spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Setegar Inara

Cerpen Muthi’ Masfu’ah

Desiran ombak begitu riuh terdengar, gemercik air yang sesekali menghanyutkan butiran-butiran pasir yang berlinang-linang menjadi irama yang selalu menyanyikan lagu merdu menyelinap di lubang telingaku. Pagi itu…

Yap, harusnya pagi ini aku sudah pulang. Usai mengisi pelatihan literasi dua hari ini. Lantaran Nina sohibku memaksaku untuk tinggal sehari-dua hari ini di kota minyak ini, Balikpapan. Lagi-lagi, aku tak bisa menolaknya. Apalagi untuk menangani pasiennya yang kebanyakan butuh orang untuk mendengar. Dan aku terbiasa mendengarkan teman, sahabat atau bahkan orang lain bercerita tentang kesulitannya, kisah hidupnya… bahkan kisah cintanya… Yang terakhir sebenarnya, aku agak kesulitan. Aku tidak terlalu berpengalaman, kadang aku belum bisa membedakan mana yang cinta sungguhan atau bukan. Hanya pakai naluri untuk membedakan. Nah kadang untuk menasehati orang lain, aku butuh merenung dan mencoba berempati, membayangkan bagaimana jika aku menjadi orang yang sedang curhat tersebut. Tapi menjadi penulis lepas memang berkah hidup, jadi banyak tahu kesulitan hidup orang lain dan ini adalah pelajaran tersendiri untukku.

Aku masih di sini… Masih menikmati pagi hari di belakang apartemen yang disewakan sohibku. Belakang apartemen yang begitu luas, tak hanya sekedar luas. Namun sangat amat luas, terbentang genangan air nan kebiru-biruan tapi jernih yang tak dapat aku lihat ujungnya. Aku hanya tahu disinilah pangkal daratannya, di tanah inilah, di tanah yang sekarang aku injakan kedua kakiku.

Aku melirik mentari yang sedang tersenyum malu-malu yang muncul dari arah lautan sebelah timur, semakin lama semakin terlihat jelas senyumannya. Begitu terang,menerangi hatiku. Bagaikan bola lampu yang siap menerangi di setiap ruangan kala gelap datang.

Burung-burung mulai keluar dari sarang mencarikan sarapan pagi untuk anak-anaknya. menari-nari di atas hamparan samudra yang terbentang, begitu indah, begitu menggoda, dan memanja pada setiap mata yang melihatnya.

Tiba-tiba… bunyi pesan masuk dari Hpku.

Oh ini alamatnya, gumamku. Lima belas menit lagi, mobil jemputan datang akan mengantarkan aku menemui… seorang penulis opini senior yang sedang belajar menulis cerpen… sedang bersedih… Canda kali Nina, sahabatku ini ada-ada saja. Mungkin butuh teman bercerita saja. Perempuan kan seperti itu, asal didengarkan baik-baik, diberi nasehat untuk menguatkan. Selesai sudah. Aku tersenyum sambil bergegas. Menghabiskan kopi susu hangatku pagi itu. Dan segera keluar menunggu jemputan pagi itu…

***

“Inikah Bun cerpennya?” tanyaku perlahan pada wanita keibuan berusia berusia 50an tahun, ia berbaring lemah di tempat tidurnya. Wajahnya sayu menatapku, tapi tetap menyimpan kecantikan di tiap sudut wajahnya. Ia berusaha tersenyum ramah, apa adanya.

Rumah tenang ini, nampaknya hanya ada asisten rumah tangga satu orang yang menemani dirumah yang luas dan asri itu.

Senang bertemu dan bertamu di rumahnya pagi itu. Hangat, damai dan tenang aku rasakan di sini. Mungkin aura dari penghuni rumah yang aslinya memang tenang ya. Walau ada berjuta pilu tersirat di sini.

Mataku beralih pada lembaran kertas berisi naskah cerpen yang ia buat, untuk aku baca dan memberikan masukan. Duh, aku juga sedang belajar. Aslinya tidak pintar-pintar amat, terkadang orang lain menganggap aku berlebihan. Tapi apapun aku siap berbagi dengan siapapun.

“Bunda saya baca dulu cerpennya ya,” kataku padanya, pada seorang wanita meski berusia tapi tetap ayu dan menyimpan kesabaran.

Aku mulai menyelami cerpen tulisannya… Setegar Inara…

“Inara lagi viral, Bun?”

Ia menggeleng…, “Mungkin mirip ya.”

Aku benar-benar mulai mengeja bahasanya…

Inara mulai merebahkan badannya yang sudah seharian dipaksa tanpa diberi kesempatan beristirahat. Pendengarannya yang sudah berkurang karena terlalu sering meminum obat penanggal rasa nyeri,samar-samar mendengar teriakan cucunya dari luar kamar. Suara bocah lucu yang menemani hari-harinya bersama seorang asisten rumah tangga. Sementara anak-anaknya baru berkumpul jika liburan atau lebaran tiba.

“Eyang putri…. ayoooo, aku mau mandi.  Aku mau  mandi, aku mau ke TPA sama Ninis, Eyang ayooooo.”

“Ya, ya sayang sebentar sayang…. Eyang putri siapin dulu air panasnya dan bajumu. Ayu mau pakai gamis baru yang dibelikan ummi semalam kah?”

“Iya Eyang Putri Inara sayang… Tapi gamisnya yang sama warnanya dengan Ninis ya Eyang putri cantik…” pintanya dengan mengedip-ngedipkan matanya yang bulat, manja persis seperti umminya.

”Yaaa, sekarang mandi yuk!“ ajak Eyang Putri sabar.

