NUSANTARA – Sejumlah kalangan menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Ibu Kota Negara alias UU IKN di Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Beleid yang disahkan DPR RI tiga bulan lalu itu dipersoalkan karena pembentukannya dianggap terlalu cepat dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat adat.
Ada empat warga yang menggugat UU IKN yakni Trisno Rahardjo (akademikus dari Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Yogjakarta), Dwi Putri Cahyawati, Busyro Muqoddas (eks Ketua KPK), dan Dahlia (masyarakat adat dari Suku Balik). Penggugat lainnya adalah Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (Argumen). Kelompok ini beranggotakan dua organsiasi nirlaba yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman).
Pada Jumat, 1 April 2022, Argumen mengadakan konferensi pers bertajuk Menggugat Ibu Kota Negara di Sekretariat Walhi Kaltim, Samarinda. Kegiatan ini dimoderatori Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang. Awalnya, ia menjelaskan salah satu alasan UU IKN digugat untuk diuji formil di Mahkamah Konstitusi, karena pembuatan UU yang memakan 47 hari, dinilai terlalu cepat. Pembahasan dampak pembangunan IKN Nusantara di Kaltim pun menjadi diragukan. Para penggugat khawatir, penanganan dampak lingkungan hidup, ancaman perampasan wilayah adat, dan eksploitasi sumber daya daerahnya, tidak dibahas secara komprehensif.
“Ini sama saja mengabaikan kelompok masyarakat sipil, akademisi, bahkan masyarakat yang tinggal di sekitar ibu kota baru,” kata Rupang.
Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Yohanna Tiko, menyebut, pemerintah tidak mempertimbangkan satu fakta penting yakni fenomena degradasi lingkungan di lokasi ibu kota baru. Berdasarkan keterangan yang diperoleh Walhi dari warga setempat, saat ini terjadi krisis sumber air bersih di perkampungan di sekitar IKN Nusantara. Hal ini disebabkan pendangkalan sungai yang ada di kawasan itu.
“Dulu, sungai tersebut bisa dimanfaatkan untuk memperoleh air bersih saat surut. Namun, kehadiran industri ekstraktif menyebabkan sungai itu rusak,” jelas Tiko. “Warga harus merogoh kocek sekitar Rp 70 ribu untuk sekali mengisi tandon. Kalau tidak ada uang, mereka menampung air hujan,” ungkapnya.
Pembangunan IKN Nusantara juga disebut dapat merusak lingkungan Teluk Balikpapan. Teluk ini memiliki sekitar 16.800 hektare hutan mangrove. Fungsinya sebagai rumah bagi berbagai satwa akuatik langka seperti pesut dan dugong. Walhi menyebut, pembangunan IKN Nusantara akan membuat banyak kapal yang mengangkut materiel hilir-mudik di Teluk Balikpapan. Tanpa penanganan yang baik, kapal-kapal tersebut diyakini bisa merusak ekosistem Teluk Balikpapan.
Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aman Kaltim, Margaretha Seting, menambahkan, sejak Kaltim ditetapkan sebagai ibu kota negara, masyarakat adat dan lokal tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan pembangunannya. Sosialisasi pemindahan IKN disebut hanya untuk segelintir orang.
“Tidak ada pembicaraan sampai ke tingkat kampung, tidak ada penjelasan mendetail terkait proyek ini. IKN tiba-tiba datang,” ungkapnya.
Sementara itu, pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama, menilai, gugatan terhadap UU IKN adalah hal yang lumrah. Dari gugatan tersebut, dapat diketahui, apakah pembentukannya sesuai dengan norma, asas hukum, dan ketentuan dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Uji formil juga berfungsi menguji UU IKN dari sisi kajian akademis.
Jika MK menyatakan UU IKN bermasalah, kata Suwardi, maka peraturan tersebut tidak dapat dijalankan atau tidak memiliki legal standing. Melihat proses pembentukan dan materi UU IKN, ia yakini, peraturan itu akan dibatalkan. “Kalau tidak mau mendengar, itu artinya, pemerintahan yang otoriter sudah di depan mata,” tutupnya. (kk)