Penyebaran dokter, khususnya dokter spesialis, di Kaltim belum merata. Kebanyakan masih menumpuk di Samarinda dan Balikpapan. Seharusnya sebaran dokter di tiap daerah bisa merata sehingga tidak menimbulkan ketimpangan fasilitas pelayanan kesehatan.
TIM PELIPUT: Andi Desky, Ramlah Effendy, Muhammad Rafi’i
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan jumlah dokter di Indonesia sebenarnya sudah mencukupi, namun persebarannya tidak merata. Kebanyakan dokter berkumpul di sejumlah kota dan provinsi tertentu. “Persebaran dokter tidak merata karena bertumpuk di Pulau Jawa ataupun kota-kota besar,” ujar Sekjen PB IDI Moh Adib Khumaidi dikutip dari detik.com pertengahan tahun lalu.
Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), jumlah dokter di Indonesia 186.105 orang. Artinya, satu dokter melayani sekitar 1.400 penduduk. Di Malaysia rasio 1 dokter banding 1.100 penduduk. Namun demikian, Adib menyebut pada umumnya dokter terkumpul di kota-kota besar dan akhirnya di berbagai wilayah Indonesia, terutama kawasan terpencil, kebutuhan dokter belum terpenuhi.
Sementara berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, jumlah dokter di Indonesia mencapai 123.691 ribu per 31 Desember 2020, namun sebaran dokter masih belum merata di tiap wilayah. Sebaran dokter masih berpusat di Jawa. Jumlahnya sebanyak 71.286 dokter atau menyumbang sekitar 57,63 persen dari total dokter di Tanah Air. Sumatera menduduki peringkat kedua dengan jumlah dokter 26.193 dokter.
Sulawesi menempati peringkat ketiga dengan total 9.495 dokter. Bali dan Nusa Tenggara tercatat memiliki 7.034 dokter. Selanjutnya, di Pulau Kalimantan memiliki 7.022 dokter dan di wilayah Maluku dan Papua terdapat 2.661 dokter. Berdasarkan provinsi, jumlah dokter terbanyak ada di DKI Jakarta, yakni 17.032 dokter. Sedangkan, jumlah dokter paling sedikit ada di Papua Barat yaitu hanya 475 dokter.
Sementara Kaltim memiliki 2.776 dokter (data Badan Pusat Statistik 2020). Sebaran di kabupaten/kota pun tak merata. Lebih banyak di Balikpapan dan Samarinda. Yang lebih parah lagi sebaran dokter spesialis. Menurut data Dinas Kesehatan Kaltim pada 2021, dari total dokter spesialis 874 orang, kebanyakan bertugas di Balikpapan dan Samarinda. Balikpapan memiliki 304 dokter spesialis dan Samarinda 268 dokter spesialis.
Plt Kepala Dinas Kesehatan Kaltim Masitah menyampaikan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, kebutuhan tenaga kesehatan dihitung berdasarkan analisa beban kerja dan kemampuan rumah sakit di sebuah daerah. Di Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) diakuinya, hanya ada dua dokter spesialis, yaitu spesialis bedah dan spesialis penyakit dalam.
Terkait sistem perekrutan atau pemenuhan dokter spesialis, dia mengatakan bisa melalui program pendayagunaan dokter spesialis (dokter spesialis yang baru selesai pendidikan), tugas belajar, dan usulan formasi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam hal ini tenaga kesehatan atau dokter spesialis. “Informasi dari BKD (Badan Kepegawaian Daerah) formasi ASN dokter spesialis jarang sekali pendaftarannya,” ujarnya, Minggu (13/3/2022).
Ia juga menerangkan kebutuhan ASN dokter spesialis berpedoman pada analisa jabatan dan analisa beban kerja yang telah ditetapkan pemerintah daerah, pada setiap fasilitas kesehatan dan tergantung pada kemampuan suatu daerah. Selain itu faktor lainnya kata Masitah, jumlah penduduk dalam suatu daerah. Angka tenaga kesehatan katanya, menyesuaikan dengan jumlah penduduk kabupaten/kota.
“Dengan bertambahnya jumlah penduduk akan mempengaruhi rasio nakes (tenaga kesehatan, Red.) terhadap jumlah penduduk,” ungkapnya.
Menyinggung kebutuhan prasana dan sarana kesehatan dalam rangka pemindahan ibu kota negara (IKN), ia mengatakan Pemprov Kaltim terus melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan Otorita IKN. Hingga saat ini katanya, belum ada arahan dari pemerintah pusat terkait persiapan tenaga kesehatan berikut dengan fasilitas kesehatan di IKN kelak.
MASIH KURANG
Sementara Kepala Dinas Kesehatan Kutai Timur (Kutim), dr Bahrani Hasanal, mengatakan, di Kutim ada 36 dokter spesialis. Dari jumlah itu, hanya satu dokter spesialis berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemkab Kutim. Jumlah ini katanya, masih sangat kurang. Menurut rasio standar dari Kementerian Kesehatan RI, harusnya 12-15 orang dokter spesialis bisa melayani 100 ribu penduduk.
“Memang belum memenuhi standar, apalagi kebanyakan dokter spesialis masih di rumah sakit pratama yakni RSUD Kudungga dan RS Sangkulirang, artinya belum bisa menangani semuanya,” kata mantan direktur RSUD Kudungga itu kepada Media Kaltim, Sabtu (12/3/2022).
