spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Tugasnya Menaikkan Haji, Bukan Naikkan Biaya Haji

Catatan Rizal Effendi

SAYA tergelitik dengan tulisan satir  Hanif Kristianto. Judulnya sangat menarik, “Naikin Haji Bukan Naikin Biaya Haji.” Kesannya dia menyindir. Dia ingin mengingatkan  bahwa tugas Pemerintah itu adalah menaikkan umat Islam di Indonesia  agar bisa melaksanakan ibadah haji bukan menaikkan biaya haji, sehingga ada calon jamaah (calhaj) yang tidak mampu memenuhi biaya yang tinggi atau mengundurkan diri.

Heboh biaya naik haji ini menyusul keterangan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tentang usulan besarnya biaya perjalanan ibadah haji dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI  di Jakarta, Kamis (19/1) lalu.

Ongkos Naik Haji (ONH) yang sekarang ini disebut  Bipih diusulkan Menag sebesar Rp 69.733.600 per orang atau dibulatkan menjadi Rp 69 juta. Naik sekitar 70 persen lebih dibanding angka tahun lalu yang tercatat sekitar Rp 39 juta.

Tahapan pelunasan biaya haji 2023 akan dimulakan setelah terbitnya Keppres dan Keputusan Menteri Agama (KMA). Direncanakan  pada Minggu ketiga bulan Februari mendatang sudah dilakukan pelunasan oleh para calhaj. Sedang perjalanan jamaah haji Indonesia tahun 2023 mulai tanggal 23 Mei dan berakhir pada 2 Agustus.

Menag menjelaskan seyogianya beban yang ditanggung jamaah itu sebesar Rp 98.893.909,11 atau Rp 98 juta. Angka ini bisa berkurang karena ada hasil atau nilai manfaat dari uang jamaah yang dihimpun Pemerintah melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

BPKH sekarang ini dipimpin Fadlul Imansyah. Sebelumnya Anggito Abimayu, ekonom dari UGM. Saat serah terima 17 Oktober tahun lalu, Anggito mengungkapkan, dana pengelolaan haji terus meningkat. Dari tahun 2019 masih Rp 90 triliun menjadi Rp 163,21 triliun di tahun 2022.

Seperti kita ketahui sambil menunggu giliran pemberangkatan, calon jamaah haji sudah mulai menyetor atau mengangsur ke bank. Nah, uangnya itu oleh BPKH diinvestasikan. Hasil investasi itu yang disebut dengan nilai manfaat.

Lalu nilai manfaat  uang jamaah itu dikembalikan lagi kepada jamaah sebagai pemotong atau pengurang besaran BPIH. Tahun 2022 lalu, kata Fadlul, nilai manfaat yang diperoleh BPKH melebihi target dengan realisasi Rp 10,08 triliun.

Ada dua istilah yang juga bisa membingungkan kita dalam mencermati biaya ibadah haji. Ada istilah BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji), ada juga yang disebut Bipih (Biaya Perjalanan Ibadah Haji).

Merujuk dari laman Twitter BPKH, BPIH merupakan biaya yang digunakan untuk operasional penyelenggaraan ibadah haji.  Dengan kata lain BPIH  adalah biaya riil keseluruhan yang dibutuhkan per jamaah agar dapat menjalankan ibadah haji. Ada tiga komponen yang masuk dalam BPIH, yaitu biaya protokol kesehatan , biaya yang bersumber dari nilai manfaat keuangan haji serta biaya perjalanan ibadah haji (Bipih).

Dengan demikian Bipih  merupakan biaya perjalanan haji yang harus dibayarkan  seorang jamaah haji. Sedang dua komponen lainnya mendapat subsidi dari hasil pengelolaan dana haji oleh BPKH. Jadi angka Rp 98 juta itu bisa disebut BPIH, sedang Rp 69 juta adalah Bipih-nya.

Seperti dijelaskan Menag, BPIH memang berbeda dengan Bipih. “BPIH itu lebih besar, sementara yang dibayarkan jamaah (Bipih) itu tidak lebih besar dari biaya yang sesungguhnya,” jelasnya.

Saya jadi teringat pengarahan Presiden Jokowi di depan kepala daerah dan Forkompida seluruh Indonesia di Sentul Bogor, 17 Januari lalu. Dia menyinggung bergantinya istilah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung  (PBG). Padahal istilah IMB sudah sangat akrab.  “Kenapa sih gonta-ganti nama? Ruwet! Cukup Izin Gedung saja. Selesai,” katanya.

Dalam hal urusan haji, kita juga sudah akrab dengan istilah ONH. Seyogianya tidak usah lagi dengan ganti-ganti nama BPIH atau Bipih. Yang dimaui jamaah dan terpenting adalah besaran biaya naik haji itu tidak melonjak alias bisa dijangkau masyarakat. “Apa hebatnya BPKH, BPIH atau Bipih, tapi faktanya tiba-tiba biaya naik haji naik selangit,” kata seorang calon jamaah.

Menag Yaqut Cholil Qoumas menyerahkan cenderamata kepada Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq F Al Rabiah setelah kepastian mendapat kuota haji 2023 sebanyak 221 ribu jamaah.

JADI AMBYAR LAGI

Menurut beberapa jamaah, semangat mereka untuk dapat menunaikan ibadah haji jadi ambyar lagi. Padahal sebelumnya mereka menyambut gembira ketika Menag Yaqut Cholil mengumumkan hasil pertemuannya dengan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq F Al Rabiah di Jeddah, Minggu (8/1).

Waktu itu Menag mengungkapkan, kuota jamaah haji Indonesia tahun 2023 ditetapkan sebesar 221 ribu orang tanpa pembatasan usia. Jumlah itu terdiri 203.320 jamaah haji reguler, 17.680 jamaah haji khusus dan 4.200 untuk petugas.

Jatah jamaah haji Indonesia itu dibilang terbesar dibanding berbagai negara lainnya. Pemerintah Arab Saudi membuka kembali keran jumlah jamaah haji tanpa pembatasan setelah redanya wabah Covid-19.

“Sepertinya kami sulit untuk menyetor tambahan biaya haji kalau masih ditetapkan Rp 69 juta. Bisa jadi kami mundur atau menunda keberangkatan,” kata jamaah tadi.

Saya  membaca berita dari Sumenep yang diberitakan koranmadura.com. Hampir 500 orang atau satu kloter calhaj di daerah tersebut menarik dana setorannya. Sebagian mengalihkan menjadi perjalanan umrah, meskipun tidak menggugurkan kewajibannya melaksanakan rukun Islam ke-5. “Untuk sementara yang penting beribadah ke Tanah Suci,” begitu alasannya.

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief menyebut pihaknya bakal mencari pengganti, jika ada jamaah yang tidak sanggup melunasi biaya naik haji. “Kalau ada yang mundur, maka ada yang naik sebagai penggantinya,” katanya seperti diberitakan tempo.co.

Tapi seorang wakil rakyat mencela pernyataan Dirjen tersebut. Seharusnya Dirjen PHU membesarkan hati para calhaj. Jangan cepat-cepat menyatakan mencari penggantinya. Apalagi biaya perjalanan haji sebesar Rp 69 juta itu belum final dan masih dalam pembahasan.

Presiden Jokowi menegaskan, kenaikan biaya haji 2023 yang diusulkan Kementerian Agama masih dalam proses pembahasan. “Biaya haji masih dalam proses kajian,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (24/1) lalu.

Bagaimana dengan kabar adanya kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang menurunkan masyair hingga 30 persen? Menurut Dirjen, masyair merupakan  layanan transportasi dan akomodasi selama 4 hari  dari Arafah, Muzdalifah  dan Mina. “Tapi yang turun itu hanya untuk jamaah lokal atau domestik saja,” jelasnya.

