKN; Pasal 11 ayat 1 mengenai struktur organisasi, tugas, wewenang, dan tata kerja Badan Otorita, Pasal 14 ayat 2 tentang pembagian wilayah IKN; Pasal 15 ayat 2 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional IKN; Pasal 22 ayat 5 tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan lembaga negara, ASN, perwakilan negara asing, dan perwakilan organisasi/lembaga internasional.
Untuk klaster keputusan presiden, pasal 22 ayat 5 tentang pengalihan kedudukan, fungsi, dan peran IKN dari provinsi daerah IKN ke IKN Nusantara. Sementara dalam klaster peraturan pemerintah terdapat 5 pasal. Pasal 12 ayat 3 tentang kewenangan khusus; pasal 24 ayat 7 tentang pendanaan; pasal 25 ayat 3 tentang ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja anggaran IKN; pasal 26 ayat 2 tentang tata cara pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja; pasal 35 tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan barang milik negara dan aset dalam penguasaan; serta pasal 36 ayat7 mengenai aturan pengalihan.
Prof Aswin setuju pengesahan RUU IKN sangat cepat. Menurutnya, RUU diteken oleh pusat sebagai legalitas formal mempercepat pembangunan IKN. Penetapan ini menjadi dasar pemerintah untuk menganggarkan pembangunan IKN.
“Tidak ada UU yang dibahas dua minggu seperti ini. Jadi (kalau dibilang terburu-buru), ya, pasti, lah. Di mana-mana, UU dibuat bertahun-tahun. Kita juga berharap masyarakat tidak jadi penonton. Diuraikan bagaimana konektivitas antardaerah, antarkota, dan sebagainya. Kalau hanya disebut sebagai peraturan presiden, kita mengikuti saja. Apapun namanya, bentuk pemerintahannya, yang penting IKN itu di sini,” katanya.
Sebelumnya, dalam sebuah diskusi virtual pada Selasa (18/1/2022), ekonom senior Faisal Basri mengatakan dia berencana menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi. Ada banyak pertimbangan kenapa dia berencana men-judicial review UU yang dibahas pansus DPR tak sampai dua pekan itu. Namun, yang sudah pasti, baginya acuan hukum itu bukan prioritas karena yang lebih prioritas adalah bagaimana caranya pemerintah memulihkan kondisi ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.
Faisal Basri juga menyoroti sumber dana pembiayaan IKN yang awalnya lebih banyak dibebankan pada swasta, kini malah pembangunannya bersumber dari APBN. Pembicara lain, Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), menyoroti singkatnya pembahasan RUU IKN dihubungkan dengan putusan MK terhadap gugatan UU Cipta Kerja.
Dalama putusannya, MK menyebutkan UU Cipta Kerja inkonstusional bersyarat alias ada perbaikan yang harus segera dikoreksi pemerintah dan DPR. Belajar dari putusan ini, lanjut Lucius, seharusnya RUU IKN dibahas secara mendalam termasuk mendengar aspirasi dan partisipasi publik, yang nyatanya nyaris tak dilakukan pansus. (kk/prs)