Dia mengungkapkan, kebanyakan dokter spesialis masih terkonsentrasi di rumah sakit vertikal. Dokter spesialis di Kutim ini, menurutnya, didominasi dokter spesialis penyakit dalam. “Kutim kekurangan dokter spesialis anestesi,” ungkapnya. Spesialis anestesi bertanggung jawab memberikan anestesi atau pembiusan kepada pasien yang hendak menjalani prosedur bedah dan prosedur medis lainnya.
Selain itu, Bahrani mengatakan, penyebaran dokter spesialis tidak merata. Penyebabnya lantaran ada keterikatan antara dokter spesialis dengan pemerintah kabupaten dan kota. Hal ini katanya, terjadi karena ketika masih menjadi dokter umum, mereka sudah menjadi pegawai daerah. Saat ingin melanjutkan pendidikan spesialis, kebanyakan dokter ini memakai dana pribadi sehingga mereka mengambil spesialisasi sesuai minat.
Terkadang keahliannya tidak sesuai dengan kebutuhan daerah tempat ia bekerja sebelumnya. Mengakali situasi ini, Dinas Kesehatan Kutim melakukan kajian dan analisis terkait kebutuhan tiap rumah sakit sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam Permenkes Nomor 56 Tahun 2014. Dinas juga mendata dan memetakan keberadaan dokter spesialis sesuai bidangnya masing-masing.
Selain itu, Dinas Kesehatan juga menginformasikan pemetaan dokter spesialis kepada rumah sakit di kabupaten/kota. Tujuannya untuk mendorong tiap RS melakukan kerja sama dalam rangka “meminjam” dokter spesialis tanpa harus memindahkan status kepegawaian.
“Rumah sakit yang masih kekurangan dokter spesialis dapat ‘meminjam’ kepada rumah sakit memiliki kelebihan spesialis melalui nota kesepahaman atau dengan MoU (Memorandum of Understanding, Red.) referral (rujukan, Red.) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak,” ujar Bahrani.
Sementara, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kutim dr Didit Tri Setyo Budi menyebutkan di Kutim kebutuhan dokter spesialis memang masih perlu tambahan. Namun, menurutnya sejauh ini pelayanan kesehatan ke masyarakat sudah diberikan yang terbaik.
Dokter spesialis paru ini mengatakan jika dokter spesialis kebanyakan masih di pusat kota karena seorang dokter spesialis harus membutuhkan alat-alat kesehatan. “Saat ini dokter spesialis di Kutim sekitar 36 orang, yang masih sangat minim itu dokter spesialis bidang anestesi,” ujarnya.
Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono mengakui tenaga kesehatan khususnya dokter di Indonesia masih belum merata. “Tenaga kesehatan kita tidak kurang, tapi tidak terdistribusi dengan merata. Terlalu menumpuk di kota-kota besar,” ujar Pandu dikutip dari lokadata.id.
Untuk itu katanya, harus ada terobosan dari pemerintah. Butuh cara-cara yang tidak biasa untuk memperbaiki pelayanan kesehatan di Indonesia. Inisiatif ini harus diawali dari Kementerian Kesehatan. Menurut Pandu, sudah semestinya kota-kota besar menutup pintu untuk dokter-dokter baru. Dokter yang bersedia bekerja di daerah terpencil diberi tunjangan khusus.
“Mereka kan manusia juga. Butuh sosial ekonomi insentif yang khusus,” tambahnya. Insentif tambahnya, tidak harus dalam bentuk uang. Melainkan bisa berupa jenjang karier atau kepangkatan, juga fasilitas lain seperti kesempatan melanjutkan pendidikan dan lain-lain.
Kutai Kartanegara (Kukar) yang memiliki wilayah yang luas juga masih menghadapi persoalan keterbatasan dokter spesialis. Tiga rumah sakit milik daerah yang ada di Kukar, yaitu RSUD AM Parikesit di Tenggarong, RSUD Dayaku Raja di Kota Bangun dan RSUD Abadi di Samboja, masih banyak kekurangan dokter spesialis.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kukar, Martina Yulianti melalui Kasubbag Kepegawaian, Kusnandar, mengatakan total dokter spesialis di tiga rumah sakit itu hanya ada 63 orang. RSUD AM Parikesit hanya memiliki 44 dokter spesialis. 40 dokter berstatus PNS dan 4 berstatus non-PNS.
Sementara RSUD Dayaku Raja di Kota Bangun hanya memiliki 3 dokter spesialis, yaitu satu orang berstatus PNS dan dua orang non-PNS). RSUD Abadi di Samboja ada 16 dokter spesialis. “Bila mengacu ke rasio (antara dokter dan penduduk, Red.) belum mencukupi,” ujar Kusnandar, kepada Media Kaltim.
Jika berdasarkan rasio tenaga kesehatan per 100 ribu penduduk, setidaknya ada 10 orang dokter spesialis. Namun di Kukar baru ada 9 dokter spesialis untuk 100 ribu penduduk. Seluruh dokter spesialis bertugas di rumah sakit yang terpusat di 3 kecamatan. Dokter spesialis tidak ada yang bertugas di daerah terpencil dan terluar.
“Karena dokter spesialis itu ada di faskes (fasilitas kesehatan, Red.) sekunder atau faskes rujukan, bukan faskes pertama,” lanjutnya. Ketika masyarakat yang memerlukan penanganan dokter spesialis, maka harus dirujuk ke tiga rumah sakit tadi. Faskes tingkat pertama yakni puskesmas katanya, tidak ada dokter spesialis. Hanya ad dokter umum. (eky/ref/afi)