TENGGARONG – Sekretaris DPD Partai Golkar Kaltim, Muhammad Husni Fahruddin menyebut rekomendasi Bawaslu RI yang meminta KPU RI memerintahkan KPU Kutai Kartanegara (Kukar), mencoret nama Edi Damansyah sebagai calon Bupati Kukar karena terbukti telah melakukan pelanggaran administrasi, dinilai belum memiliki kekuatan hukum yang kuat dan final.
Menurut Husni, karena produk yang dikeluarkan Bawaslu berupa rekomendasi, maka KPU RI dalam hal ini KPU Kukar, perlu melakukan kajian terhadap rekomendasi tersebut.
Apakah kemudian menindaklanjuti dengan membatalkan pencalonan atau ada pertimbangan lain, yang akhirnya menganulir rekomendasi atau tidak mengeksekusi rekomendasi Bawaslu RI.
“Jadi selama proses hukum pelanggaran administrasi ini masih berjalan, maka calon Bupati Edi Damansyah secara hukum dan sesuai aturan masih sah sebagai calon bupati, dan masih tetap dapat berkampanye dan berkontestasi dalam pemilihan bupati yang akan digelar pada 9 Desember 2020 nanti,” kata Husni, Jumat (13/11/2020).
BACA JUGA: Bawaslu RI Rekomendasikan Cabup Kukar Edy Damansyah Dibatalkan
Terkait adanya isu yg mempertanyakan netralitas Bawaslu Kukar, Bawaslu Kaltim sehingga harus diambil alih oleh Bawaslu RI dan ternyata oleh Bawaslu RI terbukti direkomendasikan untuk dibatalkan sehingga ada kesan Bawaslu Kukar dan Bawaslu Kaltim telah tidak netral. Menurut Husni, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan obyek hukum, laporan masyarakat kepada Bawaslu Kukar, kepada Bawaslu Kaltim dan kepada Bawaslu RI.
“Itu berbeda objek hukum, atau bahasa awamnya laporan kasusnya berbeda. Sehingga bukti dan konstruksi hukumnya juga berbeda sehingga menyebabkan keputusannya atau rekomendasinya juga berbeda,” jelasnya.
Namun, khusus laporan kepada Bawaslu RI terkait program pemerintah yang diindikasikan berhubungan dengan kegiatan pemilihan dan hal ini yang menyebabkan Bawaslu RI memutuskan adanya pelanggaran administrasi, Husni menyebut, selaku pihak terekomendir (calon bupati yang direkomendasikan dibatalkan pencalonannya), Edi paling tidak punya 2 upaya perlawanan.
Pertama, mengajukan bukti kepada KPU, sehingga penyelenggara pilkada itu memiliki alasan hukum yang berdasar untuk tidak melakukan eksekusi terhadap rekomendasi Bawaslu RI.
Upaya kedua, lanjut dia, karena sifatnya hanya rekomendasi bukan merupakan sebuah produk hukum dan atau/ keputusan hukum sebuah institusi yang bernama Bawaslu maka belum bisa digugat ke MA atau di PTUN-kan. Kecuali, ada keputusan dari KPU untuk membatalkan pencalonan Edi Damansyah maka putusan KPU tersebut baru dapat digugat di MA atau PTUN.
Sebelum mengambil dua upaya tadi, menurut Husni, Edi dimungkinkan melaporkan rekomendasi Bawaslu RI ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). “Bila merasa dirugikan dan merasa tidak memenuhi rasa keadilan, terekomendir bisa melapor ke DKPP. Bisa dari sisi rekomendasi atau etik,” tambahnya.
Husni menegaskan, rekomendasi Bawaslu RI tak langsung membatalkan pencalonan Edi Damansyah. Alasannya, yang bisa membatalkan adalah KPU dalam hal ini KPU Kukar sebagai locus delicte (tempat kejadian perkaranya).
Seandainya ada keputusan KPU yang membatalkan, maka masih ada upaya hukum lainnya yang dapat ditempuh calon bupati yakni melakukan gugatan di MA atau PTUN.
Harus diingat, tambah dia, selama proses hukum tersebut berjalan, pencalonan masih tetap sah secara hukum. Baru setelah ada putusan hukum yang bersifat final dan mengikat (inchract) maka Edi Damansyah sudah tidak bisa lagi berkontestasi dalam pemilihan bupati.
Lantas bagaimana dengan posisi calon wakil bupati Kukar Rendi Solihin? Menurut Husni, seandainya Edi Damansyah oleh KPU dibatalkan kemudian dikuatkan lewat proses hukum, maka Rendi tetap bisa mengikuti pilkada.
Ini sesuai aturan calon dapat diganti 30 hari sebelum pemilihan, artinya batas akhir pergantian calon pada tanggal 9 November 2020, karena pencoblosan dilakukan 9 Desember 2020. Sehingga tidak ada pergantian calon lagi oleh partai politik, maka Rendi Solihin tetap bisa mengikuti pilkada karena yang melanggar hanya Edi Damansyah.
“Hanya satu calon yang dibatalkan, sampai saat ini aturan masih menyatakan demikian,” kata Husni. Lain halnya bila ada peraturan tambahan atau terbaru, mengingat ada kasus hukum atau kejadian baru yang memerlukan peraturan KPU untuk memayunginya, sehingga Rendi Solihin akan mengikuti pemilihan bupati tanpa calon bupati.
Dikatakan pula, hukum berdomain politik merupakan hal yang bersifat lex specialis derogat legi generali, sehingga penanganannya harus berhati-hati karena sangat berhubungan dengan publik atau masyarakat secara luas. Untuk itu dibutuhkan penegak hukum dan penegakan hukum yang memahami hukum politik secara komprehensif. (red2)