spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

‘Anak Pandemi’

Catatan Rizal Effendi

CUCU saya Dafin akhir-akhir ini punya kebiasaan baru. Saat pulang sekolah dia tak mau langsung dijemput. Dia minta waktu untuk nongkrong bersama teman-temannya. Malah di foto yang dieditnya sendiri, dia menuliskan kata-kata menarik. “Nongkrong di sekolah mantap. Juga deket rumah temen. Buat nongkrong.”

Saya tanya ke Dafin apa maksudnya? Dia jawab santai, mau main dulu dengan teman-teman. Sambil makan dan bercanda. “Asyik juga  nongkrongnya, Kai,” katanya tertawa.

Begitu tiap hari dia lakukan. Dia sekarang duduk di kelas 1 Sekolah Islam Terpadu (SIT) di Balikpapan Baru. Usianya 6 tahun. Sedang abangnya, Defa di kelas 3. Mereka juga suka kegiatan ekstrakurikuler sekolah, seperti berlatih bela diri dan main futsal.  Termasuk juga dikenalkan berbagai hewan seperti ular. Padahal saya paling takut dengan ular.

“Mereka itu ‘anak pandemi,’ selama dua tahun di PAUD hanya belajar lewat daring. Tak pernah bertemu temannya secara langsung, jadi sepertinya sekarang balas dendam,” kata si nenek, Bunda Arita, yang akrab mereka panggil “Ibu.”

Istilah “anak pandemi” disematkan kepada anak-anak yang lahir di masa pandemi Covid-19 terutama pada tahun 2020 dan 2021. Termasuk juga anak-anak prasekolah dan sekolah, yang hanya sekolah di rumah, sebab sekolahnya tutup. Begitu juga anak-anak remaja, yang duduk di bangku sekolah lanjutan atau universitas.

UNICEF (United Nations Children’s Fund) alias lembaga Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa pernah melaporkan, lebih dari setahun semenjak Covid-19 merebak, terdapat 80 juta anak dan remaja di Indonesia yang menghadapi dampak sekunder yang meluas, yaitu terhadap pembelajaran, kesehatan, gizi, dan ketahanan ekonomi.

Seperti kita ketahui, Unicef adalah organisasi PBB yang memberikan bantuan dana kemanusiaan dan perkembangan kesejahteraan jangka panjang bagi anak-anak dan ibunya di negara-negara berkembang.

Pandemi dinyatakan menghambat pendidikan jutaan pelajar, membatasi akses penting ke layanan kesehatan, gizi dan perlindungan serta menyebabkan keluarga-keluarga harus berjuang keras untuk mempertahankan kondisi keuangannya.

UNICEF juga melihat, perubahan rutinitas sehari-hari akibat pandemi juga berdampak terhadap kesehatan mental dan emosional anak dan remaja. Hampir separuh rumah tangga melaporkan, anak mengalami tantangan perilaku seperti sulit berkonsentrasi (45 persen), mudah marah (13 persen) dan sulit tidur (6,5 persen).

Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang dikutip Bisnis.com perlu juga kita cermati dengan saksama. Di situ disebutkan, bahwa anak-anak yang lahir selama masa pandemi, secara signifikan memiliki kinerja verbal, motorik, dan kognitif keseluruhan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang lahir sebelum pandemi.

Kehidupan bayi dan anak-anak berubah akibat Covid-19 yang memicu penutupan bisnis, pembibitan, sekolah dan taman bermain. Orangtua juga stres dan tegang ketika mereka mencoba menyeimbangkan pekerjaan dan pengasuhan anak.

Dengan stimulasi terbatas di rumah dan lebih sedikit interaksi dengan dunia luar, anak-anak era pandemi tampaknya mendapat skor yang sangat rendah pada tes yang dirancang untuk menilai perkembangan kognitif, kata penulis utama studi Sean Deoni, profesor pediatri di Brown University seperti dikutif TheGuardian.com.

Menurut Deoni, alasan terbesar di balik penuruan skor kemungkinan adalah kurangnya stimulasi dan interaksi di rumah. “Orangtua stres dan lelah dan interaksi yang biasanya didapat anak telah menurun secara substansial,” tambahnya.

