spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Perlu Dialog Multipihak, Solusi Polemik SMA 10 Samarinda

SAMARINDA – Ratusan siswa SMA 10 Samarinda dan orang tuanya berunjuk rasa di kantor DPRD Kaltim, Senin, 3 Januari 2021. Mereka, yang tergabung dalam sebuah kelompok bernama Borneo Berjaya, menyampaikan aspirasi menolak instruksi Gubernur Kaltim Isran Noor tentang pemindahan SMA 10. Aksi seperti ini bukan kali pertama. Pada tahun lalu, mereka pernah melakukan unjuk rasa dengan tuntutan yang sama.

Salah satu demonstran adalah Kevin Wardhana, 17 tahun, siswa kelas XI IPA di SMA tersebut. Saat berunjuk rasa, ia bersama teman-temannya meminta DPRD Kaltim menghadirkan pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim. Mereka ingin menanyakan mengenai keputusan Pemprov Kaltim yang memindahkan SMA 10 dari Jalan HAMM Rifaddin di Samarinda Seberang ke education center di Jalan PM Noor, Samarinda Utara.

Salah seorang orangtua siswa SMA 10, Suswanto, menyebutkan, ada tiga poin yang menjadi tuntutan. Pertama, meminta Gubernur Isran membatalkan pemindahan SMA 10. Kedua, meminta DPRD Kaltim memfasilitasi dialog dengan Gubernur Isran. Poin yang terakhir, meminta Disdikbud Kaltim memerintahkan Yayasan Melati keluar dari ranah Pemprov Kaltim dan tidak lagi mengelola aset pemerintah.

Suswanto juga menyinggung masalah sarana dan prasarana education center. Menurutnya, perlengkapan sekolah di sana belum memadai. Lokasinya juga jauh dari rumah siswa yang bermukim di dua kelurahan, Loa Janan Ilir dan Palaran. Pemindahan SMA 10 juga disebut bakal membuat kelangkaan SMA di Samarinda Sebrang. Di kecamatan tersebut, hanya ada dua SMA yakni SMA 4 dan SMA 17. SMA 10 merupakan sekolah sentra di zona tersebut.

“Kami mau bertemu langsung (dengan Disdik). Besok, kami juga mau (berdemonstrasi) ke kantor Gubernur,” katanya kepada kaltimkece.id.

Sementara Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Rusman Yaqub, membenarkan, Samarinda Sebrang masih kekurangan sekolah. Berdasarkan data yang dikumpulkannya, daya tampung peserta didik SMA di kecamatan tersebut berkisar 1.500 orang. Sementara lulusan SMP-nya, mencapai 2.500-3.000 orang per tahun. Jika SMA 10 dipindah, akan ada kekurangan kuota bangku sekolah.

Rusman juga menyinggung perihal kesiapan fasilitas di education center. Jangan sampai, pesannya, aktivitas belajar terganggu karena persoalan fasilitas. Ia menyatakan akan memfasilitasi para orang tua siswa bertemu Gubernur Isran. DPRD Kaltim juga dipastikan memanggil Disdikbud untuk audiensi pada Selasa, 4 Januari 2022. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan, SMA 10 dan Yayasan Melati bisa rukun lagi karena keduanya pernah berkerja sama.

“Awalnya, ‘kan bisa. Kenapa sekarang jadi tidak bisa?” terang politikus Partai Persatuan Pembangunan ini.

Ketua Yayasan Melati Kaltim, Murjani, enggan berkomentar banyak menanggapi keputusan Gubernur Isran soal pemindahan SMA 10. Baginya, pemerintah sudah mempunyai pertimbangan dan alasan yang kuat terhadap keputusan tersebut.

Sementara itu, Kepala Disdikbud Kaltim, Anwar Sanusi, tidak mau mengomentari soal tuntutan unjuk rasa ini. Ia mengaku, sudah berkali-kali mengajak para orang tua siswa bertemu Pemprov Kaltim. “Dari dulu sudah dibilangi, sudah berkali-kali saya ajak ketemu Gubernur, (tapi) tidak mau. Alasannya, nanti paling ditolak,” terangnya via telepon.

Ia menambahkan, saat ini, mayoritas tenaga pengajar SMA 10 sudah melakukan aktivitas belajar-mengajar di Samarinda Utara. “Itu sekolahnya (education center) sudah bagus, lho,” sambungnya.

Pengamat Pendidikan dari Universitas Mulawarman, Prof Soesilo, memberikan analisis mengenai masalah SMA 10. Menurutnya, permasalahan tersebut tidak bisa dilihat dari aspek hukum dan argumen hak pengelolaan saja, tapi juga harus melihat dampak dari pertikaian tersebut. Masalah yang tak kunjung selesai disebut mengganggu kondisi mental dan psikologis  siswa, baik SMA 10 maupun Yayasan Melati.

Mengingat, sambungnya, kegiatan belajar para siswa berpotensi terhambat. Efek selanjutnya, prestasi akademik siswa bisa menurun secara signifikan. Masalah ini juga dapat menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kedua sekolah tersebut menurun. “Sebagai institusi, sekolah perlu memberikan jaminan terhadap kenyamanan belajar bagi siswa,” jelas guru besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ini.

Prof Susilo menyarankan, dialog multipihak tatap muka yang intens perlu dilaksanakan untuk mencari solusi atas persoalan ini. Melalui dialog, masing-masing pihak dapat menyatakan pendapatnya. Meskipun perdebatan pasti muncul saat dialog, menurutnya, tidak masalah karena itu proses mencari solusi.

“Kalau komunikasi tatap muka bisa dibangun dengan intens, Insyaallah, persoalan ini bisa terselesaikan,” tandasnya. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti