spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Nasib Tugu Palagan Samarinda, Dibongkar Pemilik Lahan Terlantar Bertahun-tahun

Joko Masianto baru saja menunaikan salat asar ketika melihat ada yang ganjil di lokasi Tugu Palagan Pertempuran Samarinda 1947. Ketua RT 15 Bukit Pinang itu segera mendekati lokasi tugu yang tepat di muka Masjid Asyuhada, Jalan Pangeran Suryanata, Samarinda Ulu. Monumen berukuran 4 meter x 6 meter bercat hijau itu sudah rata dengan tanah. Sebagai gantinya, tugu yang lebih kecil berdiri tak jauh dari sebuah kali.

Bangunan yang didirikan untuk memperingati enam pejuang kemerdekaan tersebut ternyata sudah dibongkar pada Juli 2021. Pikiran Joko lantas melayang kepada kejadian setahun silam. Seseorang pernah datang kepadanya dan mengaku sebagai ahli waris lahan. Perempuan tersebut meminta surat kehilangan dokumen kepemilikan tanah kepadanya.

“Saya sebagai ketua RT menolak karena perbedaan wilayah administrasi. Domisili beliau bukan di sini tapi suratnya minta di sini,” terang Joko kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, ditemui di pelataran rumahnya pada penutup Agustus 2021. “Akhirnya menimbulkan perdebatan panjang.”

Masih setahun silam, Joko dan ahli waris kemudian bertemu di Kantor Kelurahan Bukit Pinang. Dari mediasi itu, ahli waris mempersoalkan status pendirian tugu palagan. Pembangunan monumen disebut tanpa seizin pemilik lahan. Joko heran sekaligus bingung. Sejak berdiri pada 1991, baru kali ini izin pendirian tugu dipersoalkan.“Saya sampai memohon. Tolonglah, tugu ini memiliki arti bagi masyarakat Samarinda,” ungkapnya.

Lurah Bukit Pinang, Eko Purwanto, melanjutkan duduk perkaranya. Mengutip keterangan saat mediasi, Eko mengatakan, pendirian tugu sebenarnya atas seizin kakek pemilik lahan. Akan tetapi, izin tersebut sebatas perjanjian lisan sehingga tidak tercatat secara administrasi. Eko juga secara pribadi memohon kepada pemilik lahan agar tidak membongkar tugu. Orangtua dari ahli waris saat itu disebut menyetujui permohonan. Akan tetapi, ahli waris tetap menolak.

“Ada perbedaan pandangan dari sang anak (ahli waris),” jelasnya. “Sayangnya, tidak ada surat perjanjian seperti wakaf kepada pemerintah saat pendirian tugu tersebut. Jadi tidak ada (kejelasan) surat-menyurat,” sambung Eko Purwanto.

Keadaan makin pelik setelah Wali Kota Samarinda menerbitkan Peraturan Wali Kota 113/2020. Perwali menyatakan bahwa status administratif dari lahan tersebut tidak lagi di Kelurahan Bukit Pinang melainkan Kelurahan Air Hitam. Eko mengaku, tidak mengikuti perkembangannya. Dia kaget mengetahui kabar tugu palagan dibongkar.

PENJELASAN AHLI WARIS
Ratna Yuniarti (32), adalah yang mengaku sebagai ahli waris lahan. Ratna mengatakan, tanah seluas 2.000 meter persegi dibeli kakeknya pada 1947. Ia mengklaim, kakeknya tidak pernah menyetujui pendirian tugu.

Di lain pihak, pembangunan tugu juga secara administratif tidak pernah dicatat. Tidak ada perjanjian pendirian tugu. Lagi pula, sambung Ratna, lokasi tugu selalu berpindah-pindah dan dilebarkan tanpa seizin pemilik lahan.

“Dari patok kecil dekat sungai, terus menjadi tugu besar berwarna hijau yang memakan 2 meter lahan dari depan sampai belakang. Itu semua tanpa seizin keluarga,” jelasnya.

