spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dibangun Rusia 59 Tahun Lalu, Jalan Balikpapan-Samarinda Sempat Terbengkalai

Sastro sama sekali tak mampu bersuara begitu Panglima Komando Daerah Militer VI Mulawarman, Brigadir Jenderal Suhario Padmodiwirio, mengenalkan seseorang kepadanya. Sosok di hadapan kepala Kampung Karang Joang itu adalah lelaki tegap dengan rahang kokoh dan barisan gigi yang rapi. Yang bikin Sastro terkesima, orang yang diperkenalkan kepadanya adalah jenderal dengan bintang empat di pundak.

“Beliau adalah Jenderal (Abdul Haris) Nasution, kepala Staf Angkatan Darat,” kira-kira demikian ucapan Brigjen Suhario kepada Sastro pada suatu pagi yang cerah di tahun 1961. Sastro masih kaget lagi bingung. Ia tidak pernah dikabari bahwa dua petinggi angkatan darat akan datang ke kampung paling utara Balikpapan tersebut. Jangankan sambutan meriah, minuman pun tidak sempat Sastro siapkan.

“Pak Jenderal mau ngunjuk (minum) apa? Air kelapa tidak ada karena kelapa yang kami bawa dari Jawa baru saja ditanam. Tetapi kami dapat ngaturi unjukan (menyiapkan minuman) legen asli dari pohon aren rimba yang manis dan kebetulan baru diambil,” ucap Sastro yang masih diliputi rasa terkesima seperti ditulis Hario Kecik, nama pena Brigjen Suhario, dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009, hlm 184). Jenderal Nasution  dengan gembira menjawab, “Ya, legen aren saya suka, Pak Sastro. Itu sudah cukup.”

Pangdam Suhario tersenyum puas melihat adegan tersebut. Dari sikap Sastro, pikirnya, Jenderal Nasution mestinya tahu bahwa kedatangan ke kampung tersebut benar-benar mendadak. Jenderal Nasution dan Brigjen Suhario pergi tiba-tiba ke Karang Joang menggunakan helikopter buatan Rusia untuk dua perkara. Pertama, mereka ingin mengetahui kondisi 500 keluarga transmigran dari Pulau Jawa di kampung yang berjarak 18 kilometer dari Balikpapan itu. Perkara kedua, Pangdam Suhario ingin melihat sekaligus melaporkan pembangunan jalan Balikpapan-Samarinda yang baru dimulai. Kilometer 18 di Kampung Karang Joang adalah tempat mengistirahatkan alat-alat berat seperti buldoser dan traktor untuk pembangunan jalan.

Struktur yang tengah dibangun ini membentang di antara dua kota besar di Kaltim. Insinyur dan ahli konstruksi dari Uni Soviet, negara adidaya sosialis yang kini bernama Rusia, terlibat dalam pembangunannya. Pada waktu itu, Pemerintah Indonesia dan Uni Soviet memang membuat perjanjian kerja sama antara kedua negara. Selain jalan Balikpapan-Samarinda, bentuk kerja sama berupa pembangunan jalan di Kalimantan Tengah yang kini bernama Jalan Tjiik Riwut. Kedua program ini sama-sama dikenal dengan nama Projakal atau Proyek Jalan Kalimantan.

Pada waktu kunjungan mendadak Jenderal Nasution, proyek ini masih tahap awal. Jalur sepanjang 115 kilometer tersebut dibangun dari dua arah. Pertama, dari Samarinda yakni di sekitar Loa Janan yang kini masuk wilayah Kutai Kartanegara. Lokasi pekerjaan kedua dari arah Balikpapan yakni di sekitar Karang Joang, kini sebuah kelurahan di Kecamatan Balikpapan Utara. Di kedua lokasi itu, banyak insinyur muda Rusia yang tinggal sementara waktu.

KISAH DARI TENGAH JALUR BALIKPAPAN-SAMARINDA
Brigjen Suhario banyak terlibat pada masa-masa awal pembangunan jalan Balikpapan-Samarinda. Ia memang menugaskan perwira-perwiranya dari zeni pembangunan untuk membantu proyek ini. Pada 1961 itu pula, Brigjen Suhario mengikuti survei trace jalan bersama ahli pembangunan jalan dari Pekerjaan Umum dan ahli konstruksi Rusia. Mereka harus berjalan kaki sejauh 30 kilometer dari Kilometer 18 Balikpapan ke arah Samarinda.

