SAMARINDA – Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyatakan rancangan Undang-Undang Cipta Kerja bukanlah beleid pertama yang disahkan secara kontroversial. Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, revisi UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), serta revisi UU Mahkamah Konstitusi adalah salah tiganya. Semua aturan tersebut disahkan DPR di tengah pandemi Covid-19, minim partisipasi publik, dan terkesan terburu-buru.
Menurut koalisi yang terdiri dari 29 organisasi masyarakat sipil se-Indonesia itu, dokumen penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja sejak awal sudah bermasalah dari sisi prosedur maupun substansi.
PWYP Indonesia mencatat bahwa sejak ide omnibus law digulirkan Presiden Joko Widodo, publik kesulitan mendapatkan draf naskah akademik maupun draf RUU. Pemerintah cenderung tertutup dan kurang memberikan akses kepada publik yang ingin mendapatkan informasi serta memberikan masukan.
“Terutama dalam tahap penyusunan sebelum RUU disampaikan ke DPR. Hal ini diperparah dengan proses pembahasan di Badan Legislasi DPR yang relatif tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik luas,” demikian Aryanto Nugroho, koordinator nasional PWYP Indonesia dalam publikasinya yang diterima media ini, Kamis, 8 Oktober 2020.
Fakta yang lain, tambahnya, pembicaraan tingkat pertama dilakukan pada waktu malam akhir pekan yakni 3 Oktober 2020. Cara-cara demikian dianggap mengurangi sorotan dan menimbulkan kesan menghindari kritikan. Padahal, penolakan publik semakin menguat wabilkhusus dari kalangan buruh, petani, nelayan, akademikus, serta pegiat lingkungan.
Pembahasan dan pengesahan UU Omnibus Law juga dinilai melenceng jauh dari mekanisme penyusunan UU sebagaimana diatur UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahkan, kata Aryanto, sebagian kalangan menyebut UU ini secara substansi berpotensi bertentangan dengan konstitusi negara khususnya tujuan bernegara dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum.
DAMPAK NEGATIF OMNIBUS LAW
Tidak cuma klaster ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja membawa implikasi buruk terhadap pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. PWYP menemukan bahwa UU ini hanya memberikan stempel terhadap pengesahan UU 3/2020 tentang Minerba. UU Minerba secara prosedur dan substansi juga sama-sama bermasalah dengan UU Cipta Kerja.
UU Omnibus Law mengamini seluruh perubahan UU Minerba dan hanya menyisipkan pasal 128A. Pasal tersebut mengatur pemberian intensif kepada pengusaha tambang. Pasal sisipan ini, sebut PWYP Indonesia, mengatur pemberian insentif berlebihan berupa pengenaan royalti nol persen. Insentif ditujukan buat pengusaha batu bara yang melakukan kegiatan peningkatan nilai tambang. Aturan teknisnya akan dikeluarkan dalam peraturan pemerintah (PP).
Menurut PWYP, pengenaan royalti nol persen bisa berdampak kepada daerah, termasuk Kaltim. Dana bagi hasil (DBH) minerba ke daerah dapat berkurang drastis.
Adapun pasal 162 UU Cipta Kerja, juga harus dicermati. Pasal ini disebut meningkatkan potensi kriminalisasi terhadap masyarakat di sekitar tambang maupun pegiat lingkungan. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan konflik-konflik baru antara masyarakat yang tidak setuju dengan aktivitas pertambangan di wilayah mereka.
Di sisi yang lain, UU Omnibus Law juga diduga memberikan keistimewaan kepada pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan (KK/PKP2B) yang masa kontraknya akan habis. Omnibus law, sebut PWYP, juga melenyapkan pasal pidana yang dapat menjerat pejabat negara dalam menerbitkan izin pertambangan minerba bermasalah. Begitu pula dengan pejabat yang memberikan insentif berlebihan bagi eksploitasi SDA tanpa memperhatikan aspek kepentingan lingkungan.
“Kesimpulannya, nasib tata kelola SDA di Indonesia semakin buruk dengan hadirnya sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja. Terutama ketentuan yang mereduksi kewenangan pemerintah daerah serta menghilangkan tanggung jawab dalam hal pembinaan dan pengawasan aktivitas pertambangan di wilayah masing-masing,” jelas Aryanto.
Penarikan kewenangan perizinan pertambangan batu bara dari pemerintah daerah ke pusat jelas bertentangan dengan semangat otonomi daerah. Perubahan tersebut berpotensi menggiring Indonesia menuju negara sentralistik.
“Omnibus law yang dirancang untuk memberi kepastian hukum justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dengan banyaknya aturan turunan,” imbuh Aryanto. Pengalaman menunjukkan, sambung Aryanto, aturan turunan dalam bentuk PP ditengarai berpotensi melanggar UU. Sebagai contoh, PP di sektor ESDM yang memberikan kelonggaran atau relaksasi atas kewajiban larangan ekspor dan pembangunan fasilitas hilirisasi. (kk/red)