Ditariknya kewenangan pengelolaan tambang dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat membuat penindakan tambang ilegal tidak maksimal. Masalahnya, pemda disebut tidak lagi memiliki kewenangan mengoreksi dan mencabut izin perusahaan yang bermasalah. Dalil tersebut dinilai mengada-ada.
Mengenai pengelolaan pertambangan berada di tangan pemerintah pusat diatur di Undang-undang 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Kalangan cendekiawan dari Kaltim menilai, UU tersebut masih bermasalah. Mereka pun mengajukan uji materiel UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi.
Pada Senin, 21 Februari 2022, sidang lanjutan uji materiel dengan nomor 37/PUU-XIX/2021 itu dilaksanakan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Sidang ini disiarkan di akun YouTube Mahkamah Konstitusi.
Dalam sidang, akademikus Fakultas Hukum Universitas Mulawarman yang menjadi saksi pemohon, Herdiansyah Hamzah, membeberkan sejumlah masalah penertiban tambang ilegal. Mulanya, ia menyebutkan terdapat 151 titik pertambangan tanpa izin di Kaltim. Data tersebut ia peroleh dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim.
Hampir semua kasus tersebut, kata Castro, demikian Herdiansyah Hamzah disapa, tidak ditindak secara serius. Informasi yang didapatnya, pemda, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, selalu berlasan tidak bisa menindak tambang ilegal karena terbentur UU Minerba. Dalam aturan tersebut, penindakan tambang ilegal disebut berada di tangan pemerintah pusat. Alasan yang sama juga berlaku terhadap penanganan kasus 40 orang meninggal dunia di lubang tambang. Pemerintah tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada pemilik konsesinya.
“Menurut mereka, yang mulia, kewenangan itu sudah ditarik oleh pemerintah pusat. Dulu, sebelum ada perubahan di UU Minerba, kami masih bisa mendesak pemerintah,” kata Castro kepada hakim.
Masalah yang lain, lanjut dia, UU Minerba membuat masyarakat kesulitan mengakses informasi mengenai aktivitas pertambangan. Pemda disebut tidak memiliki kewenangan mengeluarkan berbagai data. Partisipasi aktif publik atau meaningful participation untuk mengawasi aktivitas pertambangan, baik legal maupun ilegal, seolah tidak berdaya karena UU Minerba. “Kalau data itu ada, kami bisa mengarsir, mana tambang yang legal dan ilegal. Kami bisa mengidentifikasi wilayah konsesi mana yang legal,” imbuhnya.
Hal senada disampaikan saksi pemohon kedua, Taufik Iskandar. Dikatakan bahwa kehadiran UU Minerba membawa hambatan bagi masyarakat yang hidup di kawasan pertambangan batu bara. Beleid itu dianggap membuat masyarakat, yang terdampak pertambangan, kesulitan melaporkan masalahnya kepada pemerintah setempat.
“Kami kesulitan untuk melakukan pelaporan, sangat sulit, yang mulia. Semisal, masyarakat ingin meminta dokumen analisis dampak lingkungan, sekarang harus ke pusat. Ini sangat menyulitkan kami,” keluhnya.
Setelah sidang berjalan sekitar 35 menit, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, memberi kesempatan bagi kuasa hukum pemerintah, Sony Heru Prasetyo, untuk bertanya kepada saksi ahli, Franky Butarbutar.
Sony kemudian menjelaskan bahwa pemerintah pusat sebenarnya bisa mendelegasikan pemberian izin pengawasan tambang kepada pemerintah provinsi. Hal ini tertulis dalam Pasal 35 ayat 4 UU Minerba. Pasal tersebut berbunyi: pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian izin berusaha sebagaimana di maksud ayat 2, kepada pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pendelegasian bisa dilakukan dengan mengedepankan asas efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan keeksternalitas.
“Yang saya ingin pertanyakan kepada saudara ahli (Franky Butarbutar), terkait ketentuan dalam UU itu, bagaimana pendapat saudara terkait ketentuan yang sebetulnya memungkinkan, berdasarkan kriteria tertentu untuk mendelegasikan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada daerah?” ucap Sony, yang menjabat pelaksana tugas Koordinator Bagian Hukum Minerba, Direktorat Jenderal.
Kepada Sony, Franky Butarbutar menjawab, frasa ‘dapat’ di penjelasan Pasal 35 ayat 4, tidak mengartikan secara jelas kemampuan daerah mengelola pertambangan batu bara. Memang, pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan kepada pemda. Tapi, adanya diksi tersebut justru memunculkan ketidakpastian.
Franky juga menjelaskan, akibat dari penarikan kewenangan tersebut, muncul fenomena distrust atau ketidakpercayaan pemda dan masyarakat untuk berpartisipasi mengawasi aktivitas pertambangan batu bara. Ia pun mengamini pendapat Castro yang menyatakan bahwa kelompok masyarkat sipil akan kesulitan memperoleh data ketika semua data berada di pusat. Akan memakan waktu lama bagi masyarakat mengurus hal tersebut.
“Saya mengasumsikan bahwa kewenangan yang ditarik pemerintah pusat akan menyimpan ketidakpercayaan masyarakat dan pemerintah daerah. Nanti, kalau ada pencemaran dan kerusakan lingkungan, daerah (tinggal) bilang. ‘oh, ini bukan kewenangan saya’. Padahal ini berada di backyard (atau) pekarangan mereka sendiri,” ungkapnya.
Franky menganjurkan, prinsip otonomi harus dikedepankan dalam pemberian izin pertambangan. Menurutnya, penarikan kewenangan adalah suatu kemunduran dalam pengelolaan sumber daya alam. Ia juga mempertanyakan apakah pemerintah pusat secara sumber daya dan teknologi, sudah menangani seluruh persoalan pertambangan di Indonesia.
“Menurut saya, hukum yang dibuat seharusnya tidak (hanya) menyelesaikan masalah dulu dan sekarang. Tetapi juga mengantisipasi dampak-dampak yang akan timbul,” ujarnya.
Dalam wawancara terdahulu, Gubernur Kaltim, Isran Noor, mengatakan, pemerintah provinsi tidak mendapatkan penjelasan eksplisit mengenai pengawasan perizinan pertambangan. Menurutnya, daerah hanya mengawasi perusahaan yang diberikan izin dari pemda.
“Yang kami bisa awasi itu adalah izin yang kami berikan. Kalau bukan dari kami, apa yang kami awasi? Apa itu arti kata ‘bisa’ dan ‘dapat’? Itu kata-kata yang berekor, bersayap, dan berbulu. Untuk berbuat sesuatu, payung hukumnya harus jelas,” kata Gubernur Isran kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim. com pada 29 November 2021. (kk)