NUSANTARA – Kehadiran ibu kota negara (IKN) Nusantara di Kaltim disebut-sebut akan mengubah peta perpolitikan Kaltim. Masyarakat yang tinggal di IKN Nusantara bakal kelimpungan menjadi anggota DPRD. Mengingat, tidak ada DPRD di ibu kota nanti. Jika mencalonkan di daerah lain, suara dari masyarakat IKN Nusantara tak bisa digunakan.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang IKN. Peraturan tersebut mengatur soal pemilihan umum Kepala Badan Otorita Nusantara dikecualikan dari satuan pemerintahan daerah lain. Kemudian, ibu kota hanya menyelenggarakan pemilihan umum tingkat nasional tanpa pemilihan legislatif tingkat daerah karena tak ada DPRD di Nusantara.
Akademikus Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, mengkritik pasal tersebut. Pria yang akrab disapa Castro ini menyebut, berdasarkan UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, ada dua unsur penting dalam sebuah daerah. Kedua unsur adalah eksekutif dan legislatif. Hilang salah satu di antaranya membuat sistem pemerintahan menjadi kacau.
Ketiadaan DPRD, terang Castro, akan membuat hak politik masyarakat setempat hilang. Hal tersebut bertentangan dengan hak untuk memilih dan dipilih sebagai hak konstitusional yang dibatasi dalam undang-undang dasar. “Tidak menutup kemungkinan, ini juga mengurangi daftar pemilih tetap (DPT) bagi anggota DPRD,” terangnya kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com melalui sambungan telepon, Senin, 21 Februari 2021.
Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu mengatakan, peraturan tersebut akan mengebiri hak masyarakat tiga kecamatan di Kutai Kartanegara yakni Loa Kulu, Sanga-Sanga, dan Samboja, Muara Jawa. Ketiga kecamatan tersebut akan masuk IKN Nusantara. Selain itu sebagian masyarakat yang tinggal di Penajam Paser Utara. Jika UU IKN telah diberlakukan pada 2024 nanti, mereka tidak bisa memberikan hak suara.
“Konstituen hilang semua. Jadi, anggota DPRD dari dapil tersebut bakal kelimpungan,” jelasnya.
Pendapat Wakil Ketua DPRD Kaltim, Muhammad Samsun, juga seragam. Berdasarkan catatannya, pada pemilihan legislatif 2018, sedikitnya ada 72 ribu suara di Samboja. Kehilangan suara, kata Samsun, tentu amat merugikan kader partai. “Mereka berpikirnya sudah bekerja dari nol, menjadi pengurus partai tertentu, mendekati masyarakat, eh, tiba-tiba dapilnya hilang,” ucap politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Meski demikian, Samsun meyakini hal tersebut belum mencemaskan untuk saat ini. Mengingat, peraturan turunan mengenai IKN Nusantara belum dirumuskan secara pasti. Hanya saja, dia mengingatkan bahwa hak politik masyarakat harus dilindungi. Dasarnya, DPRD berfungsi sebagai wadah perwakilan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi.
“Saya tentu akan berhitung sebelum mengambil keputusan. Kalau belum jelas, tidak perlu dikhawatirkan. Setelah tahu aturan mainnya, baru berpikir. Sementara belum ada aturannya, yo, wes, slow,” ujarnya.
Berdasarkan lampiran UU IKN Nusantara, terdapat enam wilayah administratif setingkat kecamatan yang akan masuk di ibu kota baru. Dua di antaranya dari PPU yakni Penajam dan Sepaku. Kemudian dari Kukar yakni Samboja, Loa Janan, Loa Kulu, dan Muara Jawa.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2019, total ada 56.749 ribu DPT di Penajam dan 26.886 ribu DPT di Sepaku (PPU Dalam Angka, 2021, hlm 80). Akan tetapi, dari total 15 desa/kelurahan di Penajam, hanya satu desa atau kelurahan yang bakal masuk di IKN dengan DPT sekitar 3,7 ribu suara.
Sedangkan empat kecamatan di Kukar tersebut, pada 2020, terdapat 150.859 suara yang terdata sebagai pemilih tetap (Kukar Dalam Angka, 2021, hlm, 68). Detailnya, 40.000 suara dari 21 desa di Samboja, 10.000 suara dari lima desa di Loa Janan, 4.700 suara dari dua desa di Loa Kulu, dan 21.000 suara di Muara Jawa. Jika DPT dari PPU dan Kukar dikalkulasikan, maka, politikus akan kehilangan sekitar 105.000 suara. Suara-suara tersebut masuk ke pemilu di ibu kota baru.
Pengamat hukum Castro menanggapi pendapat Samsun yang menyatakan bahwa kehilangan suara akibat IKN belum perlu dicemaskan. Menurut Castro, hal tersebut sesungguhnya langkah pasrah. Pemberian kewenangan bagi presiden untuk menggodok aturan turunan mengenai pengelolaan IKN Nusantara, sama saja dengan memberi kuasa tanpa check and balances kepada pemerintah. Tidak akan ada yang mengawasi jika peraturan diberi secara asal-asalan.
“Makanya, dari awal kami minta segala sesuatu yang bersifat urgent diatur dalam UU,” ucapnya.
Anggota Komisi II DPR RI, Aus Hidayat Nur, mengamini pendapat Castro tersebut. Baginya, kehilangan DPT adalah konsekuensi politik dari tergesa-gesanya pembahasan UU IKN. Hal ini diyakini tidak terjadi jika DPR RI membahas UU secara komprehensif. Daerah pun harus satu suara mencari solusi ini dengan presiden.
“Kalau presiden mengambil keputusan sendiri namun tidak sesuai, nanti presidennya disebut otoriter. Otorita jangan jadi otoriter. Ini terkait hilangnya hak masyarakat di sekitar situ,” kritik politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Sementara itu, pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama menilai, pembatasan hak politik seseorang untuk dipilih dan memilih, adalah pelanggaran konstitusi. Ia menyarankan, sebaiknya pemerintah memperjelas terlebih dahulu mengenai kedudukan Badan Otorita Nusantara.
“Perjelas dulu konsep pembangunannya, baru berbicara apa yang ada di dalamnya. Jika konsepnya saja bermasalah, apalagi isi rumahnya, bakal menambah persoalan saja,” ingatnya. (kk)