Catatan Rizal Effendi
HARI JUMAT, tanggal 20 Mei 2022 kita memperingati Harkitnas ke-114. Hari Kebangkitan Nasional. Tapi ada saja yang iseng memplesetkannya menjadi “hari kejepit nasional”. Maklum tanggal peringatannya mendekati hari libur, besoknya Sabtu. Jadi dianggap kejepit. Padahal 20 Mei adalah hari nasional bukan hari libur, jadi tetap bekerja baik yang di pemerintahan maupun di lingkungan swasta, meskipun ada upacara bendera.
Belakangan ini ada juga yang bilang Harkitnas itu hari kesakitan nasional. Tentu juga tak benar, meski mungkin ada juga maksudnya. Harkitnas, ya Hari Kebangkitan Nasional. Sesuai dengan Keputusan Presiden Soekarno No 316 tanggal 16 Desember 1959, untuk mengenang lahirnya organisasi perjuangan bangsa yang bernama Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, maka tanggal tersebut ditetapkan sebagai Harkitnas.
Selain itu Harkitnas juga dimaksudkan dalam rangka terus memelihara, menumbuhkan, dan menguatkan jiwa nasionalisme kebangsaan kita sebagai landasan dalam melaksanakan pembangunan, menegakkan nilai-nilai demokrasi yang berlandaskan moral, dan etika berbangsa dan bernegara.
Boedi Oetomo didirikan oleh dr Soetomo dan para mahasiswa School tot Opleiding van Indische Arsten atau yang dikenal dengan nama Stovia. Sekolahnya dokter Jawa yang didirikan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Sejak saat itu, Indonesia mulai memasuki masa pergerakan nasional untuk membebaskan negeri di khatulistiwa ini dari belenggu penjajahan dengan pendekatan baru. Perjuangan Boedi Oetomo ini, 20 tahun kemudian diperkuat lagi dengan peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Selain dr Soetomo, tokoh penting yang terlibat dalam pendirian Boedi Oetomo adalah dr Wahidin Soedirohusodo, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, dr Douwes Dekker alias Setiaboedi, dr Cipto Mangunkusumo, dan RM Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantoro. Ada juga nama-nama lain seperti Goenawan Mangunkusumo, Soeraji dan lainnya.
Nama Boedi Oetomo diusulkan Soeradji, kawan sekelas Soetomo yang juga menghadiri pertemuan dengan Wahidin. Organisasi ini memelopori perjuangan dengan memanfaatkan kekuatan pemikiran dan mendorong munculnya organisasi-organisasi pergerakan lainnya.
Hadirnya Boedi Oetomo dipandang sebagai salah satu dampak kebijakan politik etis, yang diterapkan Pemerintah Belanda. Tidak seperti organisasi pribumi lainnya yang memilih jalur radikal atau kekerasan, Boedi Oetomo yang moderat-progresif justru tidak mendapat kesulitan apa pun sejak didirikan.
Belum genap satu tahun berdiri, perkumpulan ini sudah mendapat pengakuan dari Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz dan berhak berdiri di hadapan pengadilan Hindia Belanda huuhdalam kedudukan yang sama dengan seorang sipil Eropa. Maklum organisasi ini awalnya bergerak di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan, tidak bersifat politik.
Sebenarnya dasar pemilihan Boedi Oetomo sebagai pelopor kebangkitan nasional sempat jadi perdebatan. Sebab Boedi Oetomo waktu itu masih sebatas etnis dan teritorial Jawa. Kebangkitan Nasional dianggap lebih terwakili oleh Sarekat Islam, yang mempunyai anggota di seluruh Hindia Belanda. Sarekat Islam yang dikenal juga sebagai Sarekat Dagang Islam didirikan KH Samanhoedi di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905.
BENAR-BENAR BANGKIT
Teman saya yang memplesetkan Harkitnas sebagai hari kesakitan nasional tidak bermaksud jelek atau melecehkan. Dia hanya ingin mengingatkan kepada kita beberapa catatan penting pada saat kita memperingati Harkitnas ke-114 tahun 2022 ini. Tema peringatan tahun ini adalah “Ayo Bangkit Bersama.”
Pertama, dua tahun lebih kita bersama masyarakat dunia menghadapi badai penyakit pandemi Covid-19 yang mengerikan. Jutaan orang terpapar dan puluhan ribu yang meninggal dunia. Di Indonesia tercatat tidak kurang 6 juta orang terjangkit dan 150 ribu lebih yang meninggal dunia. Jangankan rakyat biasa, dokter dan pejabat pun banyak yang tumbang.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak kurang Rp 200 triliun dana APBN terkuras dalam mengatasi Covid. Meski sekarang sudah landai, seyogianya kita tak boleh lengah. Apalagi tiba-tiba muncul penyakit baru yang disebut-sebut Hepatitis Akut. Oleh karena itu dibutuhkan semangat nasionalisme kita untuk benar-benar bangkit, baik dalam melawan pandemi maupun keterpurukan ekonomi dan sendi kehidupan lainnya.
Maunya kita setelah Covid tidak ada penyakit lain. Maunya kita keterpurukan ekonomi jangan ditambah masalah lain seperti kelangkaan kedelai, kelangkaan jm goreng, dan kelangkaan solar. Tuhan sepertinya memberikan cobaan atau bahkan hukuman bertubi-tubi. Ini yang harus kita sadari bersama.
Kedua, dalam menegakkan demokrasi kita jangan jatuh ke jurang kebablasan. Bukankah demokrasi kita, demokrasi Pancasila yang mengedepankan moral dan etika? Tapi yang terjadi sekarang ini kita masuk ke demokrasi sumpah serapah. Begitu mudah kita mengeluarkan ujaran yang kasar dan rasis di ruang publik, yang membuat kita menjadi terpecah belah.
Begitu mudah kita mengeluarkan sumpah serapah, yang ujungnya minta maaf atau masuk penjara. Sepertinya kita kesulitan mencari contoh dan teladan dari anak-anak bangsa terbaik. Apalagi kita sudah mendekati pesta demokrasi yang super hebat, 2024 nanti. Kita lihat di jagat media sosial, luar biasa serunya orang saling menghujat. Tak malu-malu kita menuding orang tidak waras, goblok, gila, kadrun, dan sebagainya, sementara kita tidak berkaca dengan wajah kita sendiri yang juga coreng-moreng. Apa kita mau seperti ini terus menerus?
Ketiga, kita sangat butuh benar-benar semangat nasionalisme, semangat persatuan dan kesatuan. Jangan seperti lips service, mudah diucapkan, tapi kita pecah di lapangan. Dalam membangun bangsa seyogianya kita patuh dengan aturan dan akal sehat. Tapi yang terjadi kita sering berlindung di balik tameng kebebasan dan demokrasi, secara perlahan menghancurkan persatuan dan kesatuan.
Betapa sedihnya kita menyaksikan polemik Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan dr Terawan. Dua-duanya aset bangsa. Satu dokter mogok seribu pasien korban. Tapi sepertinya tak ada yang bisa menengahi, justru yang kita lihat lahirnya organisasi dokter tandingan sebagai jalan keluar. Cara penyelesaian seperti itu bukan rahasia lagi.
KNPI sampai terbelah empat, padahal latar belakang tokohnya masih satu induk. Ada lagi Kadin, KONI, dan berbagai organisasi massa lainnya. Kalau gagal jadi pemimpinnya, ya bikin organisasi tandingan yang serupa. Ditambah lagi tak jarang penguasa ikut bermain, cari panggung atau dukungan menjelang 2024. Jangan sampai tahun 2024 yang disebut tahun pesta demokrasi berubah menjadi tahun pesta mabuk demokrasi.
Keempat, kita mengimbau para pemimpin bangsa, elite politik, pemimpin umat, pengusaha, akademisi dan pemimpin masyarakat lainnya benar-benar menggelorakan Hari Kebangkitan Nasional, tidak sebaliknya menggelorakan hari kesakitan nasional dengan tindakan saling menyakiti. Saling menyerang dan saling menjatuhkan.
Jangan keluarkan keputusan, kebijakan, dan narasi yang justru melahirkan polemik dan kebingungan masyarakat. Jangan justru mendorong masyarakat berkelahi atau mengambil sikap perlawanan. Jangan karena prinsip ekonomi untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, begitu tega membiarkan emak-emak berdesak-desakan sampai ada yang meninggal dunia.
Jangan ada lagi jatuh korban mahasiswa atau tokoh lain dalam berbagai aksi unjuk rasa. Jangan mengambil perandaian atau perumpamaan yang tidak pas atau tidak tepat, sehingga menimbulkan reaksi negatif di kalangan warga dan umat.
Bulan Mei ini memang bulan luar biasa. Tidak kurang ada 24 hari peringatan atau perayaan, baik bersifat nasional maupun internasional berlangsung. Tanggal 1 Mei sudah ada dua peringatan, yaitu Hari Buruh Sedunia dan Hari Peringatan Pembebasan Irian Barat (Papua).
Tanggal 2-nya, di saat umat Islam merayakan Idulfitri, kita juga memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tanggal 16 Mei lalu hari libur nasional karena kita merayakan Hari Raya Waisak 2566 BE. Disambung tanggal 17 Mei Hari Buku Nasional dan Hari Komunikasi Internasional.
Tanggal 19 Mei Hari Korps Cacat Veteran Indonesia dan tanggal 20 Mei Hari Kebangkitan Nasional. Masih ada lagi tanggal 22 Mei Hari Keanekaragaman Hayati. Kemudian tanggal 26 Mei Kenaikan Isa Almasih (hari libur nasional) dan tanggal 29 Mei adalah hari saya, Hari Lanjut Usia Nasional dan Hari Internasional Penjaga Perdamaian PBB. Tanggal 31 Mei ditutup dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Biar tidak ada asap yang terus mengompori kita untuk “berkelahi” sesama anak Bangsa. “Selamat memperingati Harkitnas. Ayo Bangkit Bersama.” (**)