TANJUNG REDEB – Pengawahutanan atau deforestrasi di Kabupaten Berau disebut terlampau parah. Penggundulan hutan telah meningkatkan suhu maksimum rata-rata kabupaten hingga kematian dini. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara ditengarai adalah sebab utamanya.
Demikian hasil penelitian yang dilansir The Lancet Planetary Health pada Kamis, 11 November 2021. Berdasarkan salinan yang diterima media ini, sepuluh peneliti terlibat. Penulis pertama adalah Nicholas H Wolff dari The Nature Conservancy atas sponsor University of Washington Population Health Initiative. Hasil penelitian diterbitkan dalam jurnal berjudul The Effect of Deforestation and Climate Change on all-cause Mortality and Unsafe Work Conditions due to Heat Exposure in Berau, Indonesia: A Modeling Study.
Ike Anggraeni adalah dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Mulawarman, Samarinda, yang terlibat dalam penelitian tersebut. Kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Ike mengatakan, sepuluh peneliti mendalami bidang berbeda-beda. Subjek penelitian mulai lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja, sampai perubahan suhu. Subjek penelitian Ike adalah kesehatan masyarakat.
“Lebih tepatnya, meneliti penyakit dan kematian akibat deforestrasi,” jelas Ike, Rabu, 17 November 2021.
Laporan menunjukkan bahwa sepanjang 2002 hingga 2018, sebanyak 4.375 kilometer persegi hutan telah hilang. Jumlah itu setara 17 persen luas wilayah kabupaten atau setara enam kali lipat luas Kota Samarinda. Para peneliti juga menggunakan data satelit model iklim dan populasi untuk mendapatkan citra pemanasan suhu di Berau. Sepanjang 16 tahun, suhu rata-rata kabupaten naik 0,95 derajat Celcius.
“Dari situ terlihat, perubahan lahan menyebabkan suhu maksimum rata-rata harian meningkat. Kita tahu, peningkatan suhu itu disebabkan perubahan lingkungan,” jelas Ike. Dalam ilmu kesehatan, sambungnya, paparan sinar matahari yang berlebih akan berimbas kepada kesehatan.
Ike menjelaskan, peningkatan suhu menyebabkan peningkatan waktu kerja yang tidak aman sebesar 0,31 jam per hari di daerah yang terdeforestasi. Angka itu lebih besar dibandingkan waktu kerja di daerah tutupan lahan yang sebesar 0,03 jam per hari. Kondisi ini berdampak kepada produktivitas pekerja yang terpapar sinar matahari secara langsung.
Penelitian memakai data kesehatan masyarakat untuk mendapatkan kemungkinan kematian akibat peningkatan suhu di Berau. Dalam kurun 16 tahun, peningkatan suhu meningkatkan angka kematian sebesar 7,3 persen hingga 8,5 persen. Persentase itu didapatkan dari keseluruhan jumlah kematian.
“Ini harus menjadi perhatian serius. Peningkatan deforestrasi selaras dengan jumlah kematian. Itu yang terjadi,” jelas Ike.
Alurnya seperti ini. Peningkatan suhu menyebabkan sinar matahari berlebih yang disebut dengan eksposur atau paparan. Sinar matahari berlebih membuat pekerja atau masyarakat rentan terpapar matahari secara langsung. Contoh sederhananya, seseorang bisa pingsan ketika mengikuti upacara di bawah terik surya. Orang juga lebih berkeringat ketika terpapar sinar matahari yang memicu beberapa penyakit. Mulai gatal-gatal di kulit serupa alergi, kardio, hingga penyakit jantung.
Deforestrasi di Berau juga berpengaruh kepada penyakit yang disebabkan sumber makanan dan air. Ketika kepala sawit dan pertambangan batu bara hadir, kualitas air menurun dibandingkan ketika sumber air masih di hutan alami. Padahal, jelas Ike, masih banyak masyarakat di Berau yang menggantungkan hidup dari hutan.
Jika diklasifikasikan berdasarkan pekerjaan, Ike berpendapat, petani dan peladang di Berau berpotensi terpapar sinar matahari lebih. Ia mengatakan, pohon-pohon di hutan yang harusnya dapat menjadi pendingin alami hilang akibat deforestrasi. Kondisi ini berpotensi memengaruhi kesehatan mental masyarakat walaupun perlu penelitian lanjutan untuk memastikannya. Berau, sambung Ike, bukanlah daerah seperti perkotaan. Bumi Batiwakkal cenderung wilayah pedesaan yang menggantungkan hutan secara turun-temurun.
Ike menambahkan, penelitian ini menyampaikan pesan kepada pemerintah untuk menghentikan deforestrasi. Peningkatan angka kematian yang tujuh persen karena peningkatan suhu tidak boleh dilihat sebagai angka.
“Itu nyawa manusia. Satu orang pun, kalau nyawa, itu bernilai. Dan sebetulnya bisa dicegah,” saran Ike.
Tanggapan Pemkab Berau
kaltimkece.id menemui Wakil Bupati Berau, Gamalis, yang sedang di Samarinda. Diwawancarai di sebuah kedai kopi pada Rabu, 17 November 2021, Wabup mengakui bahwa deforestrasi di Berau disebabkan izin usaha pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Izin-izin tersebut dikeluarkan pemerintah pusat tanpa berkoordinasi dengan kabupaten. Dampak sosial dan lingkungan akhirnya diterima Berau.
“Mereka (pusat) keluarkan-keluarkan saja izin sana, izin sini. Buka sana, buka sini. Kami akhirnya di Berau hanya dapat dampak lingkungan dan terakhir dampak sosial,” jelas Gamalis yang mengenakan kemeja batik.
“Bisa dibayangkan, kantor bupati itu sebagian lahannya masuk konsesi perusahaan tambang batu bara. Jadi, bisa ditambang sewaktu-waktu karena PKB2B (perjanjian karya pengusahaan tambang batu bara),” imbuhnya. Ia meminta pemerintah pusat mengevaluasi izin-izin di Berau.
Di samping itu, sambung Wabup, Berau tengah menghadapi masalah tambahan yakni maraknya tambang ilegal. Bahkan, satu daerah konservasi di Berau sudah menjadi korban aktivitas ilegal tersebut. Meskipun tak memiliki kewenangan, bukan berarti pemkab membiarkan maraknya tambang ilegal. Gamalis mengatakan, Berau akan mengambil langkah yang sama dengan Balikpapan.
Pendamping Bupati Sri Juniarsih Mas ini mengaku, prihatin terhadap kondisi Berau berdasarkan hasil penelitian tadi. Ia mengapresiasi penelitian itu agar menjadi perhatian pemerintah kabupaten, provinsi, juga pusat, ketika mengeluarkan izin. Gamalis segera berkoordinasi dengan pemerintah pusat ihwal deforestrasi dan maraknya tambang ilegal di Bumi Batiwakkal. Masalah ini harus diperhatikan secara serius oleh pemerintah. Terlebih, kata Wabup, Berau sudah ditetapkan sebagai paru-paru dunia. (kk)