Plagiarisme di dunia kampus terus mendapat perhatian Universitas Mulawarman. Perguruan tinggi terbesar di Kaltim itu telah dan sedang menyusun langkah untuk memberantas kejahatan intelektual tersebut. Sedari menambah penggunaan perangkat lunak hingga menyiapkan peraturan.
Kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Wakil Rektor Unmul Bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Hubungan Masyarakat, Dr Bohari Yusuf, mengatakan, plagiarisme dapat dikategorikan sebagai kejahatan intelektual. Plagiarisme terjadi ketika seorang peneliti mengutip atau menjiplak sebuah karya ilmiah tanpa mencantumkan penulis sesungguhnya. Riset tersebut lantas dipublikasikan di berbagai jurnal untuk kepentingan personal.
Urusan jiplak-menjiplak ini sebenarnya tidak terbatas terhadap karya orang lain. Bohari menjelaskan, ada pula fenomena self-plagiarism atau swaplagiarisme. Swaplagiarisme terjadi ketika penulis menjiplak kembali hasil penelitian yang sudah ia publikasikan dan mengunggahnya di situs jurnal ilmiah. Padahal, publikasi hasil penelitian sebenarnya terbatas untuk satu jurnal ilmiah. Kasus plagiasi maupun swaplagiasi ini disebut pernah ditemukan di sejumlah daerah.
“Saat ini sedang disoroti di Sumatra dan Sulawesi, meskipun, sejauh ini saya dengar tidak terbukti. Kami tentu berharap, apapun bentuknya, plagiarisme tidak terjadi di Unmul. Publikasi hasil penelitian seharusnya sekali saja. Tidak jujur namanya, kalau satu data dihitung dua kali,” jelasnya.
Bohari menambahkan, kampus akan bersikap tegas menindak kasus penjiplakan. Satu di antaranya, membawa kasus tersebut kepada Komisi Etika Senat Unmul. Bohari mencontohkan kasus dugaan pelanggaran etik yang pernah diusut Komisi Etika pada 2018.
“Alhamdulilah, sudah selesai. Komisi etika menyatakan kasus itu tidak termasuk kategori tersebut,” terang alumnus Universite de Pau et Des Pays de L’Adour di Prancis ini. Bohari menambahkan, Unmul juga senantiasa mengingatkan dosen dan mahasiswa untuk tidak mempraktikkan plagiarisme.
Dijumpai di tempat terpisah, Wakil Rektor Bidang Akademik, Prof Mustofa Agung Sardjono menjelaskan, kampus sedang mengupayakan dua langkah mencegah plagiarisme. Pertama, berlangganan perangkat lunak penguji keabsahan karya tulis yakni Turnitin. Melalui Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjamin Mutu, Unmul sudah menggelontorkan Rp 180 juta. Dana tersebut dipakai untuk memperbanyak akses program yang memiliki fitur mengukur simmilarity atau tingkat plagiasi.
Ambang batas kesamaan yang diiziinkan menurut aplikasi adalah 20 persen. Apabila kesamaannya lebih dari itu, karya bisa dianggap plagiat. Turnitin wajib digunakan seluruh unsur civitas akademika ketika memublikasikan artikel ilmiah. Mulai dosen yang mengurus kenaikan pangkat hingga mahasiswa yang mengerjakan tugas akhir kuliah. Sebanyak 100 akun aplikasi dibagikan Unmul setiap tahun.
“Akun ini diberikan kepada fakultas, program pascasarjana, dan unit kerja,” ucapnya.
Upaya kedua adalah menyusun peraturan rektor tentang plagiarisme dan swaplagiarisme. Prof Mustofa menjelaskan, kampus selama ini selalu mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiasi di Perguruan Tinggi. Akan tetapi, penjelasan mengenai swaplagiarisme tidak dijelaskan secara eksplisit dalam beleid tersebut.
“Definisi plagiarisme terbatas ‘mengutip sebagian atau seluruh karya pihak lain’ saja,” paparnya. Prof Mustofa menambahkan, Unmul akan memasukkan penjelasan mengenai swaplagiarisme dalam peraturan rektor. Kampus saat ini sedang merampungkan draf peraturan dengan senat universitas.
“Tentu tidak mudah dan bakal alot perdebatannya,” jelas guru besar jebolan Universitas Hamburg, Jerman ini. (kk)