Anak-anak yang berkonflik dengan hukum terus terjadi. Di antaranya diselesaikan lewat mediasi, namun ada pula yang tak bisa diselesaikan dalam diversi. Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Samarinda saat ini menangani 54 anak yang terlibat kriminalitas.
Tim Peliput: Andi Desky, Ramlah Effendy, Muhammad Rafi’i, Nur Robbi Syai’an, Muhammad Abdu Kuddu
Dalam sejumlah kasus kriminal, tidak sedikit yang melibatkan anak-anak. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kaltim saat ini menangani 54 anak binaan yang terjerat kasus kriminalitas. Di antaranya kasus narkotika sebanyak 17 anak, kasus pembunuhan sebanyak 4 anak, dan kasus pencurian ada 7 anak.
Kepala Kanwil Kemenkumham Kaltim Sofyan, menuturkan, anak-anak yang terlibat kejahatan itu masih mengikuti pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Samarinda. Mereka menjalankan program kepribadian dan pembinaan kemandirian (keterampilan).
Sofyan menjelaskan, pembinaan kepribadian yaitu pembinaan yang didasari untuk membentuk kepribadian anak binaan. Pembinaan ini jelasnya, menggunakan sejumlah pendekatan, seperti kerohanian dan jasmani, pembinaan kesadaran hukum, berbangsa dan bernegara serta pelayanan kesehatan.
“Pembinaan ini bekerja sama dengan sejumlah pihak, seperti Kementerian Agama, LBH (Lembaga Bantuan Hukum, Red.), Dispora (Dinas Pemuda dan Olahraga, Red.) dan Kodim serta Kwarcab Pramuka,” jelasnya kepada Media Kaltim, Rabu (13/7/2022).
Sementara pembinaan keterampilan, kata Sofyan, merupakan kegiatan yang dapat menciptakan anak-anak yang mandiri setelah selesai melaksanakan pidana di LPKA. Keterampilan di LPKA yang berlokasi di Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar) antara lain, pelatihan teknologi informasi, pelatihan keterampilan peternakan, pelatihan kerajinan, prakarya, dan pengolahan serta sejumlah pelatihan lainnya.
“Contohnya pelatihan membuat anyaman rotan, kegiatan pelatihan ternak lele, kegiatan keterampilan ukir seperti papan nama, dudukan handphone, lampu hias, kegiatan kesenian seperti tari daerah. Juga ada digital printing,” terangnya.
Anak-anak ini katanya, juga mendapat pendidikan. “Seperti non-formal paket A hingga C dengan PKBM Puspa Wijaya Tenggarong. Penjajakan untuk Pendidikan formal tingkat SLTA dengan SMK Ketopang Tenggarong dan ditingkat SLTP dengan SMP Teknologi Tenggarong, yang juga bekerjasama dengan Unikarta,” pungkasnya.
KELUARGA KURANG MAMPU
Di Kutai Kartanegara (Kukar), menurut data Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kukar hingga Juli 2022, sudah terjadi kekerasan pada perempuan dan anak sebanyak 38 kasus, di antaranya melibatkan 4 anak-anak.
“Kasus tahun ini sudah 38 kasus berjalan, didominasi kekerasan seksual dari ayah kandung dan ayah tiri terbanyak,” beber UPT P2TP2A Kukar Faridah saat ditemui mediakaltim.com di ruang kerjanya, Jumat (15/7/2022).
Tahun sebelumnya anak yang berhadapan hukum (ABH) lebih parah. Pada 2020 tercatat 127 kasus kekerasan perempuan dan anak, di antaranya melibatkan 20 anak. Pada 2021, ada 65 kasus dan melibatkan 10 anak. Kebanyakan kasus ABH terjadi di keluarga yang kurang mampu atau kurang pemahaman pada tanggung jawab moral di keluarga.
Faridah menuturkan, saat anak menjadi korban kejahatan, hal pertama yang dilakukan yakni menjangkau ke lokasi korban. Dengan memetakan apa saja yang dibutuhkan anak selaku korban. Dia mencontoh korban pelecehan seksual, UPT P2TP2A akan melakukan langkah penanganan awalnya. Dengan melakukan konseling oleh psikolog.
“Apalagi sampai trauma, kita lakukan pemulihan, psikolog akan memberikan konseling sampai trauma pulih,” ujar Faridah.
Pihaknya juga turut melakukan mediasi hingga pendampingan mulai dari proses Berita Acara Perkara (BAP) di kepolisian, sampai proses persidangan. Jika perlu melakukan penampungan sementara bila ada potensi nyawa korban terancam.
