KEPALA Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kaltim Made Yoga Sudharma mengatakan, OJK terus mengedukasi masyarakat mengenai risiko dan bahaya pinjol ilegal. OJK bersama tim Satgas Waspada Investasi (SWI) yang terdiri dari 13 kementerian dan lembaga negara, terus melakukan berbagai tindakan, seperti menutup operasional pinjol ilegal.
Dia mengatakan tim Satgas SWI, tahun ini telah menutup 116 entitas pinjol ilegal yang ditemukan dalam patroli siber. “Ingat aplikasi pinjol yang legal hanya mengakses kamera, mikrofon, dan lokasi pada handphone atau gadget pengguna. Untuk memastikan pinjol yang legal bisa menghubungi OJK,” terang Made Yoga.
Sebelumnya, Ketua SWI Tongam L Tobing menyatakan masih terdapat 442 entitas pinjol ilegal di Indonesia. Jumlah ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Pada 2019, terdapat 1.993 pinjol ilegal dan pada 2020, berkurang menjadi 1.026 entitas. “Pada kurun 2018 sampai Juli 2021 kami sudah berantas 3.365 pinjol ilegal,” ujar Tongam, 19 Agustus 2021.
Menurut data OJK Kaltim, hingga 25 Oktober 2021 ada 104 perusahaan financial technology (fintech) yang memiliki izin dan terdaftar di OJK. Namun, OJK Kaltim belum menerima informasi terkait adanya perusahaan fintech yang beralamat atau beroperasi di Kaltim.
Made Yoga menerangkan, sebelum melakukan pinjaman ada beberapa hal yang harus diketahui. Pertama, penyelenggara fintech lending tersebut telah terdaftar dan berizin di OJK. Penerima pinjaman harus memerhatikan syarat dan ketentuan serta pasal- pasal dari perjanjian pinjaman.
“Pengguna juga harus memahami besaran biaya pinjaman (bunga) dan mekanisme transaksi dari awal hingga pembayaran kembali (repayment),” jelasnya.
Jumlah total biaya pinjaman, kata Made Yoga sudah diatur Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Total biaya tidak boleh melebihi suku bunga flat 0,8 persen per hari. Selain itu, ada ketentuan total biaya, biaya keterlambatan, dan seluruh biaya lain maksimum 100 persen dari nilai prinsipal pinjaman.
“Tidak boleh lebih 100 persen. Contohnya, bila pinjam Rp 1 juta, maka maksimum jumlah yang dikembalikan Rp 2 juta,” jelasnya.
KURANG PENGETAHUAN
Rinda Sandayani Karhab, akademisi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT) Samarinda mengatakan, masyarakat mudah tertarik dengan pinjol karena proses yang mudah, persyaratan yang tidak ribet, dan proses pencairan yang cepat. Baik pinjol berizin maupun ilegal menggunakan iming-iming tersebut.
Namun, penyelenggara pinjol resmi menetapkan jangka waktu pelunasan, suku bunga, cara menagih dan persyaratan lain dengan sewajarnya. Sementara pinjol ilegal menerapkan bunga sangat tinggi, mengakses data nasabah, tenor yang tak sesuai perjanjian awal, dan cara menagih yang tak beretika.
Masyarakat kata Rinda, terjerumus layanan pinjol ilegal karena kekurangan pengetahuan. Masyarakat kurang teliti mencari informasi tentang pinjol resmi dan ilegal. Bisa jadi karena kebutuhan dana sudah sangat mendesak sehingga tidak bisa berpikir panjang lagi.
“Kita ketahui kepolisian bisa bergerak jika ada laporan korban dan barang bukti. Sementara tindakan pencegahan agar masyarakat tidak terjerumus menggunakan pinjol ilegal adalah dengan gencar mengedukasi mengenai layanan pinjol,” terang dosen Fakultas Ekonomi Bisnis dan Politik ini.
Dia berpendapat, pinjol ilegal menyasar masyarakat menengah ke bawah yang sering mengalami kesulitan keuangan. Masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, apalagi pada masa pandemi Covid-19. Namun diakuinya tidak banyak masyarakat yang mengalami kesulitan keuangan. (eky)