Pada Juli 2021, Ratna mengaku membongkar tugu tersebut karena sudah mengurangi tanah keluarga. Monumen baru berwarna merah di sisi kiri lahan dibangun sepekan kemudian. Perempuan yang bekerja sebagai staf perpustakaan di sebuah SMA di Samarinda ini mengatakan, pembangunan tugu memakan biaya Rp 9 juta. Tugu juga dibangun sesuai restu seorang pejabat di Kelurahan Air Hitam. Ratna menambahkan, tugu baru ini bentuk menghargai nilai kepahlawanan.

“Saya melakukannya karena restu seorang pejabat di Kelurahan Air Hitam. Tapi, tetap saja, lahan berkurang tanpa seizin kami. Soalnya kami rajin bayar pajak sesuai luas yang tertera,” ungkapnya ditemui di sebuah SMA di kawasan Voorvo, Samarinda, Selasa, 21 September 2021.

Ratna menambahkan, pada 26 Agustus 2021, Pemerintah Kecamatan Samarinda Ulu mengundangnya untuk mediasi. Dia menolak menandatangani surat mediasi karena Ratna melihat status tugu tersebut tidak jelas. Pemerintah juga belum menjamin dia bisa menerima ganti rugi. Mengingat keluarga selalu taat membayar pajak, Ratna hanya berharap, pemerintah memberi kompensasi pendirian tugu di lahan tersebut.

BEDA KLAIM
Diwawancarai terpisah, Lurah Air Hitam, Nur Aida, kaget dan bingung. Dia menegaskan, kelurahan tidak pernah memberi restu kepada ahli waris maupun pemilik lahan untuk membongkar tugu. Aida juga mengaku belum pernah bertemu dan berkomunikasi dengan pihak yang membongkar tugu.

“Kalau pihak keluarga bicara begitu (mendapat restu untuk membongkar), sama siapa? Sama kelurahan, tidak pernah ada,” tegasnya ketika dihubungi melalui sambungan telepon

Sementara itu, Camat Samarinda Ulu, Muhammad Fahmi, menilai bahwa klaim ahli waris tidak tepat. Ahli waris disebut tidak pernah berkoordinasi dengan kecamatan saat pembongkaran. Adapun pemilik tanah sebenarnya, yakni orangtua ahli waris, telah mengaku bersalah dalam pembongkaran tugu.

“Jadi, sepertinya ada perbedaan klaim. Tetapi, yang pasti, kami telah memegang komitmen dari pemilik tanah. Kami punya surat pernyataan yang ditandantangani,” tegasnya. Berdasarkan kesepakatan pada pertemuan 26 Agustus 2021, Fahmi menyatakan bahwa pemilik tanah bersedia membangun ulang tugu. Dia menjelaskan, kecamatan saat ini tinggal menunggu realisasinya. Jika sesuai rencana, bentuk tugu akan menyesuaikan tiga tugu palagan yang lain. Lokasinya hanya beberapa meter dari tugu yang lama.“Yang lama (berwarna merah) itu juga akan dibongkar karena tidak memiliki makna,” jelasnya.

TUGU PALAGAN DAN PULUHAN NYAWA PEJUANG
Anggota Tim Cagar Alam dan Budaya, Fajar Alam, mengaku sedih mendengar kabar pembongkaran tugu palagan. Fajar memandang, monumen merupakan wujud simbolis dan penanda historis perjuangan masyarakat Samarinda. Tugu ini sudah berusia 30 tahun. Dalam 20 tahun ke depan, situs tersebut bisa diajukan sebagai cagar budaya. “Dengan adanya bangunan fisik, kita bisa memvisualkan peristiwa historis dengan lebih baik. Sayang sekali jika dibongkar,” ungkapnya.

