spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lombok 200 Ribu

Catatan : Rizal Effendi     

HARGA lombok atau cabe seperti rudal. Tiba-tiba melesat sangat tinggi. Rasanya belum pernah harga lombok sampai di atas Rp 100 ribu per kg. Tapi ini terjadi di minggu-minggu ini. Lombok tidak lagi hanya sekadar pemedas rasa, tapi juga pemedas perasaan. “Sakit hati rasanya kalau beli lombok,” kata seorang pedagang kuliner.

Bayangkan, harga lombok di Balikpapan memecahkan rekor Rp 200 ribu per kg. Naik lebih 100 persen. Itu terjadi Rabu (13/7) lalu. Walau sehari, tapi bikin geger. Masa harga lombok lebih mahal dari harga daging?

“Apa-apaan ini?” ketus seorang ibu. Kok harga lombok seperti mengikuti kenaikan harga BBM dan dolar? Kalau dolar naik, aneh lombok juga ikut naik. Padahal jauh sekali kekerabatan lombok, BBM, dan dolar.

Sebelum saya terbang ke Bali mengikuti Seminar Isu Strategis G20 di Bali, yang dilaksanakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Jumat kemarin, saya sempat masuk ke Pasar Klandasan Balikpapan. Sejumlah pedagang ternyata masih kenal saya. “Eh, Pak Rizal belanja ya?” kata mereka.

Saya juga bertemu  emak-emak yang lagi berbelanja dengan wajah masam. “Masa harga lombok sampai Rp 200 ribu per kg, gila,” kata mereka tak habis pikir.

Seorang pedagang makanan gado-gado menghitung harga lombok. Kalau sekilo  sama dengan 200 biji lombok, maka harga per biji lombok seribu rupiah.  Wah, bakalan rugi saya kalau ada yang pesan gado-gado pedas minta 5 biji lombok.

Saya tak bisa membayangkan bagi pedagang penjual ayam lodo dan ikan pallumara. Biasanya kedua jenis lauk pauk itu selalu ditaburi lombok kecil yang banyak. Kalau lomboknya mahal, apa potongan ayam atau ikannya yang dikecilkan atau lomboknya yang dikurangi.

Tapi itulah yang terjadi. “Kami tak bisa apa-apa, karena dari sananya sudah mahal,” kata beberapa pedagang sayur. Pasokan lombok memang lagi tidak banyak. Jadi hukum ekonomi berlaku, jika suplai berkurang sementara permintaan atau demand tetap di atasnya, maka suka tak suka harga pasti naik.

Ketika saya ke Pasar Klandasan kemarin, harga lombok kecil atau cabe rawit memang sudah turun menjadi Rp 140 ribu. Tapi tetap saja dianggap tinggi. “Kalau Pak Rizal yang beli, boleh Rp 120 ribu,” kata seorang ibu pedagang sambil tersenyum.

Relatif lebih miring di Pasar Pandan Sari, yang dianggap seperti pasar induknya Balikpapan. Di situ harga cabe rawit sekitar Rp 100 ribu per kg. Sementara harga lombok keriting dan lombok besar antara Rp 60 ribu sampai Rp 80 ribu.

Beberapa pedagang mengaku tidak tahu kenapa harga lombok jadi meroket. Tapi sebagian beralasan karena kurangnya pasokan ditandai dengan berbagai alasan. Misalnya gagal panen, musim hujan atau musim angin selatan dengan gelombang tinggi, yang menyebabkan arus transportasi laut tidak begitu lancar.

Pada hari-hari Lebaran Iduladha permintaan lombok juga meningkat. Maklum banyak orang yang memasak daging kurban. Hampir semua masakan daging membutuhkan lombok, baik lombok kecil maupun lombok besar. Sehingga harga sudah mulai naik.

Pasokan lombok untuk Balikpapan datang dari berbagai daerah. Selain dari petani lokal dari Karang Joang dan Teritip, ada juga dari Sepaku, Babulu dan sekitar Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Sebagian juga dari Samarinda,  Sulawesi, dan Surabaya.

Ketika harga lombok dan harga-harga kebutuhan lainnya melonjak, tentu berdampak banyak. Pengeluaran rumah tangga meningkat, padahal sebagian orang tua juga kalang kabut menyiapkan biaya untuk keperluan anaknya yang masuk sekolah.

“Tolong bantu saya, Pak, anak saya masuk STM swasta diminta Rp 4juta. Padahal saya belum bayar sewa rumah. Saya sedih lihat anak saya yang bersemangat. Tapi sekarang saya mau diusir dari rumah sewaan,” kata seorang ibu berkali-kali lewat WA  kepada saya.

Selain mencekik kemampuan keluarga, kenaikan harga tentu akan memicu angka inflasi. Pemerintah dan para pengendali ekonomi memang sudah waswas. “Memang harus kita waspadai naga-naganya angka inflasi akan naik,” kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan, Bambang Setyo Pambudi.

Sepertinya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok termasuk lombok merata di seluruh Indonesia. Termasuk juga kebutuhan pokok lainnya seperti  minyak goreng. Meski sudah ganti menteri, harga belum bisa stabil di bawah Rp 14 ribu per liter. “Di sini harga minyak goreng Rp 25 ribu per kemasan 1,5 kg,” kata Pak Sibe, pedagang di Pandan Sari.

LOMBOK PEKARANGAN               

Istri saya, Bunda Arita, kemarin memosting dirinya sedang memetik lombok di halaman rumah. Memang sudah lama saya tak pernah beli lagi lombok kecil. Kecuali lombok besar. Tanaman lombok di pekarangan rumah salah satu solusi mengatasi mahalnya harga lombok. Malah sekarang saya juga panen tomat, terong dan gambas.

“Ini ‘kan pengalaman kita, ketika PKK bekerjasama dengan Bank Indonesia Balikpapan menganjurkan ibu-ibu tanam lombok dan sayur di pekarangan rumah,” kata istri saya.

Seperti saya tulis sebelumnya, program bagi bibit lombok kepada masyarakat dilakukan sejak era kepemimpinan Pak Tutuk SH Cahyono sebagai kepala Perwakilan BI Balikpapan. Karena sukses, sampai kita bisa memecahkan rekor MURI.  Itu sebabnya, Pemkot sempat memberi gelar kepada Pak Tutut sebagai “Bapak Cabai Balikpapan.”

Pak Tutuk sendiri sekarang sedang bertugas di negeri Tirai Bambu. Dia dipromosi menjadi kepala Perwakilan BI di Beijing. Makanan di China juga sangat banyak membutuhkan lombok. Bahkan ada menu tumis lombok. Cuma saya tidak tahu apakah harga lombok di sana sama mahalnya seperti di Indonesia.

Ada yang menyarankan agar kita tak terus menerus direpotkan urusan kenaikan harga lombok, sebaiknya pola konsumsi kita diubah. Tidak melulu lombok basah, tapi sebagian sudah bergeser ke lombok kering atau lombok bubuk.

Saat panen berlimpah, sebagian diolah menjadi lombok kering dan bubuk. Di saat terjadi kelangkaan, maka kita cukup mengonsumsi lombok bubuk. Kata orang China, tak penting lomboknya jenis apa, yang penting rasanya pedas. Bukan harganya yang semakin pedas. (*)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti