SAMARINDA – Calon Bupati Kutai Kartanegara yang berstatus petahana, Edi Damansyah, tersandung dugaan pelanggaran administrasi pemilihan. Demikian dimuat dalam salinan surat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Nomor 0705/K.Bawaslu/PM.06.00/XI/2020 tertanggal 11 November 2020 yang diterima media. Surat itu ditujukan kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum RI. Isinya, meminta KPU RI memerintahkan KPU Kutai Kartanegara mencoret nama Edi Damansyah sebagai calon Bupati Kukar.
Rekomendasi tersebut terbit setelah Bawaslu RI memeriksa laporan masyarakat. Hasil pemeriksaan menyatakan, inkumben yang menjadi calon tunggal di pilkada Kukar itu menabrak Pasal 71 ayat 3 Undang-Undang 10/2016 tentang Perubahan Kedua UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Ayat 3 pasal itu berbunyi, “Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan wali kota dan wakil wali kota, dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.”
Sebenarnya, sebelum rekomendasi terhadap calon bupati Kukar ini terbit, Bawaslu RI telah mengeluarkan 7 rekomendasi serupa hingga Oktober 2020. Ketujuh rekomendasi berisi sanksi diskualifikasi diberikan kepada pasangan calon di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah; Pegunungan Bintang, Papua; Kabupaten Kaur, Bengkulu; karena melanggar pasal 71 ayat 2 (larangan mutasi enam bulan sebelum masa jabatan berakhir).
Sementara itu, pasangan calon di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, dan Halmahera Utara, Maluku Utara, mendapat rekomendasi diskualifikasi karena melanggar Pasal 71 ayat 3 (sama seperti Kukar, menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan). Satu pasangan yang lain, di Gorontalo, direkomendasikan sanksi diskualifikasi karena melanggar pasal 71 ayat 1.
Dari ketujuh rekomendasi sanksi diskualifikasi tersebut, dua ditindaklanjuti KPU yaitu di Kabupaten Banggai dan Ogan Ilir. Yang menarik adalah KPU Ogan Ilir benar-benar mendiskualifikasi pasangan petahana atas nama Ilyas-Endang. Aturan yang dilanggar pasangan ini persis dengan rekomendasi Bawaslu atas nama cabup Kukar, Edi Damansyah, yakni pasal 71 ayat 3 Undang-Undang 10/2016.
Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, berpandangan bahwa kendati hanya berbentuk putusan, rekomendasi Bawaslu wajib segera ditindaklanjuti KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota. Terlebih, kata dia, rekomendasi itu sudah melewati tahap klarifikasi dan kajian Bawaslu.
“KPU wajib melaksanakan dengan segera rekomendasi dan/atau putusan Bawaslu mengenai sanksi administrasi pemilihan. Hal ini diperkuat ketentuan Pasal 139 ayat 2 UU 1/2015, KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu provinsi dan/atau Panwaslu kabupaten/kota,” jelasnya, Jumat, (13/11/2020).
KPU setempat juga wajib memutus pelanggaran administrasi paling lama 7 hari sejak rekomendasi Bawaslu tersebut diterima sebagaimana diatur Pasal 140 UU 1/2015. Dengan demikian, rekomendasi Bawaslu bersifat mengikat kepada KPU. Artinya, KPU tidak perlu melakukan apapun kecuali menjalankan rekomendasi Bawaslu.
Bagaimana jika akhirnya KPU Kukar menjalankan rekomendasi Bawaslu dengan menjatuhkan sanksi diskualifikasi? Menurut Castro, jika KPU mengeluarkan keputusan pembatalan pencalonan, secara otomatis, Pilkada Kukar akan batal. Pilkada yang batal ini disebabkan karena pemilihan di Kukar diikuti calon tunggal. Tanpa peserta pilkada, tidak mungkin pilkada berjalan.
Castro juga menguraikan, sesuai Pasal 90 ayat (1) huruf f dalam Peraturan KPU 1/2020, yang didiskualifikasi adalah pasangan calon. Dengan demikian, tidak ada skenario bahwa jika Edi Damansyah didiskualifikasi, calon wakil bupati Rendi Solihin lantas menggantikan posisinya sebagai calon bupati.
“Pasal 90 ayat 1 huruf f, PKPU 1/2020 itu berbunyi, pasangan calon dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta pemilihan oleh KPU provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP kabupaten/kota, apabila menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan pemerintah daerah untuk kegiatan pemilihan sejak enam bulan sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih, bagi calon atau pasangan calon yang berstatus sebagai petahana,” jelasnya.
Dari frasa pasangan calon, Castro mengatakan, yang didiskualifikasi adalah pasangan, bukan calon bupati saja atau calon wakil bupati saja. Yurisprudensi dari kasus serupa ini banyak. Makassar dan Parepare di Sulawesi Selatan adalah salah dua contohnya. Pasangan calon di kedua daerah itu dibatalkan pada 2018 kendati hanya calon kepala daerah yang petahana. Wakilnya bukan.
Meskipun demikian, dosen Fakultas Hukum Unmul ini menegaskan, Edi Damansyah masih punya upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Langkah hukum tersebut berkenaan dengan obyek putusan KPU nantinya.
“Jadi, kita lihat dulu tindak lanjut KPU atas rekomendasi Bawaslu tersebut,” sebutnya. Ketika pilkada Kukar dibatalkan, yang terjadi kemudian adalah kekosongan dalam jabatan kepala daerah dan wakil. Keadaan yang sama manakala kotak kosong menang dalam pilkada. Jika demikian, Castro menambahkan, jabatan bupati akan diisi seorang penjabat yang ditunjuk pemerintah.
Di Tenggarong, Ketua KPU Kukar, Erliyando Saputra, mengaku belum menerima surat rekomendasi dari Bawaslu RI. Namun demikian, KPU Kukar telah berkoordinasi dengan KPU Kaltim mengenai kebenaran surat rekomendasi tersebut. Dalam prosesnya, Nando –panggilan pendek Erliyando– menjelaskan bahwa surat Bawaslu RI akan masuk ke KPU RI kemudian berjenjang turun ke provinsi hingga kabupaten.
“Intinya, KPU kabupaten menunggu surat resmi pusat. Apapun keputusannya, secara struktural, yang menjadi perintah KPU RI itu yang kami jalankan,” ucap Nando, Jumat (13/11/2020).
Ketua Bawaslu Kukar, Muhammad Rahman, satu suara. Ia masih menunggu surat Bawaslu RI. Bawaslu Kukar juga masih menunggu perkembangan. Yang jelas, kata dia, laporan terhadap dugaan pelanggaran memang dialamatkan kepada Bawaslu RI. Dengan demikian, penanganannya ada di Bawaslu RI.
“Mengenai apa yang ditangani (oleh Bawaslu RI), Bawaslu Kukar tidak tahu,” imbuhnya. Rahman menegaskan, apapun rekomendasi Bawaslu RI, Bawaslu Kukar tetap mendukung dan mengawasi setiap tahapan.
Dalam surat Bawaslu RI yang berisi rekomendasi pembatalan calon atas nama Edi Damansyah, tertulis nama Hendra Gunawan sebagai pelapor dan dia membeberkan laporannya tersebut. Pada awalnya, Hendra melaporkan bupati petahana kepada Bawaslu Kukar pada Agustus 2020. Ada 10 laporan waktu itu. Selanjutnya, pada Oktober 2020, ia membawa empat laporan kepada Bawaslu Kaltim. Hendra mengklaim, laporan tersebut tidak ditindaklanjuti. “Laporan kami di (Bawaslu) kabupaten dan provinsi itu tidak ditindaklanjuti karena alasan yang tidak realistis,” terangnya.
Pada rentang Oktober hingga November 2020, Hendra akhirnya melaporkan kepada pihak Bawaslu RI dengan 8 laporan. Poin yang menjadi sorotan dalam aduan tersebut adalah dugaan pelanggaran administrasi penggunaan kewenangan, program, dan kegiatan, yang dilarang dilakukan petahana enam bulan sebelum penetapan pasangan calon. Salah satu dari laporan tersebut, petahana disebut berkampanye sebelum penetapan kampanye.