Itu penelitian pada keluarga di Amerika Serikat. Padahal  ini negara maju, di mana tingkat pendapatan dan pelayanan lainnya termasuk kesehatan terbilang baik. Dapat dibayangkan apa yang terjadi pada keluarga negara berkembang atau negara miskin. Hampir pasti kondisinya lebih buruk lagi.

Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) DKI Jakarta, Rini Sekartini berpendapat, hanya berdiam di rumah memang akan berdampak pada tumbuh kembang anak. “Kalau melihat beberapa studi yang dilakukan, itu berdampak, terutama pada perilaku anak. Kecemasan juga meningkat,” katanya kepada KOMPAS.com.

Masalah-masalah psikologis yang disebutkan tadi, khususnya akan muncul pada anak usia prasekolah dan sekolah. Sebab, anak di usia tersebut memang sudah seharusnya mengenali lingkungan di luar rumah dan bermain dengan teman sebaya.

TIDAK TERCAPAI

Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Jumeri STP, M.Si mengakui betapa besarnya kendala yang dihadapi kita semua ketika diterapkan sistem pendidikan daring selama pandemi.

“Guru-guru  kesulitan untuk mencapai target pembelajaran karena jam belajar dikurangi, sedangkan orangtua kesulitan untuk memahami materi yang dipelajari oleh anak,” kata Jumeri pada Postgraduate Symposium beberapa waktu lalu.

Direktur Sekolah Dasar Dra Sri Wahyuningsih, M.Pd mengatakan pandemi telah memorak-porandakan semua lini kehidupan, termasuk pendidikan. “Hanya saja, jika semua bisa melewati situasi ini dengan baik, maka kita terutama anak akan menjadi lebih tangguh,” tambahnya.

Usman Djabbar, M.Pd, ketua Komunitas Guru Belajar Nusantara berpendapat, ada tiga warisan pandemi yang tidak boleh dihilangkan di satuan pendidikan. Meski sekarang kita sudah memasuki masa transisi atau pasca-pandemi.

Pertama, guru harus belajar dan berbagi. Kedua, budaya inovasi seperti melakukan pembelajaran melalui project based learning. Ketiga, warisan teknologi Pendidikan yaitu memahami konsep verifikasi perbandingan sistensi uji coba produksi, pengetahuan, kesempatan berkolaborasi dengan ekosistem yang berbeda dengan menggunakan teknologi.

“Ketiganya ini adalah warisan pandemi yang jangan sampai hilang begitu saja ketika belajar tatap muka sudah kembali,” katanya.

Saya lihat cucu saya Defa dan Dafin serta teman-temannya sangat ceria mengikuti kegiatan sekolah yang sudah menerapkan belajar tatap muka. Protokol kesehatan tetap mereka perhatikan. Memakai masker dan mencuci tangan menggunakan sabun atau menggunakan handsanitizer.

Guru-guru di SIT saya lihat juga berusaha sebaik mungkin memberikan pembelajaran dan pendidikan kepada anak-anak, agar tidak canggung dan cepat beradaptasi dengan sistem belajar tatap muka. Sistem daring tetap diberlakukan malam hari untuk memberikan pelajaran membaca Alquran.

Sebelum belajar, anak-anak diajak berdoa dan salat dhuha. Kegiatan ekstranya juga sangat beragam. Mulai olahraga sampai mengenal alam. Belanja camilan di warung sekolah dibatasi. Anak-anak tidak boleh belanja semaunya.

Tiap anak  juga dilatih mengembangkan diri menjadi seorang enterpreneur atau pengusaha UMKM. Mereka bawa barang jualan dari rumah, lalu dijual kepada teman-temannya. Ada yang buatan sendiri meski dibuatkan ibu, ada juga beli dari toko.

Dafin sempat jualan susu kotak. Laris sekali. Hanya disisakan satu, yang lain habis dibeli temannya. “Yang satu untuk aku,” katanya. Ketika saya tanya apa rahasianya kok bisa laris? Dafin tertawa. Ternyata susu kotaknya dijual di bawah harga pokok. He he… Rupanya Dafin ingin membantu pemerintah dan orangtua. Memberi subsidi kepada teman-temannya, gara-gara harga BBM naik. (*)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti