Catatan Rizal Effendi
MINGGU kemarin saya terima 9 undangan perkawinan. Capek juga karena ada dua undangan di luar kota. Selebihnya di Balikpapan. Yang di Balikpapan, di antaranya ada undangan resepsi dari keluarga tokoh pengusaha Dr Ir H Muhammad Taufik Hidayat, MSc, dari wartawan Koran Kaltim Hendra, keluarga H Usman Sudirman di Dome dan ada juga dari tokoh Kartini penyapu jalan, Ibu Kartini, yang menikahkan putranya di Kampung Baru Ujung.
Yang undangan di luar kota, satu dari Samarinda dan satu lagi dari Samboja, kampung halaman saya, yang sekarang bagian dari Kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN). Dua-duanya saya hadiri. Kebetulan yang di Samarinda hajatan dari keluarga Ibu Dra Hj Ismiati, MSi, kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kaltim di gedung serbaguna Stadion Sempaja.
Saya bertemu Pak Isran Noor, gubernur Kaltim. Diajak satu meja. Di situ ada juga mantan wagub Farid Wadjdy, Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kaltim Dadek Nandemar, dan anggota DPRD Kaltim, Syafruddin, yang juga ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kaltim. Sempat bergabung Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kaltim Agus Tianur.
Saya memilih untuk menikmati soto banjar, makanan tradisional kesukaan saya sejak dulu. Maklum orang Banjar. Sukanya kecap asin. Saya lihat Pak Gub dan Pak Dadek juga lahap dengan menu serupa. Sedang Pak Farid menikmati makanan ala Arab, nasi beriani. Cocok karena tokoh ulama. Pak Farid sekarang rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Samarinda. Terlihat sehat bugar pada usia beliau mencapai 68 tahun.
“Kita lagi sama-sama bujangan,” kata Pak Gub bercanda. Kebetulan semua tidak didampingi istri. Jadi pembicaraan bisa lepas terutama urusan pasangan dan pernikahan. “Ini ‘kan ada kiai,” kata Isran menunjuk Pak Farid ketika menyinggung urusan pernikahan zaman Nabi. Termasuk soal nikah mut’ah mazhab Syiah.
Saya datang bersama sahabat saya, Mohammad Djailani, mantan kepala Dinas Perindustrian Kaltim, yang sekarang ketua Dewan Rakyat Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Ini organisasi independen yang gigih mengawal pembangunan IKN agar Kaltim mendapat perhatian khusus.
Djailani senang bisa bertemu Pak Gub. Soalnya dia lagi mempersiapkan pertemuan FGD (forum group discussion) di Hotel Platinum Balikpapan, 25 Mei mendatang dengan tema: Dukungan Rakyat Kaltim untuk Akselerasi Percepatan Pembangunan IKN. “Alhamdulillah, Pak Gub sudah saya jelaskan maksudnya dan beliau bersedia hadir untuk membuka dan memberikan sambutan,” kata Djailani bersemangat.
Dalam FGD itu, rencananya ada 5 pembicara. Akademisi Unmul Dr Aji Raden Sofyan Efendi, yang juga ketua Dewan Pakar Dewan Rakyat, Ir Samsul Tribuana (ketua Badan Usaha Milik Rakyat), Drs Edy Kurniawan (ketua Forum Perusahaan Daerah Kaltim), Dr Apriadi Gani Djamhuri (kepala Badan Pengawas Bara Kaltim Sejahtera) dan terakhir saya, yang juga diminta mewarnai pembahasan.
INGAT DI SEMBAT
Tak kurang bahagianya ketika saya menghadiri undangan pernikahan di Samboja. Yang mengundang Haji Normansyah atau Haji Norman, teman saya semasa kecil yang tinggal di Sungai Merdeka. Bayangkan sudah setengah abad lebih baru bertemu sekarang. Saking senangnya saya hadir, sampai-sampai mempelai prianya, Muhammad Muslim terpaksa tiga kali disuruh kepala KUA mengulangi ijab kabul sebelum disandingkan dengan mempelai wanitanya, Risnawati.
“Alhamdulillah Pak Rizal bisa hadir,” kata Haji Norman senang sekali. Di situ juga hadir dua teman saya yang lain ketika sama-sama sekolah di Samboja. Ayah saya, alm Suhaimi sempat jadi guru SD di Gunung Malang Samboja kemudian jadi kepala sekolah di Sungai Merdeka di pertengahan tahun 60-an. Waktu saya kelas IV, kami pindah ke Samarinda.
Haji Norman mengingatkan masa kecil saya, mulai tinggal di Gunung Malang, pindah ke bukit dekat Telaga Minyak sampai ke sembat, semacam kolam renang yang ada di kawasan Sungai Merdeka. Tahun 60-an di Samboja ada sejumlah pekerja Rusia, yang membangun jalan ke Balikpapan. Mereka sering menggunakan sembat itu untuk berenang.
Saya dan Haji Norman sering bersama-sama mencari ikan, mulai memancing sampai menggunakan alat perangkap ikan, bubu dan bangkirai. Ikan yang didapat, mulai gabus atau haruan, pepuyu, ikan sepat sampai ikan lele atau keli. Saya juga sering memancing menyusuri jalan pipa minyak di Patok Sapi. Terkadang mencari buah-buahan dan buah pedak (buah pohon karet) untuk diadu sampai pecah.
Haji Norman sekarang mempunyai 4 anak dan 12 cucu. Kalah saya, dengan 3 anak dan 5 cucu. “Kami siap mendukung Pak Rizal jadi anggota DPR RI,” kata H Armansyah atau H Arman, putra sulung Pak Norman. H Arman ternyata ketua DPC Nasdem Samboja Barat dan Ketua Kayuh Baimbai.
Keluarga ini sekarang hidup sejahtera. “Saya hidup dari usaha budi daya sarang burung walet dan pemanfaatan lahan saya seluas 6 hektare yang ternyata menyimpan deposit batu bara,” kata Haji Norman. Belakangan melalui koperasi mereka juga lagi mempersiapkan beberapa pengelolaan sumur tua dari ladang minyak yang ada di sana. “Kami sudah mendapat izin,” katanya.
Samboja, yang sekarang menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, mulai bangkit kembali. Ketika saya tinggalkan hampir menjadi sebuah kota tua yang terabaikan. Andalannya waktu itu hanya sumur minyak tua yang dikelola BPM dan sekarang diambil alih Pertamina. Ada juga tanaman karet rakyat. Tapi belakangan menjadi medan penambangan batu bara, baik yang resmi maupun ilegal. Selain perkebunan kelapa sawit. Ini yang membuat warga di sana banyak yang berkembang menjadi orang kaya baru (OKB).
Kecamatan Samboja mempunyai luas wilayah 1.045,90 kilometer persegi. Dua kali lebih luas dari kota Balikpapan yang 503,3 kilometer persegi. Dulu bersama Kecamatan Muara Jawa dan Sanga-Sanga sempat digadang-gadang menjadi Kabupaten Kutai Pantai. Tapi bupati Kutai saat itu tidak setuju karena bisa membuat pendapatan Pemkab Kukar terjun bebas. Sebab, DBH Migas terbesar datangnya dari wilayah ini.
Kurang jelas asal usul nama Samboja. Apa ini nama orang pertama yang menghuni wilayah tersebut. Sebab, Samboja nama populer untuk anak laki-laki, yang melambangkan pesona dan kharisma. Ia adalah seseorang yang menjadi pusat perhatian.
Tetapi ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa Samboja berasal dari sebaris kalimat bahasa Mandarin “sam bo cia” yang secara harfiah bermakna “tiga hari tidak makan”. Konon itu bersumber dari kisah serombongan warga Tiongkok yang pertama mendarat di pantai berhutan lebat di wilayah itu. Mereka kehabisan bekal bahan makanan di kapal yang mereka tumpangi saat berlayar.
Tak diketahui rombongan itu berasal dari pulau apa dan apa tujuan mereka. Yang pasti mereka kemudian terpaksa mendarat ke pantai dan selama tiga hari tak mendapat bahan makanan di pantai yang tak berpenghuni tersebut. Lantas mereka berdiam dan beranak pinak di tempat itu, hingga bertahun-tahun kemudian sebagian di antaranya menyebar ke kota-kota lainnya di Kaltim, bahkan ke segenap penjuru pulau Kalimantan. Wallaahu a’lam.
Boleh jadi kota kecil Samboja seperti anak lelaki yang kharismatik dan mudah membuat orang terpikat sebagaimana fakta sejak dahulu Samboja sudah dikenal bangsa-bangsa Belanda, Jepang, Australia, dan Rusia. Apalagi setelah masuk dalam kawasan IKN. Tentu makin jadi pusat perhatian. (**)