SAMARINDA – Dinamika politik Kutai Kartanegara (Kukar) saat ini terpusat di lembaga penyelenggara. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kukar dan KPU Kaltim telah menerima surat dari KPU RI terkait penerusan pelanggaran administrasi pemilihan.
Keputusan mengenai pelanggaran administrasi atau tidak –oleh calon bupati Edi Damansyah– akan diambil KPU Kukar di bawah supervisi KPU Kaltim paling lambat 25 November 2020.
Surat KPU RI kepada KPU Kukar adalah tindak lanjut setelah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengeluarkan rekomendasi dalam surat bernomor 0705/K.Bawaslu/PM.06.0/XI/2020. Bawaslu merekomendasikan pembatalan pencalonan Edi Damansyah sebagai kandidat bupati karena ditengarai melanggar pasal 71 ayat (3) Undang-Undang 1/2015 sebagaimana terakhir kali diubah UU 6/2020.
Setelah KPU Kaltim menerima surat dari KPU RI, Ketua Divisi Hukum KPU Kaltim, Fahmi Idris, menjelaskan langkah selanjutnya. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, KPU provinsi dan/atau kabupaten/kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi paling lama tujuh hari sejak rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau Panwaslu Kabupaten/Kota diterima.
“Pasal 18 Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2013 bahwa KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu sesuai tingkatannya. Meliputi kegiatan mencermati kembali data atau dokumen sebagaimana rekomendasi Bawaslu sesuai tingkatannya. Kemudian menggali, mencari, dan menerima masukan dari berbagai pihak untuk kelengkapan dan kejelasan pemahaman laporan pelanggaran administrasi pemilu,” jelas Fahmi Idris.
Saat ini, terangnya, KPU Kukar mengklarifikasi pihak terkait. Beberapa pihak di antaranya adalah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kukar, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kukar, camat dan lurah terkait, hingga terlapor Edi Damansyah. Hasil klarifikasi akan dijadikan pertimbangan KPU Kukar untuk mengambil keputusan dan dapat meminta arahan kepada KPU RI.
Dalam pandangan hukum akademikus Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, ada yang janggal dari langkah penyelenggara pilkada tersebut. Pertama, KPU masih menggunakan ketentuan Pasal 18 PKPU 25/2013 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum untuk menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu. Padahal, kata dosen Fakultas Hukum tersebut, PKPU tadi sudah tidak relevan. Dalam konsideran menimbang, PKPU 25/2013 mengacu kepada UU yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
“Lagi pula, PKPU tersebut spesifik diperuntukkan bagi pengaturan pelanggaran administrasi pemilu, bukan pilkada,” kata Castro, panggilan pendek Herdiansyah, dalam keterangan tertulis, Jumat, 20 November 2020.
Tata cara penanganan pelanggaran administrasi pilkada disebut kewenangan mutlak Bawaslu. Hal itu diatur secara eksplisit dalam Peraturan Bawaslu 8/2020 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
KPU, kata Castro, seharusnya tidak perlu melakukan upaya menggali, mencari, dan menerima masukan dari berbagai pihak untuk kelengkapan dan kejelasan pemahaman laporan pelanggaran administrasi pemilu. “Jadi, KPU tidak bisa menggunakan PKPU 25/2013 karena tidak relevan sama sekali untuk menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu. Ibarat sakit kepala, yang diminum justru obat sakit perut. Itu pun obat sakit perutnya sudah kedaluwarsa,” terangnya.
Kedua, langkah KPU yang akan mengklarifikasi sejumlah pihak. Castro menilai, langkah tersebut overlap. Kewenangan untuk mengkaji dan mengklarifikasi pelanggaran, mutlak di tangan Bawaslu. Proses tersebut sudah berlangsung sebelum rekomendasi Bawaslu keluar. KPU mestinya hanya berkapasitas memeriksa kelengkapan dokumen secara administratif sebagai landasan mengambil keputusan.
“Kalaupun ada masalah dalam rekomendasi Bawaslu nantinya, mekanisme kontrol dan evaluasi ada dalam sistem peradilan pasca-rekomendasi itu dijalankan,” kuncinya.
SILANG PENDAPAT
Pandangan berbeda disampaikan praktisi politik yang juga CEO Samarinda Berani, Parawansa Assoniwora. Menurutnya, langkah KPU mendalami ulang rekomendasi Bawaslu sudah tepat. Parawansa mengatakan bahwa sejumlah putusan KPU terhadap pelanggaran administratif calon petahana di sejumlah pilkada terdahulu di Indonesia berujung gugatan ke Mahkamah Agung. Sebagian besar gugatan terhadap keputusan KPU justru dimenangkan penggugat.
“Nah, inilah yang membuat KPU harus berhati-hati. Penetapan sebagai calon atau pemberhentian sebagai calon adalah berdasarkan keputusan KPU, bukan rekomendasi Bawaslu,” terang Parawansa yang sempat berusaha maju di Pilwali Samarinda 2020 melalui jalur perseorangan.
Masalahnya, jika ada gugatan, objeknya jelas yakni keputusan KPU, bukan rekomendasi Bawaslu. Secara muruah institusi, dalam konteks Pilkada Kukar yang hanya satu pasangan calon, KPU tidak ingin kecolongan andaikata rekomendasi Bawaslu lemah dalam pembuktian.
KPU juga disebut harus berhati-hati mengambil langkah mengingat ada ‘ketidaktegasan’ dalam surat rekomendasi Bawaslu. Jika rekomendasi itu dicermati dengan saksama, sambung Parawansa, Bawaslu hanya menulis nama calon bupati Edi Damansyah yang direkomendasikan untuk dibatalkan pencalonannya.
Padahal, jika mengacu perkara serupa dalam pilkada di lain tempat, KPU tidak pernah mendiskualifikasi satu calon saja melainkan pasangan calon. Demikian halnya rekomendasi Bawaslu, selalu menyebutkan pembatalan pasangan calon, bukan atas nama satu calon saja.
“Rekomendasi Bawaslu itu menyebabkan KPU tidak mungkin mendiskualifikasi pasangan calon (Edi-Rendi). Jika demikian, putusan itu ‘overdosis’ karena tidak sesuai dengan rekomendasi Bawaslu,” terangnya.
Di sisi lain, jika KPU mendiskualifikasi calon bupati saja, bukan pasangan calon, definisi peserta pilkada seperti amanah UU yaitu diikuti pasangan calon atau para pasangan calon menjadi tidak sesuai. Ketika Edi Damansyah saja yang didiskualifikasi, otomatis Rendi Solihin akan maju sendirian melawan kolom kosong. Status Rendi kemudian bukan sebagai pasangan calon.
“Tentunya, ini menjadi tidak sesuai juga. Lagi pula, belum ada kasus serupa di tempat lain, ketika pilkada diikuti pasangan calon tunggal, lantas pasangan tersebut didiskualifikasi. KPU harus sangat berhati-hati dalam meneruskan rekomendasi Bawaslu ini,” jelasnya.
Parawansa juga menyinggung PKPU 25/2013 yang dipakai KPU dalam menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu. Menurutnya, PKPU tersebut telah diperbaharui oleh PKPU 13/2014 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum. PKPU ini masih relevan selama belum ada peraturan yang lain yang mengganti atau memperbarui.
“Jadi, dengan surat KPU RI tertanggal 17 November 2020 kepada KPU Kaltim dan KPU Kukar, perlu diingat bahwa dalam proses pilkada, KPU memiliki peraturan sendiri sehingga tidak ada overlap,” jelas Parawansa. Overlap yang dimaksud adalah langkah KPU menggali, mencari, dan menerima masukan dari berbagai pihak untuk kelengkapan dan kejelasan pemahaman laporan pelanggaran administrasi pemilu. “Sehingga langkah KPU dalam proses pilkada di Kukar sudah tepat yaitu menggunakan pasal 18 PKPU 25/2013 tentang penyelesaian pelanggaran administrasi pemilihan umum, sebagaimana diubah PKPU 13/2014.”
Yang terakhir, Parawansa mengatakan bahwa KPU perlu berhati-hati memutuskan rekomendasi Bawaslu dalam konteks Pilkada Kukar. Ada pertimbangan faktor nonregulasi di sana. Sebagai contoh, anggaran pilkada yang sudah digunakan penyelenggara sangat besar. Anggaran tersebut notabenenya adalah uang rakyat.
“Tentu sangat berbeda ketika pilkada diikuti pasangan calon lebih dari satu. Ketika satu pasangan calon didiskualifikasi dan pasangan tersebut menggugat ke MA, tahapan pilkada masih bisa berjalan. Situasi di Pilkada Kukar yang diikuti paslon tunggal tidaklah demikian,” tutupnya. (kk/red)