SAMARINDA – Sepanjang tahun ini, Badan Narkotika Nasional menciduk puluhan penyalahguna narkotika di Kaltim. Pekerja tambang disebut yang terbanyak mengonsumsi obat-obatan terlarang itu. Alasannya beragam. Satu di antaranya karena narkoba memberikan gairah menjalani aktivitas. Alasan yang tidak dibantah pengamat kesehatan.
Pada Kamis (29/12/2021), Kepala BNN Provinsi Kaltim, Brigadir Jenderal Polisi Wisnu Andayana, membeberkan pengungkapan kasus narkoba. Sepanjang 2021 ini, BNN disebut telah menetapkan 54 orang sebagai tersangka penyalahguna narkotika di Kaltim. Para tersangka berasal dari sejumlah daerah seperti Samarinda 12 tersangka, Balikpapan enam tersangka, Bontang tujuh tersangka, dan sisanya dari daerah yang lain.
Berdasarkan analisa Tim Asesmen Terpadu (TAT) BNNP Kaltim, ke-54 tersangka memiliki peran bermacam-macam. Sebanyak tujuh tersangka disebut sebagai pengonsumsi, 17 tersangka sebagai kurir, empat tersangka sebagai perantara, dan 19 tersangka sebagai bandar narkotika.
Di sisi lain, Brigjen Pol Wisnu Andayana menyebut, angka permintaan narkoba masih tinggi di Kaltim. Ia menduga, hal ini terjadi karena sebagian besar kondisi ekonomi masyarakat Kaltim ditopang dari sektor pertambangan. Sebanyak 35 persen dari total tersangka narkotika yang ditahan BNNP pada tahun ini disebut pekerja swasta.
“Ada mitos yang tersebar. Konon katanya, kalau menggunakan sabu-sabu, pekerja lebih semangat dan kuat (bekerja). Ini risiko kalau daerah banyak tambang,” sebut jenderal bintang satu itu, seperti diberitakan kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com.
BNNP Kaltim mengungkapkan, biasanya, para pekerja tambang membeli narkoba di kota besar. Kemudian, mengonsumsinya saat hendak bekerja di lokasi tambang. Kondisi serupa juga ditemukan di sektor industri sawit. Beberapa bandar yang ditangkap BNNP mengaku, menjual narkotika ke pekerja sawit dan tambang.
“Kami mengimbau, semua perusahaan tambang bisa berkolaborasi untuk mencegah narkoba,” ujarnya.
Alasan menggunakan sabu-sabu agar kuat dan semangat bekerja disebut hanya strategi penjualan dari bandar narkotika. Hal tersebut disampaikan Kepala Bidang Pemberantasan BNNP Kaltim, Komisaris Besar Polisi Djoko Pornomo. Dasarnya, beberapa pekerja tambang yang ditangkap BNNP Kaltim mengaku, membeli narkoba agar tahan bekerja.
“Awalnya ditawarin sama bandar, ‘nih, coba dulu’. Lama-lama dosisnya meningkat dan menyebabkan kecanduan. Padahal, gaji mereka tidak terlalu banyak,” ungkapnya.
BNNP Kaltim memetakan, sedikitnya ada tujuh jaringan pengedar narkoba di Bumi Etam. Lembaga permasyarakatan disebut sebagai jaringan yang berhasil diidentifikasi. Jaringan tersebut muncul karena lapas adalah tempat bertemunya para pelaku peredaran narkotika. Mengatasi masalah tersebut, Kombes Pol Djoko Pornomo menyebut, lembaganya saat ini sedang menjalin kerja sama dengan Kemenkumham untuk mendeteksi peredaran narkoba dari lapas.
Sedangkan untuk mencegah peredaran narkoba di lingkungat masyarakat, kata Brigjen Pol Wisnu Andayana, pihaknya menjalin kolaborasi dengan banyak pihak seperti kepolisian dan pemerintah. Ia mengakui, BNNP memiliki keterbatasan anggaran dan personel dalam upaya pemberantasan narkotika. Mengenai upaya pencegahan dan mengurangi permintaan narkoba, BNN merehabilitasi sekitar 371 orang di Balai Rehabilitasi, Tanah Merah, Samarinda. Selain itu melaksanakan tes urine kepada 3.000 orang dari instansi pemerintah hingga swasta.
“Mitos pengunaan narkotika untuk meningkatkan produktivitas kerja, mitos itu pelan-pelan membunuh pegawai itu sendiri,” jelasnya.
Sekretaris Ikatan Dokter Indonesia Kaltim, dr Swandari Paramita, memberikan penjelasan medis mengenai mitos pekerja bisa kuat bekerja jika mengonsumsi narkotika jenis sabu-sabu. Butiran kristal bening itu disebut mengandung zat aktif atau metamfetamin. Zat ini, kata dr Swandari, memiliki efek stimulan ke syaraf otak yang membut penggunanya merasa bersemangat dan aktif sepanjang waktu.
“Penggunanya bahkan bisa tidak makan dan tidak tidur,” ungkapnya. Meskipun demikian, mengonsumsi sabu-sabu bukannya tidak ada efek negatif. Dr Swandari menyebut, setidaknya ada dua dampak utama pemakaian sabu-sabu terhadap syaraf dan tubuh. Risiko pertama adalah serangan jantung karena tubuh dipaksa terus aktif. Ketika tubuh aktif sepanjang waktu, waktu untuk jantung beristirahat semakin sedikit.
Risiko kedua mengunakan sabu-sabu adalah dapat menimbulkan penyakit parkinson. Penyakit ini mempengaruhi otak yang berfungsi mengoordinasikan gerak tubuh. Parkinson menyebabkan degenerasi sel saraf dan hilangnya sel-sel yang memproduksi dopamin, sebuah senyawa kimia di otak yang berperan menyampaikan rangsangan ke seluruh tubuh. Dampaknya adalah fungsi sistem gerak atau motorik manusia perlahan rusak seperti getaran tangan yang tidak terkontrol hingga kehilangan kemampuan berbicara.
“Jika sabu-sabu terus-menerus dikonsumsi dalam jangka panjang, pengunanya dapat terkena penyakit ini,” tutup dr Swandari. (kk)