Catatan Rizal Effendi
MENJELANG peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2022, ada “insiden” dramatis dari Lumajang, kabupaten yang bertetangga dengan Probolinggo dan Jember, Jawa Timur, dua pekan lalu. Sang ketua DPRD setempat, H Anang Akhmad Syaifuddin (49) mengundurkan diri gara-gara tidak hafal Pancasila. Insiden ini kontan jadi viral di mana-mana terutama di media sosial dan layar televisi.
Ceritanya bermula ketika Anang menemui para demonstran aksi unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia diminta memimpin pembacaan Pancasila. Sepertinya tidak pakai teks. Tak dinyana, dia tersendat ketika membacakan sila keempat. Sampai dua kali. Tentu saja suasana jadi heboh. Apalagi di zaman sekarang, tidak ada hal yang terlewat dari kamera HP. Maka ramailah di dunia maya.
Menebus rasa bersalahnya, Anang menyampaikan pengunduran diri sebagai ketua DPRD. “Saya pikir dengan saya mengundurkan diri, maka tidak ada kegaduhan lagi, eh malah sebaliknya tambah ramai,” keluh politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini kepada wartawan.
Anang terpilih sebagai ketua DPRD Lumajang, setelah dalam Pemilu 2019, partainya meraih 10 kursi sebagai suara terbanyak. Anang juga didaulat kader PKB sebagai ketua DPC di daerahnya. Dia menempuh pendidikan sarjananya di IAIN, yang kini menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.
Anang menjelaskan, dia bersikukuh mundur demi menjaga muru’ah DPRD Lumajang. Selain itu, ia juga tak mau mewariskan rasa malu kepada anak-anaknya. “Saya ingin menjaga wibawa DPRD sekaligus tak ingin mewariskan rasa malu kepada anak-anak saya. Jejak digital ‘kan tidak bisa dihapus,” katanya.
Bupati Lumajang Thoriqul Haq sambil menangis menyesalkan pengunduran diri Anang. Demikian juga 8 fraksi di DPRD Lumajang sepakat menolak. Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar mengapresiasi sikap Anang. “Saya menghargai sikap tanggung jawabnya. Tapi apakah pengunduran dirinya diterima atau ditolak, akan kita bahas,” tandasnya.
Meski pengunduran dirinya belum resmi diterima, nyatanya Anang sudah bertindak lebih jauh. Mobil dinas Toyota Fortuner FRZ warna hitam dengan nomor polisi N 1182 BS itu, yang biasa dipakainya, sudah dikembalikan ke DPRD. “Ya masa saya sudah mengundurkan diri, tapi mobil masih saya pakai? Kan itu tidak pantas,” katanya.
Yang juga menarik dari Anang, laporan harta kekayaannya kepada KPK minus Rp 643 juta per Januari 2022 seperti diberitakan Tribunnews.com. Unik juga. Sebab, asetnya hanya Rp 57 juta terdiri dari dua aset tanah bernilai Rp 35 juta serta kas dan setara kas Rp 22 juta. Sedang utangnya Rp 700 juta lebih. Bahkan pada LHKPN tahun 2021, minusnya di atas Rp 1 miliar.
Beragam komentar muncul menanggapi soal pengunduran diri Anang. Sebagian pihak memuji sebagai contoh sikap kesatria seorang anak bangsa. Tapi sebagian juga menyesalkan dan memahami apa yang terjadi sebenarnya sangat alami. Dalam situasi grogi, orang bisa lupa. Itu diakui sendiri oleh Anang.
“Seseorang dinilai Pancasilais bukan dari kemampuannya menghafal. Tapi dilihat dari sikap penghayatan dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari,” komentar seorang nitizen.
Ketika saya menjadi wali kota selama 10 tahun, setiap memimpin pengucapan Pancasila saya selalu menggunakan teks tertulis. Bahkan pada teks sila ke-4, protokol juga menandai di penggalan kalimat mana saya harus jeda atau berhenti sejenak untuk memberi kesempatan kepada peserta upacara ikut mengucapkan. Baru diteruskan lagi.
