SAMARINDA – Proses seleksi lembaga-lembaga negara yang bersifat independen, seharusnya tidak boleh semi politik atau masuk ke “kamar” lembaga politik. Proses seleksi harus terbuka agar tak menjadi pertanyaan publik, yang justru merugikan bagi peserta yang tidak lolos.
Hal itu disampaikan Herdiansyah Hamzah, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) menanggapi polemik seleksi KPID Kaltim. “Kalau prosesnya tidak terbuka, ya ribut. Tapi yang jadi korban justru peserta yang lolos, dipertanyakan legitimasi dan kredibilitasnya,” terang pria yang kerap disapa Castro tersebut.
Proses seleksi kata Castro, harusnya dilakukan tim seleksi (timsel) saja. Namun komposisi dari timsel juga harus tetap. Standar, proses penentuan, dan komposisi seleksinya pun harus terverifikasi.
“Kalau masuk ke kamar politik, tersandera jadinya. Misal belajar dari kasus Wahyu Setiawan. Tawar menawarnya kencang. Makanya saya wacanakan ke depan proses seleksi jangan masuk lembaga politik,” ungkapnya.
Seperti diketahui, Wahyu Setiawan mantan komisioner KPU yang terjerat kasus korupsi. Ia dieksekusi oleh KPK karena kasus suap PAW (Pergantian Antar Waktu) Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Harun Masiku tahun 2020.
Karena perbuatannya Wahyu divonis 7 tahun penjara dan berkewajiban membayar denda sebesar 200 juta serta pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun.
Lebih Lanjut Herdiansyah menyatakan, publik saat ini harus menerima keputusan yang menjadi hak preogratif DPRD dalam memberikan penilaian dan menetapkan komisioner KPID Kaltim, meski ada risiko “dimainkan”.
“Bagaimanapun hasilnya, tetap harus kita terima. Tapi mesti kita kritik terbuka sebagai evaluasi, untuk perbaikan ke depan. Ini sifatnya ius constituendum, aturan yang kita harapkan ke depan. Untuk sekarang, yang berlaku aturan sekarang (ius constitutum). Kita hanya bisa meminimalisasi kelemahannya,” pungkasnya. (eky)