Penulis : Ahmadi Azis
Komisioner Bawaslu Kota Balikpapan
Pemilihan umum serentak tahun 2024 mulai ditabuh. Berbagai Parpol dan bahkan bakal calon peserta Pemilu mulai menampakkan jargon dan gagasannya walau kampanye belum digelar. Hal ini menjadi fenomena menarik setiap menjelang perhelatan demokrasi lima tahunan. Sedikit riuh, adanya suara pro dan kontra di kalangan masyarakat tentang politik identitas yang berakibat menjadi acaman pada Pemilu ke depan.
Jika melihat beberapa tahun terakhir, isu politik identitas selalu menjadi perbincangan menarik bagi para kalangan. Sehingga menimbulkan banyak tanya, bahwa politik identitas itu sebenarnya bagiamana dan seperti apa? Saya akan mengurai sedikit terkait hal tersebut.
Politik
Politik adalah suatu aktivitas yang erat kaitannya dengan pengelolaan sebuah kekuasaan, negara atau pemerintahan, serta bertujuan untuk mencapai suatu kemaslahatan dan mencegah dari keburukan yang timbul dimasyarakat. Sehingga jika sebuah politik digunakan dalam hal-hal negatif dalam membangun sebuah pemerintahan atau negara maka akan menimbulkan permasalahan hingga menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
Identitas
Yang berarti memiliki tanda ciri atau jati diri yang melekat pada suatu individu, kelompok atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), identitas diartikan dengan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang, atau jati diri.
sehingga Politik Identitas dapat dimaknai bahwa sebagai sebuah upaya untuk memperjuangkan Identitas yang melekat pada diri setiap individu atau kelompok.
Politik Identitas juga dapat berkaitan erat dengan Politisasi SARA (Suku, Ras, Agama, dan Antar Golongan) adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Tindakan ini dianggap melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia juga bisa memberikan dampak yang negatif di kalangan masyarakat serta menimbulkan perpecahan. Dampak yang terjadi tersebut karena adanya perlakukan yang tidak sama antara kelompok atau ormas tertentu.
Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 menjadi sejarah yang kurang baik sebab pemilu tersebut terlalu banyak menyajikan hal-hal yang menimbulkan perpecahan di tengah-tengah masyarakat diakibatkan oleh para elit sering menyajikan atau mengkampanyekan politik identitas atau politisasi SARA.
Identitas Peserta Pemilu
Dalam pengenalan peserta Pemilu dalam hal ini partai politik, Calon Presiden dan Wakil Presiden serta Calon Anggota DPD memiliki identitas tersendiri yang menjadi dasar untuk memperkenalkan diri dibatasi hanya pada penyampaian visi misi dan program kerja. Selain itu juga dikenal dalam bentuk lainnya yakni citra diri, identitas, ciri-ciri khusus atau karasteristik yang telah diatur pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 Pasal 1 angka 21.
Penyampaian identitas peserta Pemilu dilakukan dalam metode kampanye seperti memperkenalkan logo dan nomor urut, visi misi, program dan ciri khas tertentu bagi parpol, Calon DPD dan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden untuk meraih simpatik masyarakat atau pemilih dan tidak mengajak masyarakat untuk memilih dengan memakai politik identitas dan/atau politisasi SARA.
Pengutaan Pengawasan Pemilu
Merujuk pada Peraturan Bawaslu No. 5 tahun 2022 yang mendefinikan pengertian pengawasan adalah “segala upaya untuk melakukan pencegahan serta penindakan terhadap pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu yang bertujuan untuk memastikan persiapan dan pelaksanaan Pemilu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Keterkaitan dengan pola pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu dalam pengawasan politik identitas yang di mana bisa berpotensi menjadi dugaan pelanggaran maka Bawaslu melakukan pencegahan dengan berbagai macam bentuk.
Di antaranya imbauan, saran perbaikan dan sosialisasi terkait dengan mengajak masyarakat untuk menolak politik identitas dan politisasi SARA yang dipadukan dengan pola kerjasama dengan ormas keagamaan, paguyuban dan lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi.
Regulasi Yang Tegas
Peserta pemilu dalam memperkenalkan diri kepada masyarakat ada batasan dan tidak lebih dari apa yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan berlaku dan tidak memunculkan politik identitas dalam meraih sebuah kekuasaan karena jika hal tersebut dilanggar maka berakibat pada pelanggaran larangan sesuai dengan UU 7 Tahun 2017 Pasal 280 ayat (1) huruf c “Pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau peserta Pemilu yang lain”.
Jika ketentuan tersebut dilanggar maka konsekuensinya adalah pidana sesuai dengan Pasal 521 : Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)
Pemilu yang Bermartabat
Pemilu tahun 2024 merupakan Pemilu serentak akan menjadi Pemilu yang bermartabat jika menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dan moralitas yang didalamnya menyajikan peserta Pemilu berkualitas tanpa harus mempromosikan diri dengan mencederai demokrasi yakni menggunakan politik identitas dan/atau politisasi SARA. Karena jika dilakukan hal tersebut maka di kalangan masyarakat berpotensi tercerai berai dan terkotak-kotak misalanya membeda-bedakan suku, agama dan ras atau golongan untuk memilih peserta pemilu tertentu sehingga kebhinekaan yang dijunjung tinggi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia selama ini akan tergerus. (**)