Penekun literasi sejarah di Samarinda, Muhammad Sarip, menjelaskan bahwa pembangunan tugu diprakarsai veteran kemerdekaan yang dipimpin HM Djunaid Sanusie. Mengutip buku bertajuk Secercah Perjuangan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). BN. VIII Brig. “S” Divisi VI (Narotama) di Samarinda (1991), Sarip mengatakan bahwa Djunaid adalah pimpinan BPRI yang berjuang melawan penjajahan kolonial Belanda. Perjuangan berlangsung pada era Revolusi Kemerdekaan 1946 hingga 1950.

“Tugu ini diresmikan Wali Kota Samarinda, Abdul Waris Husain, bersamaan dengan penerbitan buku tersebut pada 1991,” terang Sarip, Selasa, 21 September 2021.

Ada empat tugu palagan di Samarinda. Selain di Jalan Suryanata, tugu didirikan di Sambutan, Solong, dan Teluk Lerong. Sarip mengatakan, monumen di Bukit Pinang adalah yang paling kental mengandung nilai perjuangan. Puluhan pejuang kemerdekaan ditembak mati dan dibakar tentara KNIL saat beristirahat di situ pada Februari 1947.

“Mereka (tentara KNIL) mengumpulkan jenazah para pejuang di dalam rumah lalu membakar rumah tersebut,” jelasnya. Hanya enam jenazah yang teridentifikasi dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Jalan Jacob (sekarang Jalan Mutiara). Mereka adalah M Tjorong bin Abu Bakar, Sastrowardjojo, Aman bin Ijuh, Asan, Masdar bin Mansur, dan Gondo.

Sarip menambahkan, legalitas tugu tersebut sudah valid dan kuat secara historis. Dia heran jika pembangunannya disebut fiktif dan berpindah-pindah. Menurut Sarip, pembongkaran kali ini adalah pertanda adanya krisis menghargai pahlawan di Kota Tepian.

“Andai Djunaid Sanusi dan para pelaku sejarah 1947 masih hidup, tentu mereka akan marah dan mengutuk oknum yang terlibat dalam pembongkaran tugu. Pun dengan dalih pemindahan lokasi, tetap tidak bisa dibenarkan,” terangnya.

Lebih jauh, Sarip mengatakan, tiga tugu palagan yang lain juga tidak terawat. Pemkot seharusnya belajar dari kejadian ini dan mulai menginventarisasi semua monumen kepahlawanan dan tugu bersejarah di Samarinda. Dia mencontohkan, satu monumen di Jalan Panglima Batur yang sudah berusia 73 tahun. Jangan sampai nanti juga terjadi pembongkaran karena kurangnya pemeliharaan rutin.

Kepala Seksi Sejarah dan Budaya, Dinas Kebudayaan Samarinda, Ainun Jariah, menjelaskan bahwa persoalan tugu palagan telah ditangani dengan mediasi. Sudah ada kesepakatan antara pemilik lahan dengan kecamatan. Mengenai kondisi keempat tugu yang lain, Ainun menjelaskan, sedang diusulkan anggaran perawatan pada 2022.

Wali Kota Samarinda, Andi Harun, juga membenarkan bahwa persoalan ini telah ditindaklanjuti Camat Samarinda Ulu. Meskipun lahan tersebut bukan milik Pemkot, dia menyayangkan ahli waris berinisiatif membongkar tugu. Andi Harun menegaskan, Pemkot akan berfokus memantau dan merawat tugu palagan. Bukan hanya di Suryanata,  tiga tugu yang lain akan diperhatikan.

“(Lahan) itu memang hak mereka tapi tentu bisa dibicarakan baik-baik dan dikoordinasikan. Kami akan rawat (tugunya). Kalau perlu anggaran, kami anggarkan,” tutup Wali Kota ketika ditemui selepas pelantikan Pengurus Taekwondo Kaltim, Selasa, 21 September 2021. (kk)

16.4k Pengikut
Mengikuti