Pada saat meresmikan Jalan Oloy di Kecamatan Muara Muntai, lanjut Hendra, calon petahana sempat menyinggung elektabilitasnya. Petahana berkata, sesuai laporan, ingin menang saat pilkada bukan hanya secara elektabilitas
“Ini adalah bentuk pelanggaran yang nyata,” terang Hendra. “Alhamdulillah, hari ini, Bawaslu RI tetap menjadi garda terdepan menciptakan integritas pengawas pemilu dan menciptakan keadilan bagi kami selaku pelapor karena kami juga melengkapi laporan dengan bukti-bukti,” sambungnya.
Di lain tempat, Sekretaris DPD Partai Golkar Kaltim, Muhammad Husni Fahruddin, turut menyatakan pendapat. Golkar adalah salah satu partai pengusung Edi Damansyah-Rendi Solihin. Menurut Husni, rekomendasi Bawaslu RI belum memiliki kekuatan hukum yang kuat dan final. Produk yang dikeluarkan Bawaslu masih berupa rekomendasi. KPU RI dalam hal ini KPU Kukar, perlu mengkaji terlebih dahulu. Tindak lanjutnya, KPU bisa membatalkan pencalonan atau ada pertimbangan lain yang menganulir rekomendasi atau tidak mengeksekusi rekomendasi Bawaslu RI tersebut.
“Jadi, selama proses hukum pelanggaran administrasi ini masih berjalan, calon Bupati Edi Damansyah secara hukum dan sesuai aturan masih sah sebagai calon bupati, dan masih tetap dapat berkampanye dan berkontestasi dalam pemilihan bupati 9 Desember 2020,” terang Husni.
Husni mengatakan, Edi selaku pihak terekomendir (calon bupati yang direkomendasikan dibatalkan pencalonannya), paling tidak punya dua upaya perlawanan. Pertama, mengajukan bukti kepada KPU. Dari sini, penyelenggara pilkada bisa memiliki alasan hukum yang berdasar untuk tidak mengeksekusi rekomendasi Bawaslu RI.
Upaya kedua, lanjut dia, karena sifatnya hanya rekomendasi bukan merupakan sebuah produk hukum dan/atau keputusan hukum sebuah institusi yang bernama Bawaslu, belum bisa digugat ke MA atau di PTUN-kan. Kecuali, ada keputusan dari KPU untuk membatalkan pencalonan Edi Damansyah. Putusan KPU itulah yang bisa digugat di MA atau PTUN.
Sebelum mengambil dua upaya tersebut, Husni melanjutkan, Edi dapat melaporkan rekomendasi Bawaslu RI ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). “Bila merasa dirugikan dan merasa tidak memenuhi rasa keadilan, terekomendir bisa melapor ke DKPP. Bisa dari sisi rekomendasi atau etik,” tambahnya.
Husni juga menegaskan, rekomendasi Bawaslu RI tak langsung membatalkan pencalonan Edi Damansyah. Alasannya, yang bisa membatalkan adalah KPU dalam hal ini KPU Kukar sebagai locus delicte (tempat kejadian perkaranya). Seandainya ada keputusan KPU yang membatalkan pencalonan, masih ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh calon bupati yakni menggugat di Mahkamah Agung atau PTUN.
“Selama proses hukum tersebut berjalan, pencalonan masih tetap sah secara hukum. Hanya setelah ada putusan hukum yang bersifat final dan mengikat (inchract), barulah Edi Damansyah tidak bisa lagi berkontestasi dalam pemilihan bupati,” terangnya.
Husni mengingatkan, hukum berdomain politik merupakan hal yang bersifat lex specialis derogat legi generali. Artinya, asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Maka penanganannya harus berhati-hati karena sangat berhubungan dengan publik atau masyarakat secara luas. Untuk itu, dibutuhkan penegak hukum dan penegakan hukum yang memahami hukum politik secara komprehensif. (kk/red2)