Ayu, gadis cilik cantik ini adalah cucu pertama Inara yang  punya magnit yang luar biasa dalam hidupnya. Padahal dia ingin dilenyapkan 5 tahun yang lalu. Cobaan begitu mendera, suami dari putrinya, hilang entah kemana.   Putri kesayangan Inara begitu menguji kesabaran tiada henti mendera batinnya dengan ulahnya yang menyesakkan dada. Ayu mungil dan cantik ini, hampir menjadi korban. Ayu yang tak tahu dosa itu hampir jadi korban keputusasannya. Tanti, nama putri kesayangan Inara, saat mengandung Ayu… Ayu, sang jabang bayi itu pernah diupayakan untuk diaborsi. Hanya karena Tanti tak sanggup melupakan suaminya… Ayah Ayu, cucu kesayanganku…

“Mas kemana, Ummi…. Mas kemana….,” sering sekali Tanti mengandung mengigau kerinduan hadir suami tercinta yang tiba-tiba menghilang sejak 6 bulan Tanti mengandung.

Inara hanya bisa berdoa, memeluknya untuk berbagi energi untuk kuat… Setelah usaha mencari suami Tanti kesana-kemari belum berbuah hasil. Tapi Inara selalu meyakini mantunya, lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Suatu saat nanti akan terjawab semuanya… Entah kapan…

Inara tak kuat melihat putrinya seperti ini, tapi Inara harus bisa… harus kuat di depan Tanti… kasihan bayi yang dikandungnya… yang asli buah cinta dan kasih sayang mereka. Cinta yang begitu kuatnya…

Suatu siang…

“Tanti makan apa… Tanti makan apa, Nak…..,” teriak asisten Inara dari dalam kamar Tanti… Inara berlari sekuat tenaga dari ruang depan… hampir saja laktop terjatuh dari pangkuannya…

Inara memeluk Tanti putri tersayangnya dan menangis… Asistennya juga ikut menangis… Allah… Kalau saja bunuh diri tidak berdosa, ini dosa besar Nak…. Bathin Inara berkecambuk…

Entah, sudah ditenggaknya berapa butiran racun  itu. Untung asisten setia Inara yang bisa mencegah tindakan fatal itu. Ia dengan cekatan pernah 2 kali menghentikan tindakan konyol Tanti… Bunuh diri bukan sebuah penuyelesaian.*

Yah dibenak Inara masih tersimpan jelas keputusasaan Tanti yang ingin menghabisi nyawanya sendiri. Dan ia tak akan membiarkan ini terjadi.

“Eyang putri aku sudah cantik…. aku mengaji dulu yaaa….,” cucu kesayangannya Ayu, mencium pipinya… Sayang…

***

“Bunda Tias bagus kok cerpennya…”, ujar aku usai membaca cerpen bunda Tias.

“Terima kasih ya. Itu cerpen sembilan puluh persen kisah nyata…,” jawab bunda Tias lemah… Sembari tersenyum, masih cantik seusianya.

“Bunda kalo boleh tahu, Tanti sekarang dimana? Juga suami Bunda…?” tanyaku keheranan karena sedari tadi rumah teduh ini nampak sepi, hanya asisten rumah tangga yang menemani.

Bunda Tias… akh, matanya berkaca… Ia memberikan diarinya padaku… aku membuka lembar pertama…

Aku ingin mencintaimu seperti udara tak tampak tapi selalu menyertaimu. Aku ingin mencintaimu seperti angin tak terlihat tapi selalu menggerakkan hatimu untuk rindu. Aku ingin mencintaimu seperti air tak terasa tapi bermanfaat di hidupmu. Aku ingin mencintaimu seperti kayu tak beraturan tapi bisa menguatkan di masa rapuhmu. Aku ingin mencintaimu seperti langit tak terjangkau tapi bisa memberikan keindahan di dalam hidupmu.

Indah sekali baik kata-katanya… Aku membaca lembar berikutnya…

Sampai pada akhirnya tiba, kau akan tahu bagaimana Allah mengatur semuanya dengan baik dari setiap tangismu, perjuanganmu, lelahmu dan mungkin darimu yang sampai putus asa… Sungguh Allah mengatur segala halnya dengan baik perjuanganmu yang tergantikan dengan kebahagiaan dan kebaikan yang terus akan datang,  sampai-sampai kau tidak percaya, apa kau pantas untuk mendapatkan ini.

Tapi memang inilah akhirnya, dalam duka akan selalu datang dengan suka. Di masa kau berjuang juga akan berakhir dengan kebahagiaan. Kau bertemu dengan hal yang selama ini kau tunggu… Yang pernah bertemu dan pergi… Namun begitu berarti menyisakan beribu kesan mendalam… Percayalah, Allah begitu mencintaimu, lebih dari apa yang kau tau…

Bermakna dalam, indah… Aku hendak bertanya lagi, untuk siapa baik kata indah ini… tapi butiran kaca dari mata bunda Tias makin deras… aku genggam tangannya…

“Bunda kuat ya…” aku ikut merasakan apa yang ia rasakan… Tanpa ia harus katakan…

***

“Uty, benar gak jadi pulang?” tanya Nina bengong.

“Mungkin dua atau tiga hari lagi Nin. Aku masih mau menemani Bunda Tias, sampai rampung satu bukunya,” jawabku sambil membuka lembaran diary bunda Tias.

Nina tak bertanya lagi, ia setuju. Karena ia faham, kalau aku tak mau pulang, tetap menulis di sini, pasti cerita itu bakal menarik. Nina penasaran tampaknya… (*)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img