Aku menutup wajahku dengan bantal… menutup telingaku rapat-rapat..
Suara denting, krincingan di halaman rumah terdengar makin ramai…
Ya Allah padahal ini masih jam 02.30.. masih panjang malam aku lalui…
Sendiri… Ya, sendiri…
Seharusnya tadi aku minta temani Mba Win nginap di rumahku… Atau minta Mba Nina nginap beberapa malam…
“Yakin gak ditemani?” Tanya mba Win, sambil memasukkan diktat mata kuliah Statistik ke dalam tasnya.
“Aman… Aman insyaAllah,” jawabku yakin.
Tapi entah malam ini…
Sejak tengah malam suara dentingan itu berbunyi…
Aku berusaha memejamkan mata dan beristiqfar… Wajah-wajah tak wajar itu menari-nari di bola mataku… Wajah-wajah yang tak dapat aku hapus dalam memoriku.. Yang terekam secara tak senyaja saat aku masih kecil…
Air mataku berlinang… aku tak mau melihat wajah-wajah itu lagi… Allah…
Aku terus beristigfar, menutup wajahku, menutup telingaku rapat-rapat… tak bercelah… sampai akhirnya aku terlelap dengan mata sembab.
**
Ketika aku mengerjakan soal-soal dari mb Mirna guru bimbelku di ruang tengah, tiba-tiba aku mendengar suara yang memanggil namaku lagi. Suara yang tak asing olehku. Aku berusaha tenang, berusaha cuek dan fokus mengerjakan soal-soal bahasa Inggris. (Sarah, Sarah, aku ingin bermain lagi denganmu… Sarah, Sarah… Ayoo kita bermain di lantai atas).
Aku menggeleng, “Aku lagi belajar, nanti saja kalu sudah selesai ya,” jawabku pada sosok sahabatku yang tiba-tiba muncul di hadapanku.
“Sarah, Sarah bicara dengan siapa,” tanya mb Mirna guru bimbelku, agak panic.
“Gak dengan siapa-siapa Mba Mir,” kataku berbohong, karena aku yakin mba Mirna gak akan setuju dengan penjelasanku.
Aku memberi isyarat agar sahabatku segera pergi. Tapi ia malah duduk dan mendengarkan penjelasan mb Mirna.
Tak lama kemudian, muncul sosok perempuan tua berambut uban terurai panjang dengan wajah pucat pasi berjalan tertatih menghampiri Lina, sahabat kecilku. Sontak aku kaget saat melihat sosok perempuan tersebut. Aku masih juga sering ada rasa takut melihatnya.
Mungkin ia mamah atau neneknya Lina, aku belum tahu persis.
”Heheheheh, aku ingin main denganmu sekarang, heheheh, hehehe”, ujar sosok anak tersebut menarik tanganku.
”Aku masih belajar,” jawabku padanya.
Aku melihat mb Mirna terbelalak.
“Sarah, Sarah… Kamu bicara dengan siapa ?” mba Mirna menggoyang badan kecilku.
Aku bingung, melihat sahabatku Lina atau melihat mba Mirna guru bimbelku.
”Kamu kenapa Sarah ? Kok baru saja bicara sendiri, kamu bicara sama siapa ?”, tanya mba Mirna lagi, masih dengan wajah tak percaya.
Aku melihat sosok perempuan berambut putih berlalu, menempus dinding dan menghilang. Diikuti Lina sahabat kecilku… ia berlalu, tak menginjak tanah, melayang menembus dinding dan menghilang.
”Tadi Sarah barusan ketemu sama bundanya Lina, sosok perempuan tua berambut uban terurai panjang wajahnya pucat pasi berjalan melayang”, ujarku membuat mb Mirna makin keheranan.
Tak lama pintu kaca bergetar… nampak olehku diluar sana muncul sosok perempuan berambut panjang menggendong anaknya yang sedang menangis dengan wajah berdarah-darah, pada saat bersamaan muncul anak-anak kecil lainnya yang sedang bermain diruang tengah dan belakang rumah muncul sosok tengkorak yang berjalan melambai-lambaikan tangan.
