Catatan Rizal Effendi
TANGGAL 1 Juni 2022 ini, kita memperingati Hari Lahirnya Pancasila. Penetapan itu baru enam tahun lalu di era Presiden Jokowi melalui Kepres No 24 Tahun 2016. Pada era Presiden Soeharto awalnya juga ada, tapi belakangan yang ditetapkan adalah tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Meski ada upacara bendera, Rabu (1/6) ini, tapi Pemerintah juga menetapkan sebagai hari libur nasional.
Penetapan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila mengacu pada peristiwa bersejarah ketika Ir Soekarno menyampaikan gagasannya mengenai dasar negara yang disebutnya sebagai Pancasila.
Pembahasan mengenai dasar negara tersebut dilakukan dalam sidang Badan Penyelidik Umum Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang digelar pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. BPUPKI dikenal dalam bahasa Jepang. Namanya Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Total anggota 70 orang diketuai dr Radjiman Wedyodiniingrat.
Selain Soekarno, Moh Yamin dan Soepomo juga sempat menyampaikan gagasannya mengenai dasar negara. Tapi puncaknya pada tanggal 1 Juni, di mana Soekarno memperkenalkan istilah “Pancasila.” Makanya pada tanggal itu yang ditetapkan pemerintah sebagai hari lahirnya dasar negara kita. Walaupun konsep Pancasilanya belakangan disempurnakan lagi.
Istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta. Ditemukan dalam kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca. Juga dalam kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Artinya lima sendi atau lima tingkah laku utama atau pelaksanaan kesusilaan yang lima.
Selanjutnya Pancasila yang tercantum pada Alinea ke-4 UUD 1945 disebut sebagai rumusan sah dan sistematis. Hal ini kemudian ditegaskan dalam Instruksi Presiden No 12 tanggal 13 April 1968, yang menegaskan tata urutan Pancasila yang sah, yaitu 1. Ketuhanan Yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila sebagai dasar atau ideologi negara sudah final dan tidak ada yang meragukan lagi. Pancasila diakui sebagai perjanjian luhur yang harus dipedomani. Tapi bagaimana penerapan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, itu yang tafsirnya macam-macam. Terkadang kita harus saling tuding memaknainya.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di tahun 1978, kita mengenal apa yang dinamakan BP7 dan P4. BP7 adalah Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Tugasnya mengoordinasikan pelaksanaan Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), sebuah pendidikan nilai-nilai Pancasila yang wajib diikuti semua warga negara.
Maka pada saat itu, tiada hari tanpa penataran P4 atau dikenal juga dengan istilah Eka Prasetia Pancakarsa. Saya sendiri sempat dua kali ikut. Sebagai wartawan dan sebagai mahasiswa. Sebagai penatar atau manggala. Pokoknya hebat kalau sudah ikut penataran P4.
Dalam waktu 19 tahun, pemerintah mewajibkan setiap pegawai negeri, TNI dan anggota masyarakat termasuk wartawan dan mahasiswa mengikuti Penataran P4. Di tingkat sekolah, P4 lebih dulu diajarkan melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Itu pertama kali diatur dalam Kurikulum 1975.
P4 boleh jadi adalah kampanye ideologi paling berhasil yang pernah dilakukan di Indonesia. Berdasarkan laporan BP7, sampai tahun 1989 sudah terdapat hampir 65 juta orang yang pernah mengikuti program pembudayaan P4 di luar jalur penataran. Sementara lebih dari 32 juta orang lainnya pernah dinyatakan lulusan penataran P4 oleh BP7.
Belakangan banyak yang merasakan penataran P4 banyak kelemahan. Pendekatan yang formal dan kaku dianggap sebagai pemaksaan. Apalagi tekanan kepada Presiden Soeharto makin kencang. Begitu semangat reformasi mencapai puncaknya Mei 1998, penataran P4 menjadi salah satu tuntutan mahasiswa, yang harus dihapuskan.
Presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto merespon tuntutan tersebut. Selanjutnya MPR melalui Ketetapan MPR RI No XVIII Tahun 1998 mencabut Ketetapan MPR No II Tahun 1978, yang isinya pengembalian fungsi Pancasila sebagai dasar negara, penghapusan P4 dan penghapusan Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi sosial politik di Indonesia.
DARI UKP-PIP KE BPIP
Di era Presiden Jokowi, terbit Perpres No 54 Tahun 2017. Isinya membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Dalam Perpres itu disebutkan bahwa UKP-PIP merupakan unit kerja yang melakukan pembinaan ideologi. Ketua pertama Yudi Latief dengan dewan pengarah Megawati dan sejumlah tokoh lainnya.
Sementara itu sebelumnya muncul juga istilah empat pilar. Konsep empat pilar kebangsaan diperkenalkan Ketua MPR Taufiq Kemas (suami Bu Mega) ketika menjadi Ketua MPR (2009-2014). Maksudnya bagaimana kita mengamalkan Pancasila agar Indonesia tidak terperosok mengikuti jejak Uni Soviet dan Yugoslavia, yang pecah menjadi berpuluh-puluh negara.
Empat pilar itu adalah nilai-nilai luhur yang harus dipahami warga negara Indonesia. Selain Pancasila, juga UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Biar kita makin kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maka selanjutnya anggota MPR ditugaskan turun ke daerah-daerah membuat program penyuluhan atau sosialisasi empat pilar kebangsaan. Banyak pihak menilai program ini baik, tapi ada juga yang bercuriga ini hanya semacam kegiatan agar anggota MPR punya alasan bisa jalan-jalan atau tugas tambahan sekaligus pendapatan.
Belakangan melalui Peraturan Presiden No 7 Tahun 2018, Presiden Jokowi memperkenalkan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pengganti UKP-PIP. Ditunjuk sebagai Kepala BPIP Prof Yudian Wahyudi dengan Ketua Dewan Pengarah Megawati Soekarnoputri.
BPIP adalah lembaga yang berada di bawah Presiden dengan tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila termasuk menyusun standarisasi pendidikan dan pelatihan serta rekomendasi hal-hal yang tidak dan yang bertentangan dengan Pancasila.
Belum apa-apa Kepala BPIP Yudian Wahyudi sudah menuai sorotan gara-gara pernyataannya yang kontroversial. Misalnya soal “agama menjadi musuh terbesar Pancasila.” Belakangan dia menjelaskan maksudnya Pancasila itu agamis, jadi jangan dihadap-hadapkan. “Pancasila dan agama itu saling mendukung,” katanya.
Ada juga soal “salam Pancasila” dan pernyataan Yudian yang mengungkapkan bahwa Soekarno sebagai sosok umat Islam yang berhasil meneladani politik lapangan, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Kemudian Yudian bilang warga negara harus bisa menempatkan konsitusi di atas kitab suci.
Sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yudian juga sempat membuat kebijakan melarang penggunaan cadar bagi mahasiswinya.
Akhirnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI, Yudian berjanji tidak lagi menyampaikan statemen kontroversial kepada media massa atau pihak manapun. Karena ternyata mudaratnya lebih banyak.
Belakangan ini mulai ramai didirikan Kampung Pancasila di berbagai daerah. Di Balikpapan, Kelurahan Graha Indah yang diresmikan. Di Kukar, Desa Kertabuana. Di Samarinda, di Kelurahan Lok Bahu. Yang menginisiasi Kodim setempat.
Presiden Jokowi menegaskan tugas BPIP adalah bagaimana membumikan Pancasila, terutama target anak-anak muda di bawah 39 tahun yang memerlukan sebuah injeksi tentang Pancasila dalam keseharian. “Saya kira bahan-bahannya sudah komplet, jadi langsung implementasi di lapangan,” kata Presiden ketika melantik Prof Yudian, awal Februari 2020 lalu.
Karena targetnya anak muda, maka Yudian sempat melontarkan gagasan sosialisasi Pancasila dengan metode baru kepada milenial yaitu menggunakan platform media sosial. “Ada Youtube, ada blogger, pokoknya serba digital termasuk Tiktok segala macam itu,” katanya.
Menurut Yudian, pengenalan Pancasila tidak lagi mengandalkan doktrin yang kaku. Mereka juga akan menggandeng publik figur dan juga even-even seperti olahraga. He he nanti bakal ada Olahraga Pancasila. (**)