Tim survei membangun sebuah kamp sederhana di tengah hutan belantara ketika tiba di Kilometer 48. Saking sederhananya, perkemahan itu hanyalah pondok beratap daun setinggi pundak orang dewasa. Seluruh anggota tim harus membawa kelambu pribadi. Agas dan nyamuk di hutan itu amatlah ganas (Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit, 2001, hlm 70).

Jalur Balikpapan-Samarinda sebenarnya pernah dibuka oleh tentara Jepang pada Perang Dunia II (yang berakhir pada 1945). Namun jalur ini jarang digunakan karena masih seadanya. Jalan hanya berupa tanah gundul yang terdiri dari pasir kuarsa. Kondisinya gersang tanpa tetumbuhan. Untuk arus Balikpapan-Samarinda dan sebaliknya, penduduk lebih terbiasa mengambil jalur Handil-Muara Jawa yang masih harus menyeberangi sungai.

Adapun jalur Balikpapan-Samarinda yang sedang dibangun tersebut, syahdan, pernah dipakai tentara Jepang untuk mengamankan harta karun. Ketika kelak perang usai, para serdadu akan mengambilnya. Suhario tidak terlampau peduli dengan harta karun itu di tengah perjalanan kakinya menuju Kilometer 48. Pikirannya lebih dikuasai akan jiwa para romusha, pekerja paksa zaman Jepang, yang dikorbankan dalam berbagai proyek militer (hlm 72).

Menurut catatan dalam buku Asian Labor in the Wartime Japanese Empire (2006), ada 10 ribuan romusha dari Pulau Jawa yang bekerja di kilang-kilang minyak Balikpapan. Ketika kekalahan Jepang dari Sekutu sudah nampak jelas, ribuan romusha melarikan diri. Mereka khawatir ditangkap Sekutu karena dituduh antek-antek Jepang.

Kondisi para romusha amat menyedihkan dalam pelarian. Banyak pekerja yang sakit-sakitan ketika berjalan kaki dari Balikpapan menuju Paser, Samarinda, hingga Tenggarong. Di tengah perjalanan, termasuk di jalur Balikpapan-Samarinda yang dibangun tentara Jepang, tak sedikit yang meninggal. Sebagian kelaparan, yang lain karena gigitan nyamuk malaria.

Jalan yang Tak Sempat Rusia Selesaikan
Proyek pembangunan jalan Balikpapan-Samarinda sudah berjalan empat tahun ketika politik bergolak di Jakarta pada pembuka Oktober 1965. Peristiwa berdarah itu menyeret Partai Komunis Indonesia. Hubungan Moskow-Jakarta pun ikut terpengaruh mengingat Uni Soviet adalah negara adidaya yang menjadi sentral ideologi komunis.

Pembangunan jalan yang merupakan kerja sama dengan Rusia akhirnya macet. Di Palangkaraya, Kalteng, baru 40 kilometer jalan yang terbentang dari rencana 174 kilometer. Sementara itu, tidak ada catatan pasti untuk progres jalur Balikpapan-Samarinda namun diperkirakan jalur ini belum benar-benar tersambung.

Proyek pembangunan jalan Balikpapan-Samarinda baru rampung pada dekade 1970-an. Seperti dicatat dalam Kotapraja (1972), proyek yang sempat ditinggalkan kontraktor Rusia ini akhirnya dilanjutkan. Adapun dananya, bersumber dari kredit pemerintah Jepang sebesar USD 320 ribu (hlm 39). Kredit tersebut setara Rp 200 juta pada 1970-an (kurs saat itu USD 1 sekitar Rp 625).

Jalan Soekarno Hatta, demikian nama jalur Balikpapan-Samarinda, akhirnya punya saudara pada 2019 ketika jalan tol diresmikan. Sepanjang usianya, jalur ini sempat didera sejumlah kerusakan walaupun tidak sampai benar-benar putus seperti pada 14 Agustus 2020. Jumat pagi itu, badan jalan ambles di Kilometer 10, Kelurahan Karang Joang. Sebuah kelurahan yang pernah Jenderal Nasution datangi pada 59 tahun silam. (*/kk/red)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti