TENGGARONG – Kutai Kartanegara kembali berada di persimpangan sejarah. Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi Edi Damansyah dari Pilkada 2024, kursi salah satu calon bupati kosong dan Pemungutan Suara Ulang (PSU) menjadi jalan tak terelakkan. Di tengah drama politik itu, dua nama muncul bukan karena ambisi, melainkan panggilan: Aulia Rahman Basri dan Rendi Solihin. Keduanya tidak hanya harus memenangkan hati 552.469 pemilih Kukar, tetapi juga menghadapi tantangan besar—menyatukan basis yang terpecah akibat polemik diskualifikasi.
Senin, 10 Maret 2025, menjadi momen penting ketika Aulia dan Rendi resmi mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kukar. Rekomendasi PDI Perjuangan, yang diteken langsung oleh Megawati Soekarnoputri dalam formulir B1KWK, mengukuhkan Aulia sebagai calon bupati dan Rendi tetap sebagai wakilnya. Namun, di balik keputusan politik ini, ada pergulatan panjang yang mereka alami.
Rendi, yang telah berpengalaman sebagai Wakil Bupati 2021–2024 dan memiliki rekam jejak kuat di DPRD Kukar, sebenarnya memiliki peluang besar untuk maju sebagai bupati. Tapi ia memilih menahan diri. “Bagi saya, bukan soal siapa yang menjadi bupati atau wakil bupati. Yang lebih penting adalah menuntaskan janji kampanye 2024 kepada rakyat,” ujarnya.
Sementara itu, Aulia, yang selama bertahun-tahun lebih dekat dengan dunia kesehatan dan bisnis, tiba-tiba harus mengambil peran kepemimpinan politik yang semula dirancang untuk orang lain. “Saya tidak kepikiran maju di kontestasi ini,” katanya. “Tapi saya lahir di Kota Bangun, besar dengan impian menjadikan Kutai Kartanegara lebih baik.”
Aulia Rahman Basri, 39 tahun, dulunya dikenal sebagai dokter yang peduli terhadap masyarakat pelosok Kukar. Ia mendirikan rumah singgah bagi pasien daerah terpencil seperti Muara Muntai, yang kesulitan mengakses layanan kesehatan di RSUD Dayaku Raja. Namun, pada 2020, ia memilih jalur lain: meninggalkan status ASN dan terjun ke dunia usaha.
Dua tahun kemudian, ia terpilih sebagai Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kukar, membuktikan kapasitasnya dalam memberdayakan ekonomi lokal. Kini, sebagai Wakil Ketua Bidang Politik dan Hukum DPC PDI Perjuangan Kukar, ia dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana meyakinkan publik bahwa ia bukan sekadar pelengkap dalam PSU, melainkan pemimpin yang siap bekerja.
PSU yang akan digelar pada 25 April 2025 bukan sekadar pemilihan ulang, tetapi juga ujian bagi soliditas politik Kukar. Waktu yang tersisa semakin tipis, dan selama itu, Aulia-Rendi harus merangkul kembali para pendukung Edi yang sempat goyah, menghadapi kritik, serta membangun kepercayaan baru di tengah dinamika politik yang panas.
Rendi yang telah akrab dengan kerja pemerintahan menegaskan bahwa program yang telah berjalan harus terus dikawal. “Ini bukan tentang menggantikan sosok lama, melainkan meneruskan perjuangan yang sudah dimulai,” katanya. Sementara Aulia mengusung visi “Kukar Idaman Terbaik,” yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan berbasis kesejahteraan rakyat.
Politik Sebagai Pengabdian, Bukan Ambisi
Di tengah politik yang kerap dipenuhi intrik dan perebutan kekuasaan, Aulia dan Rendi membawa narasi berbeda. Rendi, di usia 34 tahun, memahami bahwa kepemimpinan bukan sekadar mengejar jabatan. Aulia, yang lebih terbiasa mendengar keluh kesah pengusaha dan pasien, melihat politik sebagai kelanjutan pengabdian—bukan sekadar panggung kekuasaan.
Di tanah Kutai Kartanegara, pemimpin yang dibutuhkan bukanlah mereka yang sekadar ingin berkuasa, melainkan mereka yang siap bekerja. Pada 25 April nanti, masyarakat tidak hanya memilih seorang bupati, tetapi juga menentukan apakah politik masih bisa menjadi sarana pengabdian—bukan sekadar perebutan kursi. (MK)
Editor: Agus S