Semula saya pikir Anang Akhmad Syaifuddin ada darah banjarnya. Tapi saya lihat dari profil pribadinya, Anang asli orang Lumajang. Nama Anang atau Nanang banyak disematkan kepada lelaki Banjar. Teman saya, Nanang Sulaiman saat ini menjadi anggota DPD RI dapil Kaltim menggantikan KH Muhammad Idris yang meninggal dunia. Pengecualian juga dengan musisi dan politisi Anang Hermansyah. Dia juga bukan orang Banjar, melainkan kelahiran Jember.
BAHAN PERENUNGAN
Meski tidak ada kaitannya, peristiwa Lumajang penting juga menjadi bahan perenungan kita menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Seperti kita ketahui, Hari Kesaktian Pancasila ditetapkan Pemerintah untuk mengenang peristiwa pemberontakan G30S/PKI, yang terjadi pada tanggal 30 September 1965.
Akibat peristiwa itu, 6 perwira tinggi dan satu perwira pertama TNI Angkatan Darat terbunuh. Mereka adalah Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani, Letnan Jenderal (Anm) TNI Raden Soeprapto, Letjen TNI (Anm) Siswondo Parman, Letjen TNI (Anm) Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal TNI (Anm) Sutoyo Siswomihardjo, Mayjen TNI (Anm) Donald Isaac Panjaitan, dan Kapten CZI (Anm) Pierre Andreas Tendean. Mereka yang menjadi martir ini kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Menkohankam/Kasab) Jenderal TNI Abdul Harris Nasution lolos dari penculikan. Tapi ajudannya, Pierre Tendean dan menyusul anaknya yang masih balita, Ade Irma Suryani Nasution tewas diterjang peluru saat pasukan Tjakrabirawa datang menyergap.
Mayjen TNI Soeharto selaku panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) ditugasi melakukan operasi pemulihan. Selain menangkapi para gembong pemberontakan, dia juga membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dituduh sebagai dalang di balik pemberontakan dan penculikan itu. Puncaknya pada 11 Maret 1966 dia mendapat mandat dari Soekarno, yang kemudian dikenal dengan istilah Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret)
Pembubaran PKI dikuatkan lagi dengan Ketetapan (Tap) MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, yang menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang. Selain itu, Pemerintah juga melarang setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Soeharto sendiri akhirnya ditetapkan MPRS sebagai presiden menggantikan Soekarno.
Sampai sekarang masalah pengamalan dan penghayatan Pancasila belum selesai. Presiden Jokowi bahkan sampai membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang diketuai Prof Drs KH Yudian Wahyudi, MA, Ph.D, yang sebelumnya Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sedang ketua dewan pengarahnya, ditunjuk mantan presiden Prof Dr (HC) Hj Megawati Soekarnoputri.
Dalam perjalanannya, BPIP beberapa kali menjadi kontroversi dengan pernyataan dan programnya. Tentu semua orang berharap BPIP benar-benar bisa membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Tentu kita berharap kasus Anang tidak terulang lagi. Salah mengucapkan teks Pancasila memang tidak nyaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi jangan juga menjadi bahan hujatan agar seseorang tersingkir atau disingkirkan.
Bicara soal hafal menghafal Pancasila, saya jadi teringat joke yang sering saya sampaikan kepada teman-teman. Saya bilang, ada seorang kepala daerah, yang pertama kali memimpin upacara bendera. Dia berlagak tak perlu ada teks tertulis, sebab katanya sudah hafal di luar kepala. “Kan mulai SD kelas 1 kita sudah disuruh menghafal Pancasila, masak masih perlu pakai teks,” katanya mantap.
Begitu pembacaan dilakukan, di luar dugaan tiba-tiba hilang ingatannya pada teks ke-4 seperti dialami Ketua DPRD Lumajang. Dalam keadaan panik, sang kepala daerah mendapat akal baru. Secara spontan dia berucap. “Empat dan lima tidak ada perubahan.” Kontan peserta upacara riuh. Dia cepat-cepat meninggalkan upacara sebelum wartawan datang menyerbu. Hari ini “no comment.” (*)