PKS menuding lonjakan biaya perjalanan haji karena kesalahan investasi dana haji. “Kenaikan biaya haji itu tidak rasional.  Kasihan jamaah karena 75 persen calon jamaah itu adalah petani dan nelayan,” kata anggota Komisi  VIII dari Fraksi PKS, Iskan Qolba Lubis.

Saya baca di medsos, ada netizen yang berceloteh begini. “Orang yang mau ibadah saja dibisnisin. Dipersulit dengan alasan haji bagi yang mampu. Kalau patokannya bagi yang mampu, naikin saja sekalian Rp 500 juta,” katanya ketus.

Netizen lainnya membuat konten yang menggelitik. Dia menginformasikan bahwa Pemerintah Taliban di Afghanistan yang dibilang tak beres itu, justru  tahun ini mengembalikan sisa biaya perjalanan haji kepada jamaahnya. Jadi bukannya menaikkan, malah sebaliknya.

Ada lagi yang mengkritik soal investasi dana haji. “Dana haji tidak usah diinvestasikan  sana-sini kalau hasil akhirnya tidak sesuai janji manis Pemerintah untuk meringankan beban biaya ibadah haji jamaah. Lakukan audit, bubarkan saja BPKH!!!,” tandasnya.

Menag Yaqut membantah kabar yang beredar bahwa  dana haji digunakan Pemerintah untuk keperluan lain, seperti membangun Ibu Kota Nusantara (IKN). “Itu sama sekali tidak benar. Yang ada justru melalui BPKH, Pemerintah menyubsidi jamaah haji agar biaya besar yang harus dikeluarkan oleh jamaah bisa lebih ringan,” katanya.

Tentang biaya haji Rp 69 juta, Menag mengatakan sudah melalui kajian. “Usulan ini atas pertimbangan untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji,” jelasnya.

Keadilan yang dimaksud, menurut Dirjen PHU Hilman Latief, adanya perubahan skema persentase komponen Bipih dan nilai manfaat. Pemerintah mengajukan skema yang lebih berkeadilan dengan  komposisi 70 persen Bipih atau ditanggung jamaah dan 30 persen dari nilai manfaat.

Ia menjelaskan berkurangnya kontribusi nilai manfaat itu, untuk menjaga keberlanjutan dana haji dan nilai manfaatnya tidak tergerus habis. Padahal masih ada 5 juta calhaj yang menunggu.

Yang perlu dipahami Menag dan Dirjen, bagi calhaj, prinsip keadilan yang diinginkan ada dua. Pertama, daftar tunggu bisa dipercepat. Berjuang menambah kuota atau melobi negara lain yang kelebihan kuota. Kedua, biaya perjalanan haji tidak mengalami kenaikan apalagi dengan angka yang mencolok.

Wakil Ketua Komisi VIII  dari Fraksi PDIP Diah Pitaloka mengusulkan penurunan biaya haji menjadi Rp 50 juta. “Angka psikologisnya kami berharap  Rp 50 juta per jamaah. Berarti harus turun Rp 19 juta,” katanya kepada wartawan.

Jika Gubernur Isran Noor atau tokoh lainnya berhasil jadi capres atau cawapres, saya mengusulkan isu biaya perjalanan haji dijadikan salah satu materi atau janji kampanye. Apa salahnya jika lima tahun masa pemerintahannya tidak ada kenaikan biaya perjalanan haji.

Kalau ada kenaikan komponen biaya haji seperti biaya pesawat, penginapan atau perubahan kurs dolar, maka harus ditutupi dari nilai manfaat dana haji. Kalau masih tidak cukup, ya subsidi dari APBN. Ini cocok dengan tulisan Hanif:  “Tugas Pemerintah itu menaikkan haji, bukan menaikkan biaya haji.” (*)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti