Catatan Rizal Effendi
ADA tiga topik yang sedang viral pekan ini menyangkut semangat Kaltim Berdaulat terutama dari aspek pendapatan. Ketiga topik itu berkaitan dengan Dana Bagi Hasil (DBH), kewenangan pajak Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN), dan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Company Social Responsibility, CSR) yang lebih spesifik lagi boleh dimaknai sebagai program kepedulian perusahaan tambang di Kaltim.
Gubernur Kaltim Dr Isran Noor yang lagi mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Bali mengusung isu DBH sumber daya alam (SDA), yang tidak menguntungkan bagi daerah penghasil seperti Kaltim dan beberapa daerah lainnya. “Karena itu harus kita perjuangkan demi pembangunan daerah yang berkeadilan,” katanya tegas di hadapan gubernur seluruh Indonesia.
Untuk memperkuat tuntutannya Gubernur Isran juga menyinggung amanat UUD 1945. “Dalam UUD 1945 seharusnya pembangunan itu sama rata tidak hanya di Pulau Jawa saja,” katanya.
Soal DBH SDA yang timpang ini sudah lama diteriakkan Kaltim. Seingat saya pada masa Gubernur Suwarna sampai Gubernur Awang Faroek. Apalagi pada era Gubernur Isran sekarang, yang memang sejak Pilgub mengusung semangat Kaltim Berdaulat termasuk berdaulat dalam urusan pendapatan daerah. Sampai-sampai ada yang mengajak “berontak” dalam memperjuangkannya. Itu kalau merujuk dari sikap Aceh dan Papua, yang akhirnya bisa mendapat hak istimewa. Bahkan waktu itu ada aksi unjuk rasa dari kelompok mahasiswa yang menuntut agar Kaltim diberi hak otonomi khusus.
Perjuangan untuk mendapatkan DBH yang adil dari penjualan migas, kelapa sawit dan batu bara serta hasil SDA lainnya memang tidak gampang lagi. Persoalannya UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) telanjur sudah diketok. Padahal ruang pembahasan soal itu ada di sana.
Saya tahu Gubernur masih optimistis dan masih melihat ada celah terutama dalam penyusunan peraturan pemerintahnya. “Masih ada celah untuk tetap menggolkan DBH SDA yang adil dalam peraturan pelaksanaannya,” kata Isran. “Kalau tidak bisa 60 persen, ya 50 persen,” tambahnya.
Dalam tulisan saya terdahulu, saya mengungkapkan bahwa Isran termasuk gubernur yang disayang Presiden Jokowi. Ada dua permohonan Isran yang dikabulkan Jokowi. Mulai soal penggantian jabatan sekprov di awal masa jabatannya sampai masalah kewenangan pemberian izin penambangan batu bara. Begitu Isran berteriak, Presiden langsung merespon. Kewenangan perizinan akhirnya didelegasikan ke pemerintah provinsi.
Nah, apakah permintaan Isran yang ketiga ini kembali diluluskan Presiden Jokowi? Sepertinya tidak gampang. Karena menyangkut keseimbangan APBN. Tapi juga tak bisa dinafikan bahwa Kaltim sangat besar kontribusinya kepada PDRB nasional. Apalagi sekarang menjadi lokasi IKN. Karena itu semestinya Jokowi juga mempertimbangkan lebih saksama, apalagi perjuangannya sudah dilakukan bertahun-tahun.
Saya amati usulan Kaltim yang memperjuangan DBH SDA mendapat dukungan dari kepala daerah yang lain. Soalnya kata Isran, hampir semua daerah di luar Pulau Jawa menghasilkan SDA. “DBH PNBP sumber daya alam mineral dan batu bara yang dikelola pemerintah pusat memang belum berpihak kepada pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah,” kata Gubernur Kalteng Sugianto Sabran.
13 PUNGUTAN
Selain DBH, yang ramai jadi sorotan kita juga adalah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Anggaran Dalam Rangka Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara serta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Dalam PP tersebut, Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) diberi ruang dalam rangka menggali sumber pendanaan pembangunan IKN, salah satunya melalui pungutan pajak. Setidaknya ada 13 pungutan pajak yang bisa ditarik Otorita, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Alat Berat, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok, Pajak Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunanan, Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Makanan dan atau Minuman; tenaga listrik; jasa perhotelan; jasa parkir; serta jasa kesenian dan hiburan, Pajak Reklame, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan serta Pajak Sarang Burung Walet.
Menurut NIAGA.ASIA, dengan hadirnya PP No 17 itu, Pemkab Kutai Kartanegara (Kukar) kehilangan pendapatannya di 40 desa/kelurahan yang masuk wilayah otoritas IKN. Sedang Pemkab Penajam Paser Utara (PPU) kehilangan PAD-nya di 15 desa/kelurahan. Media online ini mengutip surat Kepala Kanwil BPN Kaltim Asnedi, yang menjelaskan desa dan kelurahan masuk dalam wilayah Otorita (KP/KSN-IKN).
Beragam tanggapan muncul menyikapi PP 17. Ada yang menilai PP itu salah satu bentuk pencarian dana masyarakat model crowdfunding yang dinarasikan beberapa waktu lalu. Ada juga yang menilai PP itu merugikan Kaltim terutama Kukar dan PPU, sudah wilayahnya berkurang ditambah lagi pendapatannya yang digerus. Apalagi PPU saat ini sedang terlilit utang Rp 400 miliar.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim Dapil Balikpapan, Ir H Muhammad Adam, MT mencoba bijak menanggapi PP tersebut. “Memang di satu sisi PP tersebut mengurangi pendapatan daerah. Tapi di sisi lain saya yakin multiplier effects dengan kehadiran dan pembangunan IKN akan memberikan dampak besar bagi Kaltim dan daerah penyangga. Jadi kehilangan pendapatan tadi bisa ditutup dengan pendapatan lain yang lebih besar,” katanya kepada KaltimKita.com.
Tempo hari saya mengkritik pembentukan Tim Transisi IKN, di mana hanya Gubernur Isran dan Rektor Unmul Prof Masjaya saja yang terlibat sebagai penasihat dan tim ahli. Selain Kadis Lingkungan Hidup. Padahal kita perlu ada orang daerah yang juga masuk di Bidang Perencanaan, Pengendalian Pembangunan, Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat sampai di Bidang Pendanaan sehingga Kaltim dan daerah penyangga mendapat perhatian dan tidak sebaliknya dirugikan.
CSR 500 MILIAR
Berita ini munculnya dari suara lantang Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi. Dia bilang ada aliran dana program peduli lingkungan (CSR) dari salah satu perusahaan besar bidang pertambangan batu bara di Kaltim diterima Universitas Indonesia (UI) cukup besar. Itu dirasakan tidak nyaman dan tidak adil oleh masyarakat di sini.
“Jumlahnya Rp 500 miliar, kok tidak diberikan kepada perguruan tinggi di Kaltim? Okelah dia perlu membagi kepada universitas seperti itu, tapi jangan dianaktirikan Kaltim sebagai pemilik sumber daya alamnya,” kata Wagub.
Informasi soal ini seperti dibisikkan oleh Rektor Unmul kepada Wagub. “Yang jelas saya dapat pertanyaan ini dan dapat kiriman dari Rektor Unmul. Ya semua orang daerah pasti bertanya-tanya. Tidak harus Unmul, ‘kan ada ITK, ISBI, UMKT, Unikarta, Uniba, UNU dan lainnya,” kata Hadi.
Saya lihat di berbagai grup WA, reaksi muncul. Hampir semuanya menilai ini bentuk ketidakadilan yang dilakukan pengusaha tambang di Kaltim. Ada yang bereaksi lembut, tapi banyak juga yang bernada “menampar.” Ada yang mengusulkan ditutup saja tambangnya atau dicabut izinnya. “Tentu kita semua kecewa dan menyesalkan,” kata Ketua Komisi IV DPRD Kaltim Reza Fachlevi.
Saya setuju perusahaan itu dipanggil oleh Pemprov dan DPRD Kaltim. Juga dilakukan audit terhadap program CSR yang dilakukan berbagai perusahaan besar di daerah ini. Sewaktu saya menjadi wali kota, saya membentuk Forum CSR melibatkan pemerintah daerah, lembaga masyarakat, dan perusahaan. Forum itu menjadi ruang yang menampung daftar aspirasi dan usulan masyarakat, yang disesuaikan dengan plafon anggaran CSR di perusahaan. Dari situ kita juga tahu apakah besaran CSR perusahaan sudah pantas dengan keuntungan yang didapatnya.
Saya juga merindukan yayasan sosial dan pendidikan yang didirikan perusahaan-perusahaan besar itu, tidak saja dibangun di Jakarta atau di kampung halaman sang pengusaha, tapi juga wajib di Kaltim. Masa mau durhaka dengan Kaltim, yang jelas-jelas memberikan kehidupan berlimpah bagi dirinya dan tujuh turunan keluarganya? Itu namanya zalim. (**)