Begitupun anak sebagai saksi. Pihaknya juga melakukan perlindungan dan pendampingan. Terutama memastikan anak yang bertindak sebagai saksi tidak merasa tertekan dan terganggu psikologisnya. Tidak ada tekanan dari pihak manapun, sehingga berujung menjadi pelaku.
Sementara penanganan anak sebagai pelaku, dilakukan pendampingan saat menjalani proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk memastikan tidak ada tekanan. Biasanya dalam perkara ABH, UPT P2TP2A diundang untuk memberikan saran dan pandangan. Biasanya dalam proses persidangan diversi.
TERBANYAK PENCURIAN
Sedangkan di Penajam Paser Utara (PPU), menurut data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) PPU pada 2020 telah melakukan pendampingan pada 8 anak dan tahun 2021 sebanyak 11 anak. Untuk tahun ini, sampai Juli 2022, menangani 3 anak.
“Kasus ABH antara lain pencurian, narkoba, perkelahian, kekerasan seksual. Tapi yang mendominasi dari semua itu, ialah pencurian,” ujar Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di DP3AP2KB PPU, Nurkaidah kepada Media Kaltim, Jumat (15/7/2022).
Dalam penanganannya, DP3AP2KB telah membentuk 20 unit Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Menurut Nurkaidah, PATBM yang ada di desa dan kelurahan dimaksudkan untuk menekan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Namun dalam pelaksanaannya juga fokus pada perlindungan anak.
Unsur yang tergabung dalam tim PATBM katanya, meliputi kepala desa atau lurah, Babinsa, Bhabinkamtibmas, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat setempat. Sifat keanggotaan dalam PATBM adalah sebagai relawan.
“Tugas tim dalam PATBM adalah membantu melaporkan jika ada tindakan kekerasan terhadap anak, kemudian melakukan pencegahan kekerasan terhadap anak,” jelas dia.
Menurutnya, melalui pola perlindungan berbasis masyarakat tersebut, bisa membuat langkah pencegahan dan penanganan lebih efektif. Sementara pasca kejadian kejahatan, pihaknya berperan dalam pendampingan untuk proses mediasi.
“Biasanya kami diundang bersama dengan Dinas Sosial oleh Polres PPU. Dalam penanganan hukum, pihak kepolisian yang berwenang menerapkan undang-undang. Kami tetap menegakkan penanganan yang sesuai hak yang dimiliki anak,” beber Nurkaidah.
Selanjutnya, yang menjadi tugas pihaknya ialah pendampingan pasca kejadian. Yaitu dalam proses pembimbingan hingga anak siap dikembalikan ke orangtuanya.
“Kita juga melakukan pendampingan ke rumah korban. Kita lihat pasca kejadian, asesmen kasus yang dialami korban. Jika trauma kita akan bawa ke psikiater. Atau konsultasi psikolog. Bagaimana agar si anak bisa dibimbing sebelum dikembalikan ke orang tua,” beber Nurkaidah.
Terkait kehidupan pendidikan, Kita juga melakukan pendampingan. Biasanya ada sekolah yang memiliki keterbatasan pemahaman.
Jadi kami memfasilitasi korban dengan sekolah. Agar bisa tetap melanjutkan ujian atau sekolah. Jadi ada beberapa anak yang ditolak tidak bisa ikut ujian.
Namun, ada beberapa hambatan yang dihadapi dalam proses ini. Pihaknya, baik DP3AP2KB PPU, Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan masih serba keterbatasan. Baik dalam koordinasi teknis, anggaran dan yang paling menonjol ialah sumber daya manusia (SDM).
“Karena di PPU, tidak ada psikolog klinis, jadi setiap ada kasus seperti itu, kami berkoordinasi dan bekerjasama dengan UPTD Balikpapan. Jadi konsultasi di Balikpapan, kalau psikiater poli jiwa di RS umum. Jika mereka mengalami lebih parah, kita rujuk ke RS umum,” jelas dia.
Dari masalah ini, timbul pula persoalan keterbatasan anggaran. Pasalnya, setiap proses pendampingan ke luar daerah itu, ada biaya transportasi dan akomodasi serta lain-lain yang tidak sedikit.
“Jadi perlu biaya. Kadang tidak hanya si anak saja, orangtuanya juga perlu diajak,” ucap Nurkaidah. (eky/afi/sbk)