spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Rektor Sebut Kebablasan, Mahasiswa Anggap Fakta

Sebuah kritik dilontarkan mahasiswa kepada Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin yang berkunjung ke Samarinda. Dalam unggahan di akun Instagram, Badan Eksekutif Mahasiswa-Keluarga Mahasiswa (BEM-KM) Universitas Mulawarman menyebut wapres sebagai “Patung Istana Merdeka.” Kritik tersebut bertajuk Seruan Aksi Kaltim Berduka.

Pada Selasa (2/11/2021), Menteri Sosial Politik BEM KM Unmul, Joji Iswanto, memberikan penjelasan. Ma’ruf Amin sebagai wapres dinilai minim eksekusi dan tanggap terhadap berbagai  persoalan negara. Dari situlah sebutan “Patung Istana Merdeka” berasal.

Di samping itu, sambungnya, kedatangan Wapres di Bumi Etam dinilai hanya untuk mengikuti acara seremonial. Padahal, ada banyak masalah di Kaltim yang perlu perhatian pemerintah pusat. Satu di antaranya, tambang batu bara ilegal yang merajalela. Kewenangan di bidang pertambangan ini ada di Jakarta setelah revisi undang-undang mineral dan batu bara.

Joji juga mengklarifikasi kritik yang dilayangkan BEM KM seolah menyerang figur Ma’ruf Amin sebagai tokoh agama. “Kami mengkritik sehubungan posisi beliau sebagai pejabat publik, bukan tokoh agama,” jelasnya kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com melalui sambungan telepon.

Akademikus Ilmu Pemerintahan dari Unmul, Budiman, memberi pandangan mengenai kritik BEM KM yang justru dianggap kurang beretika oleh masyarakat luas. Pertama, jelasnya, sosok Ma’ruf Amin dikenal sebagai seorang ulama. Wapres secara figur berbeda dengan Presiden Joko Widodo yang berlatar belakang pengusaha dan politikus. Lagi pula, Ma’ruf Amin pernah menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia sehingga memiliki basis massa.

Budiman mengatakan, publik patut membedakan antara kritik yang dilayangkan kepada jabatan politik dengan kritik terhadap figur. “Sebagai pejabat publik, wapres sudah menempuh proses demokrasi. Akan tetapi, basis masih melihat beliau dari sisi ulama, bukan sebagai wapres,” ungkapnya.

Budiman menambahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa secara historis, terdapat beberapa organisasi mahasiswa yang diidentikkan sebagai underbouw partai politik. Ketika pelontar kritik justru menerima kritikan balik, begitulah negara demokrasi semestinya. “Dalam politik, kritik juga bersifat autokritik,” pesannya.

Kembali ke BEM KM Unmul, Joji  menjelaskan, pemilihan diksi “Berduka” dan “Patung Istana Merdeka” merupakan kesepakatan kolektif. Dia menjelaskan, BEM KM bergerak berdasarkan keputusan Aliansi BEM. Aliansi terdiri dari gabungan enam BEM yang lain.

“Tidak ada elite politik manapun di sini. Kami tidak menyepakati ini sendirian,” tegasnya.

Rektor Universitas Mulawarman, Prof Masjaya, menyesalkan insiden ini. Ia mengatakan, mahasiswa boleh mengkritik namun harus beretika dan sopan. Mahasiswa seharusnya mengedepankan substansi permasalahan dalam mengkritik. “Kami sangat menyayangkan sikap itu,” kata Masjaya.

Setelah ramai insiden tersebut, Unmul memanggil sejumlah anggota BEM. Tujuannya untuk mendapatkan penjelasan. Prof Masjaya mengatakan, berdasarkan penjelasan BEM Unmul kepada rektorat, kritik bersumber dari aliansi BEM se-Indonesia.

“Kami sudah minta klarifikasi (dari BEM-KM),” sambungnya. Prof Masjaya menambahkan, kampus tentu tidak antikritik. Akan tetapi, mahasiswa jangan mengkritik sesuatu yang tidak pada posisinya. Hal ini sesuai ajaran Unmul, tidak hanya pengetahuan, adab dan akhlak juga penting.

“Wapres adalah simbol negara. Seharusnya mengkritik yang bagus dan memberikan solusi,” jelas Prof Masjaya.

Akademikus Ilmu Komunikasi dari Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Sabiruddin, turut memberikan pandangannya. Ia melihat bahwa kritik BEM KM merupakan wujud dari konsep semiotika. Secara teori, semiotika membahas mengenai lambang dan tanda bahasa. Ada sebuah makna yang tersembunyi di balik setiap gambar.

“Apalagi gambar yang viral,” ucapnya. Dalam semiotika, pesan yang diproduksi bisa ditafsirkan berbeda. Pesan tersebut akan ditanggapi berlainan oleh warganet. Ini disebut sebagai demokrasi di ruang digital. “Tafsir dari makna sebuah pesan bisa menjadi luas karena secara semiotik, sifatnya bebas. Tapi ingat, tafsir juga membutuhkan argumentasi,” ingatnya. (kk)

16.4k Pengikut
Mengikuti