Sejumlah pedagang gorengan di Sangatta, Kutai Timur (Kutim) mengeluhkan minyak goreng curah yang masih sulit didapatkan. Sementara untuk membeli minyak goreng kemasan, menurut mereka terlalu mahal.
Seorang pedagang, Nur menerangkan, untuk mendapatkan minyak goreng curah sangat sulit. Kalaupun ada, harus antre. Namun, beberapa hari ini dia harus berkeliling pasar tradisional dan kadang harus antre. Sedangkan untuk melancarkan usahanya membutuhkan minyak goreng yang cukup.
“Kalau sudah tidak ada lagi, saya harus beli minyak goreng kemasan. Tapi harganya terlalu mahal. Bagi pedagang gorengan seperti saya sangat tipis keuntungannya,” kata Nur, Sabtu (2/4/2022).
Menurutnya, jika minyak goreng curah masih tetap sulit didapatkan, dan harus menggunakan minyak kemasan. Dia terpaksa menaikkan harga gorengan dari Rp 1.000 per gorengan menjadi Rp 5.000 per empat gorengan. Sebab, jika harga gorengan tetap harga lama, bukan untung yang didapat, melainkan buntung.
“Namanya orang berjualan yang dicari pasti keuntungan, tetapi untuk mendapatkan untung juga harus melihat pelanggan yang kadung setia. Repotnya, kalau harganya dinaikkan pelanggannya malah berkurang. Saat ini untuk menentukan harga gorengan saya masih kebingungan,” ungkapnya.
Hal serupa disampaikan Sumiati (55), warga Gang Famili, Kecamatan Sangatta Utara. Dia mengakui, bahan gorengan juga mengalami kenaikan. Tepung yang biasa dipakai untuk membuat gorengan seperti bakwan, yang mulanya Rp 10 ribu per kg, sekarang sudah Rp 11 ribu.
“Cabai juga pas habis banjir susah sehingga sulit untuk menakar harga gorengan,” terangnya.
Sumiati mengatakan, untuk meminimalisasi kerugian dari mahalnya harga sembako, dirinya harus memperkecil ukuran gorengan. Baik itu bakwan, tahu isi, dan tempe goreng.
“Kedelai juga sulit didapatkan, sehingga ukuran tahu dan tempe menjadi kecil. Otomatis kalau tempe dan tahu sudah berukuran kecil, bakwan juga harus dibuat lebih kecil dan harganya tetap Rp 1.000,” tandasnya.
Fahmi, pedagang minyak goreng curah di Sangatta menyebutkan, dalam satu bulan stok minyak curah terbatas. Stok yang tersedia setiap hari sering kekurangan. Dari agen, dia hanya dapat 15 kg sampai 20 kg setiap hari. Berbeda dengan saat minyak goreng belum langka, biasanya sampai 40 kg hingga 50 kg.
“Sekarang, saya juga kebingungan mengatur kulakan ketika ada orang yang membeli. Mau diberikan sesuai dengan permintaan pembeli, takutnya yang lain tidak kebagian. Soalnya pembeli juga memerlukan minyak yang banyak, apalagi yang pedagang. Tentunya mereka tidak mau bolak balik hanya untuk membeli minyak goreng setiap hari,” pungkas Fahmi.
Sementara pedagang pasar tradisional di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Adi Cahyo, mengatakan harga minyak goreng kemasan sudah menyentuh Rp 52 ribu-54 ribu per kemasan 2 liter. Tidak seperti dulu, kini mendapatkan minyak goreng dibatasi sales distributor.
Sementara minyak goreng curah katanya, pedagang tak boleh menjual langsung ke masyarakat, setelah dilakukan sidak oleh tim Satgas Pangan Kukar. Pemkab Kukar saat ini fokus mendistribusikan melalui kecamatan, kelurahan dan RT secara berjenjang.
Kenaikan harga minyak goreng kemasan, juga berpengaruh pada usaha Nasiin, penjual gorengan di Tenggarong. Dia terpaksa menaikkan harga gorengan yang dia jual, menyesuaikan dengan biaya produksi yang ikut naik.
Sebelumnya dia menjual gorengan Rp 1.000 per gorengan, kini naik menjadi 3 gorengan seharga Rp 5 ribu. Ini bukan kali pertama dia menaikkan harga, sebelumnya Rp 5 ribu bisa untuk 4 gorengan.
Demi bisa berjualan, berapapun harga minyak goreng kemasan yang tersedia di pasar, tetap dia beli. Dia pernah menunggu harga minyak goreng murah, sampai tidak berjualan selama 4 hari. “Sekarang beli dengan harga yang ada di pasar saja,” ungkapnya.
Bahkan dirinya mengaku sempat tertipu membeli minyak goreng. Februari lalu, dia memesan dan mentransfer Rp 2 juta, tapi barang tak kunjung datang. Dia mengaku untuk berjualan per hari memerlukan 10-12 liter minyak goreng. “Sekarang omzet kami jadi turun 30 persen,” ujar Nasiin. (ref/afi)