(Bagian 2, Novel Bocah Bintan, Menggugah Harapan dan Jiwa)
Saat kepindahan orangtuaku ke Kijang di pulau Bintan, sekitar seminggu keluargaku tinggal sementara di mess Alumina milik perusahaan tak jauh dari daerah waduk sungai enam, sumber utama air baku seluruh warga Kijang. Setelah beradaptasi dengan lingkungan baru atau setidaknya sudah bisa mengenali jalan-jalan di Kijang yang sedikit itu, akhirnya pihak perusahaan menempatkan keluarga kami di perumahan dinas pegawai PT Antam di daerah komplek tanah merah persis di samping masjid Istiqomah tanah merah.
Tetangga depan rumah kami pak Junaidi namanya, pegawai PT Antam dibagian protokol, pak Junaidilah orang pertama yang menyambut kedatangan keluarga kami di Bandara udara Kijang saat itu. Pak Junaidi memperkenalkanku dengan anaknya kebetulan sekali ternyata anaknya adalah calon teman kelasku, tepatnya teman sebangku denganku, yaitu Riko Juniandi namanya.
Peranakan Minangkabau-Melayu orangtuanya menjadikan Riki menjadi anak yang gagah, alisnya yang hitam seperti semut hitam berbaris dan potongan rambutnya yang ikal menjadikan Riki adalah murid tergagah di angkatan kami, bahkan mungkin dari seluruh murid SDN 006. Kami kadang memanggilnya Riko Tampati, karena wajahnya mirip artis Rico Tampati, tidak mengherankan banyak pelajar putri yang suka dengannya bahkan dari sekolahan tetangga. Aku tahu hal itu karena sering surat dari beberapa pelajar perempuan kepadanya diperlihatkan kepadaku dan terkadang dia minta tolong kepadaku agar menjawab isi surat tersebut dan selalu dia minta agar menolak, aku salut dengan alasannya kita hanya boleh berpacaran setelah menikah nanti, dengan dibumbui bahasa puitis yang aku tulis dalam surat untuk menjawab isi surat, sejak itu aku jadi mahir menulis puisi.
Dihari pertama sekolah, aku berangkat menuju sekolah bersamanya, pikiranku melayang bakal seperti apa kelas dan teman baruku nanti, ada perasaan takut dan malu menjadi murid baru kala itu, aku pikir perasaan itu pasti akan dialami oleh siapapun yang menjadi murid baru , namun itu sedikit terbayarkan dengan Riko yang sudah aku kenal sebelumnya. Dibonceng sepeda BMXnya, aku berdiri dibelakang sambil menginjakkan kaki diatas dudukan besi yang menjorok di poros ban belakang sambil kedua tanganku memegang pundaknya, yah itu pengalaman yang tidak bisa kulupakan, meluncur dari tanah merah menuju bundaran tugu tambang depan kantor Polsek Kijang, sepeda BMX itu melaju menuju jalan disamping lapangan hiburan rakyat, komplek sekolah sudah dekat dari sana.
Riko orangnya idealis dan terkenal teguh memegang janjinya, namun sedikit tempramental dan jika dia berbicara sangat kelihatan berwibawa dengan suara baritonnya yang khas, persis bung Irwinsyah pembawa berita nasional TVRI yang terkenal waktu itu, hal itu juga yang membuatnya dia tampak lucu dikelas, apalagi jika sudah pelajaran mendiktenya ibu Tuti guru bahasa Indonesia kami, dimana beliau meminta kami membaca satu persatu secara bergiliran perparagraf di buku cetak bahasa Indonesia terbitan balai pustaka.
Kalau sudah sampai giliran Riko, maka dia membaca teks dengan penuh penghayatan dan setiap kali ia membaca pasti ujung kalimatnya selalu berdesah, persis seperti bung Irwinsyah pembaca berita TVRI kala itu, Riko juga memiliki bakat seni peran yang tinggi. Riko adalah salah satu murid idolanya bu Syafariah, maksudku dia adalah siswa yang paling mati kutu kalau sudah pelajaran matematika, selain Paito tentunya.
