spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Wacana Penundaan Pemilu 2024 untuk Kawal IKN?

SAMARINDA – Nama Kaltim terseret dalam keributan mengenai wacana penundaan Pemilihan Umum Serentak 2024, termasuk isu perpanjangan masa jabatan presiden. Sejumlah pihak menengarai, wacana itu berkelindan dengan pembangunan ibu kota negara (IKN) Nusantara. Narasi ini dianggap sengaja digulirkan karena masa jabatan Presiden Joko Widodo tersisa dua tahun. Sementara kepastian proyek pemindahan IKN memerlukan waktu lebih dari itu.

Pola yang membentuk wacana ini setidaknya mulai nampak setelah Undang-Undang IKN disahkan. Sebermula dari hasil survei kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Pada Februari 2022, beberapa lembaga survei menyatakan bahwa tingkat kepuasan tersebut lebih dari 70 persen. Sebulan berselang, tiga ketua umum partai koalisi yaitu PKB, PAN, dan Golkar, mengemukakan wacana pemilu serentak 2024 ditunda.

Belakangan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan, setidaknya 110 juta rakyat Indonesia mendukung penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden. Sebagaimana dimuat berbagai media nasional, Luhut mengklaim, big data percakapan warganet di berbagai media sosial mendukung narasi penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan.

Pernyataan inilah yang kemudian menyeret nama Kaltim. Sebagai menko urusan investasi, Luhut disebut telah bertemu dengan para calon investor pembangunan IKN. Dari Rp 466 triliun anggaran pembangunan IKN, APBN hanya menanggung sebesar 20 persen. Sumber pembiayaan terbesar justru lewat skema Public Private Partnership (PPP) serta Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang melibatkan swasta. Singkatnya, peran investasi swasta sangat besar dalam megaproyek IKN Nusantara.

Analisis dari CEO Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, patut diperhatikan. Menurutnya, wacana pengunduran pemilu selama tiga tahun maupun perpanjangan masa jabatan presiden memang muncul setelah UU IKN disahkan. Dikutip dari Tempo, Achmad mengatakan, pembangunan IKN akan memakan waktu lebih lama dari masa pemerintahan Presiden Jokowi.

Mengutip kajian organisasi nirlaba, Trend Asia, Achmad menambahkan, ada segelintir investor dan elite politik yang telah berinvestasi. Bila pemindahan IKN batal, konsekuensinya adalah kerugian pemilik proyek dan vendor yang akan terlibat dalam pembangunan. Pergantian kepemimpinan pada 2024 bisa menjadi ancaman walaupun pemindahan IKN telah diundangkan.

“Setelah 2024, dapat dipastikan bukan Pak Jokowi (sebagai presiden). Sehingga, ada ketakutan tersendiri bahwa pemindahan IKN dapat dibatalkan pemerintahan terpilih pada 2024,” ucapnya.

Akademikus dari Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, sepakat dengan analisis tersebut. Upaya penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan berkaitan erat dengan sejumlah proyek strategis nasional termasuk pembangunan IKN. Ia menduga, wacana tersebut sengaja didorong sekelompok pejabat dan pengusaha untuk menjaga kelancaran bisnis mereka.

“Mereka nyaman dengan rezim ini dan berusaha melabrak konstitusi untuk mempertahankannya. Semua karena mereka perlu jaminan agar pemindahan IKN dan proyek strategis lainnya tetap aman,” jelas Herdiansyah kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com.

Anggota Komisi V DPR-RI, Irwan Fecho, yang juga legislator Kaltim, menilai bahwa manuver perpanjangan masa jabatan maupun penundaan pemilu serentak 2024 sangat tidak layak. Apalagi jika wacana itu demi mengakomodasi pemindahan IKN. Tujuan pelaksanaan pemilu dan pembangunan IKN, terang politikus Partai Demokrat ini, adalah dua sisi berbeda. Semua pihak sudah bersepakat agar pemilu dilaksanakan saban 5 tahun sejak era reformasi. Pemerintah harus menghargai keputusan itu.

“Kekuasaan memang membuka keinginan yang lebih lebar dan leluasa. Tetapi, tolong hormati keputusan itu. Tahan nafsu dan syahwat politik. Penundaan pemilu bukan saja tidak layak tetapi khayalan setinggi-tingginya,” jelas Irwan.

Sementara itu, Gubernur Kaltim, Isran Noor, mengaku, tidak ingin ambil pusing. Ia menegaskan, hanya mengikuti amanat undang-undang dan ketentuan. “Sepanjang ada payung hukumnya, kita patuh saja. Saya ini tidak terlalu repot, ikuti saja ketentuan,” ucapnya ketika ditemui di halaman kantor Badan Pemeriksa Keuangan Kaltim, Jumat, 18 Maret 2022.

