SAMARINDA – Hujan pagi itu menemani belasan masyarakat berkumpul di Simpang Lembuswana, Samarinda. Membentang spanduk bertuliskan “Merdeka dari Krisis Iklim.” Merupakan aksi dari Gerakan Bungan Terung Kaltim. Meminta pemerintah lebih jeli membuat kebijakan yang mendukung lingkungan hidup.
Selasa, 17 Agustus 2021, alih-alih merasakan euforia perayaan peringatan kemerdekaan, masyarakat ini menyuarakan pendapat dalam keadaan banjir. Sebagaimana diketahui, kawasan tempat mereka berpendapat itu memang kerap dilanda banjir jika hujan deras tiba.
“Jadi kami ini gerakan, tidak ada struktur. Kami ingin mengajak lebih banyak masyarakat terlibat menyuarakan keadilan dan krisis iklim ini,” terang Narahubung Bunga Terung Kaltim, Maulana Yudhistira kepada kaltimkece. jaringan mediakaltim.com.
Aksi itu ternyata tidak hanya dilakukan hari ini. Yudhis menegaskan, aksi telah dilakukan sejak kemarin. Secara berkeliling di daerah Kota Tepian, membentangkan spanduk. Tujuannya tidak lain menyadarkan masyarakat agar berani mengutarakan pendapatnya terkait permasalahan iklim.
“Bakal ada aksi lagi di jalan-jalan. Spanduk kami ingin menyentuh hati-hati masyarakat untuk berani bilang ke pemerintah agar mereka bisa menyediakan lingkungan hidup yang nyaman,” kata dia.
Merdeka dari Krisis Iklim, menurutnya suatu tema besar yang diusung. Hal ini mencakup sebab permasalahan secara luas. Terutama dampak pertambangan, alih fungsi lahan, dan kerusakan lingkungan. Yudhis meminta pemerintah serius menangani dan mendukung aspek-aspek menjaga lingkungan.
“Dengan terjaganya lingkungan, manusianya terjaga, ekonomi jauh lebih baik,” tegas dia. “Pemerintah harus bisa mengubah sistem untuk berpihak kepada lingkungan hidup dan makhluk di dalamnya.”
Bunga Terung Kaltim menyebutkan, berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Pemprov Kaltim, baru sekitar 17,3 persen dari total 12,7 hektare lahan daratnya masuk dalam kawasan lindung Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Sementara 87,7 persen lahan sisanya, diberikan kepada perusahaan untuk dikeruk isinya.
Lebih detail, keterangan tertulis itu menjelaskan, luasan konsesi industri tambang batu bara mencapai 5,3 Juta hektare dan luas konsesi industri minyak dan gas (Migas) mencapai 13,9 Juta hektare. Selain itu, luas perkebunan Kaltim mencapai 3,3 Juta hektare, luas hak pengusahaan hutan mencapai 4,3 Juta hektare, juga luas hutan tanaman industri mencapai 4,5 juta hektare.
“Jika dikalkulasikan mencapai 31,8 Juta hektare. Padahal total luas wilayah Kaltim, jika diukur dari darat hingga 12 mil laut, hanya mencapai 16 Juta hektare saja,” kata dia.
Melalui keterangan tertulis, Bunga Terung Kaltim menilai hal ini terjadi karena pemberian izin yang tumpang tindih serta tidak mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan dan ruang hidup untuk masyarakat serta lingkungan hidup.
Sementara itu, Sekprov Kaltim, M Sabani, mengatakan bahwa selama ini Kaltim telah berupaya mengatasi krisis perubahan iklim itu. Salah satunya dengan mengurangi emisi gas rumah kaca. Upaya ini dilakukan dengan bekerja bersama Bank Dunia.
Ia juga menjelaskan, Bank Dunia memberikan dana untuk membeli carbon untuk melakukan hal tersebut. Carbon akan dibeli dengan biaya USD 5 ribu per ton co2. Sejauh ini, Kaltim mendapatkan jatah maksimum 20 juta ton.
“Tentu Kaltim terus mengupayakan. Walaupun tidak dibeli kita sudah bisa, untuk menekan itu. Dalam rangka pelestarian lingkungan untuk menjaga efek perubahan iklim,” imbuhnya.
KRISIS LINGKUNGAN KIAN NYATA DI KALTIM
Koordinator Kelompok Kerja MRV (Monitoring, Reporting, and Verification) Dewan Daerah Perubahan Iklim Kaltim, Fadjar Pambudhi, menjelaskan, perubahan iklim itu benar adanya. Baik secara global yang akhirnya berimbas ke Kaltim.
“Kondisi itu benar terjadi, ini kan kalau secara global itu seperti banjir di Eropa yang empat negara, kemudian di wilayah Oman dan terakhir di Tiongkok, disebabkan curah hujan yang berlebihan,” kata dia.
Curah hujan yang berlebihan, kata dia, merupakan salah satu salah satu perilaku hujan yang berubah—indikator perubahan iklim secara global. “Kita di Kaltim terkena juga, itu pengaruhnya global kemana mana, seluruh dunia.”
Fadjar menjelaskan, dampak yang sudah terasa di Kaltim ialah adanya kemarau panjang. Hal ini dalam memicu kebakaran hutan. Atau pun sebaliknya, perilaku hujan bayangkan berubah yang dapat menyebabkan banjir.
“Perubahan perilaku curah hujan seperti sekarang ini. Seharusnya saat ini musim panas, akibat dari situ,” tegas dia.
Sebetulnya, kata dia, Kaltim sudah memiliki langkah untuk mengatasi itu. Sebagaimana diketahui, upaya kerjasama dengan Bank Dunia salah satunya untuk menekan perubahan iklim di dunia. Dikemukakan lewat program bernama Forest Carbon Facilities Project yang dirancang dari 2020 sampai 2024. “Cuman masalah kita sejak Covid-19, semuanya kurang aktif,” kata dia. (kk)