Keringat yang mengucur di kening Maji, 43 tahun, disapu dengan kaus hitam yang dikenakannya. Sudah sedari pagi, mulutnya bak sepur yang tak berhenti mengisap tembakau. Tanda-tanda SPBU di Jalan Kadrie Oening, Air Hitam, Samarinda Ulu, membuka pengisian solar belum terlihat. Matahari sudah di atas kepala dan Maji pun kembali menunggu di dalam kabin truknya.
“Dari jam sembilan pagi saya sudah mengantre. Katanya, (pukul) setengah tiga sore baru bisa isi solar,” terang lelaki berlogat Sulawesi Selatan ini ketika ditemui kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Rabu, 1 Desember 2021. “Padahal, saya hanya mau beli solar Rp 350 ribu.”
Maji bersama 20-an sopir truk akhirnya parkir seharian di jalur protokol yang ramai itu. Barisan truk di jalur tersebut mengambil setengah badan jalan sepanjang lebih dari 200 meter. Arus lalu lintas pun terganggu karena SPBU berdiri di dekat perempatan Air Hitam yang ramai.
Pemandangan seperti ini dapat ditemui nyaris di seluruh Kaltim. Di Jalur Balikpapan-Samarinda, antrean solar mengular seperti di SPBU Kilometer 19 Loa Janan, Kilometer 38 Samboja, serta Kilometer 9 dan 15 di Balikpapan Utara. Di jalur Samarinda-Bontang juga persis seperti di SPBU Tanah Merah dan SPBU pertigaan Muara Badak. Hampir semua bahu jalan di dekat SPBU tersebut turun karena terinjak truk berbulan-bulan.
Kondisi ini dibenarkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional (BBPJN) Kaltim-Kaltara, Teuku Surya Darma. Dari wilayah yang dikelola BBPJN saja, antrean truk di dua SPBU disebut merusak jalan berstatus nasional.
“Contohnya, SPBU di Tanah Merah dan di pertigaan Muara Badak,” jelasnya. Teuku menambahkan, kebanyakan bahu jalan rusak karena dijadikan parkir truk. Antrean juga sempat mengganggu perbaikan drainase.
“Waktu pengerjaan pun molor. Pekerjaan perbaikan jalan sekitar 2 kilometer terhambat. Itu 1 kilometer ke kanan, dan 1 kilometer ke kiri SPBU,” tegasnya.
Di samping itu, BBPJN mengaku, telah memperbaiki lubang jalan sekitar SPBU. Kendati demikian, antrean truk kembali menyebabkan jalan berlubang. Ia khawatir, jika bahu jalan di dekat SPBU diperbaiki, akan rusak juga dalam waktu yang tak lama.
“Termasuk membenahi saluran drainase juga terkendala. Kami sudah menginformasikan masalah ini ke kepolisian setempat,” katanya. kaltimkece.id, jejaring mediakaltim.com mengonfirmasi Unit Manager Communication dan CSR, Pertamina Marketing Operation Regional (MOR) Kalimantan, Susanto August Satria, ihwal masalah ini.
Pertanyaan pentingnya, jika banyak SPBU tidak bisa melayani solar bersubsidi setiap waktu, bagaimana dengan terobosan seperti memberlakukan antrean online? Bukankah zaman sudah digital, teknologinya tak rumit, dan antrean daring telah diterapkan di berbagai fasilitas layanan publik? Berbelanja secara daring pun bukanlah metode yang asing sekarang ini.
Wacana antrean solar bersubsidi secara daring memang pernah mencuat untuk mengatasi keluhan banyak pihak. Sejumlah sopir yang ditemui juga mengaku, cara tersebut dapat meningkatkan produktivitas mereka. Jika sopir yang sudah mengantre online cukup datang ke SPBU pada jam yang ditentukan, mereka bisa memanfaatkan waktu sekitar 10 jam yang selama ini terbuang hanya demi mengantre secara konvensional. Sayangnya, Pertamina belum atau tidak menerapkan sistem tersebut.
“Antrean memang tidak dilakukan secara online,” terang Susanto. Ia menjelaskan, solusi yang Pertamina ambil, satu di antaranya, adalah sistem fuel card atau kartu bahan bakar. Pertamina telah berkoordinasi dengan pemerintah untuk menerapkan sistem tersebut.
Teknisnya, kendaraan yang terverifikasi akan mendapatkan fuel card ketika membeli solar bersubsidi atau disebut jenis bahan bakar tertentu (JBT). Fuel card digunakan sopir untuk membayar solar di SPBU yang terkoneksi dengan mesin bernama electronic data capture (EDC) melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI).
“Fuel card ini diharapkan mengurangi antrean solar di SPBU karena BBM JBT akan tepat sasaran,” jelasnya. Susanto menambahkan, “Kendaraan yang dipakai industri sawit atau batu bara tidak dapat membeli solar JBT karena tidak memegang fuel card.”
Fuel card sebenarnya seperti kartu debit yang dibatasi nominalnya sesuai spesifikasi kendaraan. Contohnya, truk roda enam maksimal 200 liter dan hanya boleh membeli sekali setiap hari. Pemegang kartunya sudah diverifikasi dengan dukungan pemerintahan daerah. Sistem ini diklaim akan membuat penyaluran solar JBT tepat sasaran. “Penerapannya memang masih dalam proses review dan evaluasi,” terangnya.
Susanto menambahkan, Pertamina memang berkewajiban menyalurkan solar JBT sesuai kuota yang ditetapkan BPH Migas ke lembaga penyalur resmi yakni SPBU. Di Kaltim, Pertamina telah menyalurkan 177.152 kiloliter solar JBT. Jumlah itu telah melebihi kuota bulan berjalan year to date (YTD) pada Oktober 2021 sebesar 176.227 kiloliter. “Jadi, penyalurannya sudah lebih 1 persen dari kuota,” tutupnya. (kk)