***
Senin, setelah liburan panjang tahun ajaran tahun 1987-1988, hari itu awal proses belajar mengajar di sekolah kembali di mulai. Wajah anak-anak tampak ceria memasuki tahun ajaran baru dikelas baru mereka masing-masing, kecuali mungkin teman kelasku nanti yang bernama Paito yang ternyata tidak naik ke kelas 6. Paito adalah siswa tertua di sekolah, saat itu umurnya sudah 14 tahun, di kelas 4 dia jalani dua tahun karena tinggal kelas juga, kemudian di kelas 5 mengalami hal yang sama, guru masih mencintai dirinya untuk tinggal setahun lagi di kelas 5. Badannya yang kekar jangankan kami, guru saja takut kepadanya kecuali ibu Syafariah. Paito terkenal sedikit bicara, namun tidak segan-segan memukul orang yang dia tidak suka atau buat masalah dengannya. Beberapa kali dia akan di keluarkan dari sekolah karena terlibat berkelahi dengan pelajar sekolah tetangga, “penjara maut “ kamar mandi sekolah namanya tertulis di dinding disertai dengan angka-angka lidi yang dicoretnya menandakan dia langganan di hukum dalam ruangan maut itu, namun tetap saja dia tidak pernah kapok dibuatnya.
Paito tumbuh di lingkungan daerah barek motor dekat pasar, nyaris tiada waktunya dipakai untuk belajar, selepas pulang sekolah dia harus membantu ekonomi keluarganya, ayahnya seorang buruh angkut barang pelabuhan sudah terbaring sakit setahun terakhir akibat terkena stroke, Paito terpaksa menjadi buruh angkut barang di pelabuhan . Terkadang jika kapal masuk di pelabuhan tak jarang paito bolos sekolah, demi menjadi tulang punggung keluarganya, ibunya menjadi penjual gado-gado di depan kantor Pos Kijang. Kehidupan pelabuhan yang kasar menjadikannya sangat keras, namun tetap saja dia Paito yang memiliki solidaritas tinggi terhadap teman.
***
“Teng!…….teng!…..teng! teng !teng! teng! teng! teng!……..teng!….teng!”, suara lonceng panjang berbunyi, sontak para murid yang tadinya berhamburan gegas menuju teras kelas masing –masing untuk berbaris sebelum masuk kelas. Lonceng tua yang bergantung di depan teras kelas 6, sejak awal memang urusan pukul memukul lonceng memang ditugaskan kepada murid laki-laki kelas 6, sesekali mereka berebut untuk memukulnya sambil sedikit menjinjit untuk bisa menjangkau lonceng tersebut, pak Basirun sengaja menggantungnya agak tinggi agar tidak menjadi bahan permainan dan membahayakan anak-anak dan benar saja saat kami naik ke kelas 6, lonceng itu memakan korban temanku bernama Bambang, nanti aku ceritakan tragedi lonceng itu, sehingga sejak peristiwa itu kami memanggil Bambang dengan nama barunya codot.
Bu Asmawati guru wali kelas kami berdiri didepan pintu dan memerintahkan kami berbari lurus, barisan laki-laki di sebelah kanan dan perempuan di kiri, yang paling pendek didepan dan walhasil kami saling menakar tinggi masing-masing dan segera mengambil posisi , aku berada di urutan ketiga, karena masih ada yang paling pendek dariku, yaitu Anto dan Sumihar.
Dikelas yang baru, kamipun saling berkompromi utnuk mengambil posisi bangku yang baru di kelas 5. Aku, Riko dan Agus yang telah aku kenal dengannya sebelum masuk kelas sepakat duduk satu baris di barisan ketiga, masih ada deretan bangku terakhir, mereka yang badannya besar tahu diri duduk paling belakang, Arga, Herdi dan Dawam duduknya persis dibelakang kami. Kelas baru itu terdiri dari empat lajur, dua lajur anak perempuan dan dua lajur lainnya anak laki-laki, tapi di lajur tempat aku duduk kami tiga orang, sedangkan yang lainnya hanya dua saja. Murid laki-laki sebanyak 20 orang dan murid perempuan 15 orang.
***
“Anak-anak sekalian, selamat kembali bersekolah di kelas yang baru bersama ibu yah…di kelas !. “, tutur bu Asma di awal pembicaraanya kepada kami semua. Bu Asma demikian kami memanggilnya. Suara santun beliau terasa sangat mengibu dihadapan kami. Bu Asma tinggal di rumah dinas sekolah, suaminya seorang pegawai PT Antam di bagian bengkel teknik yang saban hari menyapa kami dengan Honda 70nya yang berwarna merah jika melintasi gang di samping sekolah kami. Perawakannya kurus dan mengenakan kacamata, walau tak setebal kacamata ibu Syafariah. Selain guru wali kelas 5 , bu Asma mengajar kami mata pelajaran Ilmu pengetahuan alam di sekolah ini .
***
“Anak-anak !! bersama kalian hari ini, ada siswa baru pindahan dari tempat yang jauuuh, dari Indonesia bagian Timur “, kemudian bu Asma melanjutkan pembicaraannya,”sekarang ibu na’ minta Syauqi maju kedepan,,ayo perkenalkan dirimu kepada seluruh teman-teman barumu”, semua mata tertuju padaku. Pengalaman jadi murid baru memang sulit untuk dilukiskan, aku sadar hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya karena mengikuti mutasi kerja orangtuaku membuat aku harus bisa segera beradaptasi dengan lingkungan. Sejak lahir sampai umur setahun ayahku kerja di upn Pomalaa, di daerah Sulawesi tenggara, kemudian pindah di kota Ternate, Maluku Utara kala itu sampai berusia 4 tahun, karena gunung Gamalama meletus ayahku dipindahkan lagi tugas di pulau Gebe, pulau nan kecil diantara pulau Halmahera dengan kepala burung pulau Irian, sampai akhirnya ke Kijang di pulau Bintan.
“Kenalkan, namaku Syauqi,,,,,Ahmad syauqi lengkapnya”, dengan logat khas Maluku yang masih tersisa, dengan penyebutan vokal huruf “e” tebal membuat seluruh kelas tersenyum dan ketawa kecil, mungkin aneh saja dialek Maluku yang sangat khas di telinga mereka, dari deretan bangku belakang sudah ada nada-nada mengolok-olok, namun aku berusaha untuk tetap santai. “Syauqi, cuba engkau jelaskan pada kami semua, macam mana perjalanan engkau dari pulau apa itu?….dan akhirnya bisa sampai kesini?, bu Asma menimpali pertanyaan kepadaku dengan langgam melayunya yang mendayu-dayu, “pulau Gebe bu !”, aku membalas pertanyaan beliau, lagi-lagi suara tertawa kecil terdengar setiap kali aku mengeluarkan kalimat dari lisanku.
Tiba-tiba bu Asma meminta salah seorang murid untuk mengambil peta Indonesia yang tergantung di dinding bagian belakang kelas dan menggantungnya di depan papan tulis, “cuba engkau ceritakan pada kami dengan peta ini, perjalanan engkau sampai disini, teman-teman engkau, pasti nak ingin tahu”. Mistar panjang yang diberikan bu Asma kepadaku, aku gunakan untuk menunjuk atlas yang tergantung di papan tulis sambil menceritakan perjalananku dari pulau Gebe sampai bisa ke Kijang, aku berusaha sebisa mungkin untuk merubah dialekku, namun tetap saja seluruh kelas tertawa kecil. (Bersambung)