Aku berusaha kosentrasi dan tampak fokus mengerjakan soal-soal bahasa Inggris tanpa menghiraukan aneka sosok yang menyeramkan itu, hilir mudik bergantian lewat depan kaca.
Aku menghela nafas panjang… Kenangan saat masa kecilku ini terlalu melekat dalam ingatanku.
**
“Biasanya mereka memiliki perasaan empati yang tinggi. Anak indigo dikenali karena mereka terlahir dengan empati yang lebih. Ciri anak indigo ini terkadang membuat mereka merasa bahwa mereka adalah spesies yang sama sekali berbeda karena tidak seperti kebanyakan anak lainnya.
Mereka tidak dapat memilah-milah perasaan mereka untuk memperlakukan orang dengan buruk dalam jangka waktu yang lama,” tante berbaju putih di ruangan putih itu menjelaskan panjang lebar tentang aku… Aku indigo? Apa itu?
“Biasanya lagi, anak-anak tersebut lebih emosional dari orang lain. Anak indigo menangis saat film sedih dan tertawa saat ada adegan yang lucu. Apapun emosi yang dirasakan, mereka akan merasakannya lebih besar dibanding anak lain. Ciri anak indigo adalah memiliki “emosi tingkat tinggi”.
Mereka begitu selaras dengan batin sehingga setiap perasaan yang menggelembung ke permukaan terasa lebih kuat daripada perasaan orang lain.
Mereka berusaha menjadi penurut. Kepekaan terhadap perasaan orang lain terkadang menyebabkan mereka berada dalam masalah di situasi di mana mungkin terdapat konflik batin dalam diri mereka.
Meskipun anak indigo mandiri, salah satu ciri anak indigo adalah mereka juga peduli pada semua orang dan tidak ingin mengecewakan orang lain.
Selain itu, mereka memiliki keinginan kuat untuk memahami cara kerja berbagai hal.
Salah satu ciri anak indigo yang utama adalah seseorang yang lahir dengan rasa ingin tahu yang jauh lebih tinggi dari anak pada umumnya. Anak indigo ingin mengerti segalanya.
Mereka adalah anak-anak yang tidak bisa berhenti bertanya ‘mengapa?’ Sementara yang lain akan menerima jawaban kiasan, anak indigo ingin menggali sampai mereka benar-benar memahami hal yang dimaksud.
Anak indigo sering merasa tidak pada tempatnya ketika mereka masih kecil. Ini karena mereka lebih mandiri, cerdas, dan dewasa secara emosional daripada orang lain seusianya. Meskipun hal ini dapat menyebabkan masalah sejak dini, umumnya indigo yang mengetahui cara mengatasinya akan selalu merasa sedikit seperti orang luar.” Panjang lebar wanita itu menjelaskan pada mamah. Aku yang terbaring di samping mamah, waktu itu tak mengerti.
Yap, mamah cerita… aku hilang 24 jam tak terlihat di rumah… Padahal aku tak kemana-mana, aku hanya bermain dengan Lina di lantai paling atas… Lantaran selalu panic, akhirnya kami memutuskan pindah rumah. Sejak saat itu aku tak lagi melihat Lina sahabatku…
***
“Jadi semalam bagaimana?” mba Win pagi-pagi sudah datang kerumahku.
“Bagaimana kan sudah dirukyah? Apa masih bisa melihat?” Tanya mb Nina penasaran.
Aku menggeleng lemah… kurang tidur…
“Alhamdulillah Mba… hanya suara-suara yang masih menggangguku… Tapi Alhamdulillah aku sudah tak melihat mereka lagi,” kataku mantap.
“Alhamdulillah, sekarang kuatkan sholatnya, dzkir jangan lupa tiap saat sehingga taka da celah mereka mengganggumu lagi Sarah,” Mba Win menasehatiku.
Pagi baru menyentuh bumi. Suara burung di luar sana masih bersahutan… Aku bersyukur kemampuanku melihat sesuatu yang tak wajar sudah sangat berkurang. Betapa luas karunia Allah atas segala sesuatu. Juga termasuk hadirnya saudari-saudariku ini… Atas izin Allah menemani setia langkahku. (***)