Tanggapan berbeda disampaikan Wakil Ketua DPRD Kaltim, Muhammad Samsun. Ia menilai, analisis Narasi Institute kurang tepat. Menurutnya, pergantian rezim tidak serta-merta menggagalkan proyek IKN. UU IKN sudah diketuk DPR dan bersifat mengikat. Pemerintahan setelah Presiden Jokowi harus menjalankan amanat pembangunan IKN.

“Pembangunan IKN, ‘kan, bukan kemauan Jokowi semata tetapi manifestasi keinginan seluruh rakyat Indonesia. Makanya, UU itu disahkan DPR. Tidak serta-merta ganti pemerintahan terus IKN batal,” ucap politikus PDI Perjuangan ini lewat sambungan telepon.

Samsun melanjutkan, penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan merupakan bagian dari perbedaan pendapat yang menjadi ciri negara demokrasi. Ia menyatakan, tetap mengikuti keputusan politik di tingkat nasional. Akan tetapi, selama aturan mengenai perpanjangan masa jabatan belum diteken, wacana penundaan pemilu sebenarnya sah-sah saja.

“Mau diperpanjang atau sesuai dengan jadwal, yang pasti, negara kita ini punya aturan main yang tidak bisa diubah sesuai kepentingan. Justru celaka kalau aturan main ubah sesuai keinginan kelompok tertentu. Harus sesuai amanat konstitusi,” imbuhnya.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama, berpendapat bahwa pemilu wajib diselenggarakan pada 2024. Amanat konstitusi sudah demikian adanya. Masa jabatan memang bisa diperpanjang jika konstitusi diamandemen sebagaimana termaktub dalam pasal 37 UUD 1945. Akan tetapi, UUD hanya bisa diamandemen karena dua alasan. Pertama apabila konstitusi tidak relevan, dan kedua, negara sedang dalam keadaan genting.

Apabila faktor big data, pandemi, dan persoalan ekonomi yang dijadikan alasan, Suwardi menilai, belum kuat untuk mengamandemen konstitusi. Lagi pula, Indonesia punya sejarah yang kelam tentang perpanjangan masa jabatan presiden. Ia menilai, guliran wacana tadi merupakan siasat oligarki.

“Tidak ada alasan yang rasional dan mendesak mengamandemen konstitusi hanya demi menunda pemilu terkecuali ada kepentingan di baliknya,” ucap Suwardi mengambil kesimpulan. (kk) Wacana Penundaan Pemilu 2024 untuk Kawal IKN?

Nama Kaltim terseret dalam keributan mengenai wacana penundaan Pemilihan Umum Serentak 2024, termasuk isu perpanjangan masa jabatan presiden. Sejumlah pihak menengarai, wacana itu berkelindan dengan pembangunan ibu kota negara (IKN) Nusantara. Narasi ini dianggap sengaja digulirkan karena masa jabatan Presiden Joko Widodo tersisa dua tahun. Sementara kepastian proyek pemindahan IKN memerlukan waktu lebih dari itu.

Pola yang membentuk wacana ini setidaknya mulai nampak setelah Undang-Undang IKN disahkan. Sebermula dari hasil survei kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Pada Februari 2022, beberapa lembaga survei menyatakan bahwa tingkat kepuasan tersebut lebih dari 70 persen. Sebulan berselang, tiga ketua umum partai koalisi yaitu PKB, PAN, dan Golkar, mengemukakan wacana pemilu serentak 2024 ditunda.

Belakangan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan, setidaknya 110 juta rakyat Indonesia mendukung penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden. Sebagaimana dimuat berbagai media nasional, Luhut mengklaim, big data percakapan warganet di berbagai media sosial mendukung narasi penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan.

Pernyataan inilah yang kemudian menyeret nama Kaltim. Sebagai menko urusan investasi, Luhut disebut telah bertemu dengan para calon investor pembangunan IKN. Dari Rp 466 triliun anggaran pembangunan IKN, APBN hanya menanggung sebesar 20 persen. Sumber pembiayaan terbesar justru lewat skema Public Private Partnership (PPP) serta Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang melibatkan swasta. Singkatnya, peran investasi swasta sangat besar dalam megaproyek IKN Nusantara.

Analisis dari CEO Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, patut diperhatikan. Menurutnya, wacana pengunduran pemilu selama tiga tahun maupun perpanjangan masa jabatan presiden memang muncul setelah UU IKN disahkan. Dikutip dari Tempo, Achmad mengatakan, pembangunan IKN akan memakan waktu lebih lama dari masa pemerintahan Presiden Jokowi.

Mengutip kajian organisasi nirlaba, Trend Asia, Achmad menambahkan, ada segelintir investor dan elite politik yang telah berinvestasi. Bila pemindahan IKN batal, konsekuensinya adalah kerugian pemilik proyek dan vendor yang akan terlibat dalam pembangunan. Pergantian kepemimpinan pada 2024 bisa menjadi ancaman walaupun pemindahan IKN telah diundangkan.

