SAMARINDA – Tiga perusahaan tambang batu bara raksasa, dua di antaranya beroperasi di Kaltim, telah mengajukan perpanjangan kontrak kepada pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang 3/2020 tentang Mineral dan Batu Bara, konsesi yang semestinya berakhir itu mendapat jaminan perpanjangan. Aturan ini disebut semakin menyingkirkan rakyat Kaltim baik dari sisi lingkungan maupun ekonomi.
Pada Kamis, 27 Agustus 2020, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah membenarkan bahwa tiga perusahaan sudah menyorong permohonan perpanjangan kontrak. Ketiganya adalah PT Arutmin Indonesia di Kalsel serta PT Kaltim Prima Coal dan PT Multi Harapan Utama di Kaltim. Ketiga perusahaan tersebut adalah pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) generasi pertama.
Kontrak karya KPC berakhir pada 31 Desember 2021. Perusahaan ini memegang konsesi seluas 84.938 hektare di Kutai Timur. Perpanjangan kontrak dimohonkan melalui Surat Presiden Direktur KPC No.L-188/BOD-MD.1.7.5/III/2020 pada 30 Maret 2020. Adapun PT MHU, memegang kontrak karya yang berakhir pada 1 April 2022. Perusahaan ini memiliki luas konsesi 39.972 hektare di Kutai Kartanegara. Perusahaan mengajukan perpanjangan melalui Surat Presiden Direktur PT MHU No.262/OL/MHU-BOD/VI/2020 pada 29 Juni 2020.
Berdasarkan UU 3/2020 yang menggantikan UU 4/2009 tentang Minerba, pemegang PKP2B mendapat jaminan perpanjangan menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Pasal 169 A huruf a menyebutkan bahwa kontrak atau perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK selama 10 tahun. Perpanjangan tersebut dengan mempertimbangkan penerimaan negara. Pada pasal 169 A huruf b, kontrak atau perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK paling lama 10 tahun.
RAKYAT KALTIM DIRUGIKAN
Aturan ini berbeda 180 derajat dibanding UU 4/2009 yang diberlakukan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, menggambarkan perbedaan kedua beleid tersebut. Dalam aturan yang lama, kontrak karya yang berakhir akan dikembalikan kepada negara. Selanjutnya, negara dalam hal ini pemerintah dan DPR RI membahas peruntukan wilayah tersebut.
Yang pertama dibahas adalah pilihan menjadikan bekas kawasan pertambangan sebagai wilayah pencadangan negara. Wilayah pencadangan ini, sebagaimana diatur UU Minerba yang lama, dapat berupa kawasan pertanian, hutan lindung, atau konservasi untuk sebagian, sementara sebagian lagi boleh ditambang dengan izin maksimal 15 ribu hektare.
“Ketika pembahasan memutuskan tidak dijadikan wilayah pencadangan negara, kontrak karya tersebut akan ditawarkan kepada BUMN semisal Bukit Asam,” jelas Rupang. Andaikata kementerian BUMN tidak berminat, barulah kontrak tersebut dilelang dalam bentuk IUPK dengan luas konsesi maksimal 15 ribu hektare. Dalam lelang ini, daerah bisa terlibat dengan mengikutsertakan BUMD.
“Dengan berlakunya UU 3/2020 yang dibahas diam-diam pada masa pandemi ini, seluruh tahapan pengakhiran kontrak karya dalam UU 4/2009 dipangkas habis. Perusahaan justru diberikan hak istimewa lewat jaminan perpanjangan kontrak,” kata Rupang.
Jaminan perpanjangan ini disebut sangat merugikan rakyat Kaltim. Jatam menyebutkannya satu per satu. Pertama, warga di sekitar operasi tambang tidak memiliki ruang untuk berpendapat, menerima atau menolak perpanjangan kontrak. Kedua, tidak ada kesempatan bagi lahan bekas tambang memulihkan dirinya dengan dijadikan hutan lindung atau konservasi. Yang ketiga, warga kehilangan kesempatan mengelola lahan pertanian jika kawasan tersebut dijadikan wilayah pencadangan negara. Kerugian keempat, lenyapnya kesempatan perusahaan milik pemerintah daerah mengelola kawasan pertambangan tersebut. Sementara kerugian kelima adalah dikebirinya kewenangan daerah dalam urusan pertambangan minerba.
“Yang ada, operasi pertambangan di Kaltim tetap dikuasai oligarki,” sambungnya.
AJUKAN UJI MATERI KE MK
Jatam mengingatkan bahwa jaminan perpanjangan juga menepikan evaluasi operasi perusahaan. Harus diingat, kata Rupang, sepuluh dari 37 korban jiwa disebabkan lubang bekas tambang di wilayah PKP2B di Kaltim. Sebagai informasi, ada 30 pemegang PKP2B di Kaltim dengan total konsesi 1.006.139,63 hektare. Hanya satu perusahaan yang saat ini telah berakhir kontraknya dan tidak diperpanjang.
Jaminan perpanjangan kontrak disebut hanya satu dari sekian pasal UU 3/2020 yang dianggap bermasalah. Beberapa di antaranya seperti penguasaan lahan lebih lama untuk keperluan eksplorasi, peluang kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang, serta tidak adanya hak masyarakat yang terdampak aktivitas pertambangan.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil, sebut Rupang, telah bersiap membawa UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi. Jatam mengingatkan, negara tidak boleh terburu-buru menyetujui perpanjangan izin PKP2B tersebut.
“Uji materi ini adalah satu-satunya harapan rakyat untuk mendapatkan keadilan sosial, lingkungan, dan ekonomi dari operasi pertambangan,” tutupnya. (kk/red)