“Setelah 2024, dapat dipastikan bukan Pak Jokowi (sebagai presiden). Sehingga, ada ketakutan tersendiri bahwa pemindahan IKN dapat dibatalkan pemerintahan terpilih pada 2024,” ucapnya.

Akademikus dari Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, sepakat dengan analisis tersebut. Upaya penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan berkaitan erat dengan sejumlah proyek strategis nasional termasuk pembangunan IKN. Ia menduga, wacana tersebut sengaja didorong sekelompok pejabat dan pengusaha untuk menjaga kelancaran bisnis mereka.

“Mereka nyaman dengan rezim ini dan berusaha melabrak konstitusi untuk mempertahankannya. Semua karena mereka perlu jaminan agar pemindahan IKN dan proyek strategis lainnya tetap aman,” jelas Herdiansyah kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com.

Anggota Komisi V DPR-RI, Irwan Fecho, yang juga legislator Kaltim, menilai bahwa manuver perpanjangan masa jabatan maupun penundaan pemilu serentak 2024 sangat tidak layak. Apalagi jika wacana itu demi mengakomodasi pemindahan IKN. Tujuan pelaksanaan pemilu dan pembangunan IKN, terang politikus Partai Demokrat ini, adalah dua sisi berbeda. Semua pihak sudah bersepakat agar pemilu dilaksanakan saban 5 tahun sejak era reformasi. Pemerintah harus menghargai keputusan itu.

“Kekuasaan memang membuka keinginan yang lebih lebar dan leluasa. Tetapi, tolong hormati keputusan itu. Tahan nafsu dan syahwat politik. Penundaan pemilu bukan saja tidak layak tetapi khayalan setinggi-tingginya,” jelas Irwan.

Sementara itu, Gubernur Kaltim, Isran Noor, mengaku, tidak ingin ambil pusing. Ia menegaskan, hanya mengikuti amanat undang-undang dan ketentuan. “Sepanjang ada payung hukumnya, kita patuh saja. Saya ini tidak terlalu repot, ikuti saja ketentuan,” ucapnya ketika ditemui di halaman kantor Badan Pemeriksa Keuangan Kaltim, Jumat, 18 Maret 2022.

Tanggapan berbeda disampaikan Wakil Ketua DPRD Kaltim, Muhammad Samsun. Ia menilai, analisis Narasi Institute kurang tepat. Menurutnya, pergantian rezim tidak serta-merta menggagalkan proyek IKN. UU IKN sudah diketuk DPR dan bersifat mengikat. Pemerintahan setelah Presiden Jokowi harus menjalankan amanat pembangunan IKN.

“Pembangunan IKN, ‘kan, bukan kemauan Jokowi semata tetapi manifestasi keinginan seluruh rakyat Indonesia. Makanya, UU itu disahkan DPR. Tidak serta-merta ganti pemerintahan terus IKN batal,” ucap politikus PDI Perjuangan ini lewat sambungan telepon.

Samsun melanjutkan, penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan merupakan bagian dari perbedaan pendapat yang menjadi ciri negara demokrasi. Ia menyatakan, tetap mengikuti keputusan politik di tingkat nasional. Akan tetapi, selama aturan mengenai perpanjangan masa jabatan belum diteken, wacana penundaan pemilu sebenarnya sah-sah saja.

“Mau diperpanjang atau sesuai dengan jadwal, yang pasti, negara kita ini punya aturan main yang tidak bisa diubah sesuai kepentingan. Justru celaka kalau aturan main ubah sesuai keinginan kelompok tertentu. Harus sesuai amanat konstitusi,” imbuhnya.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama, berpendapat bahwa pemilu wajib diselenggarakan pada 2024. Amanat konstitusi sudah demikian adanya. Masa jabatan memang bisa diperpanjang jika konstitusi diamandemen sebagaimana termaktub dalam pasal 37 UUD 1945. Akan tetapi, UUD hanya bisa diamandemen karena dua alasan. Pertama apabila konstitusi tidak relevan, dan kedua, negara sedang dalam keadaan genting.

Apabila faktor big data, pandemi, dan persoalan ekonomi yang dijadikan alasan, Suwardi menilai, belum kuat untuk mengamandemen konstitusi. Lagi pula, Indonesia punya sejarah yang kelam tentang perpanjangan masa jabatan presiden. Ia menilai, guliran wacana tadi merupakan siasat oligarki.

“Tidak ada alasan yang rasional dan mendesak mengamandemen konstitusi hanya demi menunda pemilu terkecuali ada kepentingan di baliknya,” ucap Suwardi mengambil kesimpulan. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti