BALIKPAPAN – Seorang pengusaha tambang menemui Rizal Effendi yang ketika itu wakil wali kota Balikpapan. Pengusaha kaya raya tersebut menjamin mendanai seluruh logistik Rizal untuk maju pemilihan kepala daerah Balikpapan 2011. Sebagai timbal-baliknya, ia meminta Rizal menerbitkan izin penambangan batu bara. Lagi pula, saat itu belum ada regulasi ihwal tak boleh ada tambang di Kota Minyak.
“Tapi, saya menolaknya. Kami tetap komitmen bahwa tidak boleh ada penambangan di Balikpapan,” kata Rizal kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com melalui sambungan telepon, Selasa (17/8/2021).
Penolakan itu bukan tanpa alasan. Sejak era 1950 sampai 2000-an, menurut Rizal, isi perut hingga leher Kaltim sudah digerogoti penambangan minyak, gas, batu bara, dan kayu. Akan tetapi, penambangan tak membuat masyarakat setempat sejahtera.
Rizal mencontohkan Sangasanga dan Loa Kulu di Kutai Kartanegara. Tambang di dua kecamatan itu disebut tak memberikan kontribusi berarti buat warganya. “Padahal di Sangasanga itu, dulunya ada bioskop hingga kolam renang. Tapi sekarang seperti kota mati,” jelasnya.
Selain itu, sambung dia, Balikpapan bebas tambang juga menjadi cita-cita Almarhum Tjutjup Suparna dan Imdaad Hamid. Kedua mantan wali kota Balikpapan itu sepakat bahwa tambang tak memberikan faedah. Malah, tambang dinilai bisa merusak lingkungan dan mendatangkan bencana. Dari gagasan-gagasan itulah Rizal akhirnya berkomitmen menjadikan Balikpapan sebagai kota percontohan yang bisa hidup tanpa tambang.
“Kami ingin membuktikan bahwa bisa ‘kok kota di Kalimantan tidak mengandalkan sumber daya alam, tapi dari sumber daya manusianya,” urai suami Yohana Palupi Arita.
Komitmen tersebut diperkuat saat Rizal menjabat wali kota setelah memenangi Pilkada 2011. Pada 10 April 2013, Rizal menandatangani Peraturan Wali Kota Balikpapan 12/2013 tentang Penetapan Balikpapan sebagai Kawasan Bebas Tambang Batu Bara. Akan tetapi, kilauan emas hitam di Balikpapan tetap saja mengagumkan bagi penambang. Saat hendak maju Pilkada 2016 sebagai petahana, Rizal kembali digoda dengan iming-iming dibiayai proses pemilihannya. Namun, ia tetap menolak.
BALIKPAPAN AKAN DITAMBANG
Sekuat-sekuatnya usaha membentengi Balikpapan dari tambang terancam bisa diruntuhkan. Ancaman tersebut bukan sesumbar belaka. Pasalnya, Undang-undang 3/2020 Perubahan atas Undang-undang 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) telah disahkan pada 2020.
Jaringan Advokasi Tambang Kaltim menyebut, UU Minerba membuka peluang penambangan di sepenjuru Indonesia, tak terkecuali di Balikpapan. Sebab, Pasal 4 ayat 2 dalam UU Minerba mengatur soal itu. Bunyi pasal tersebut: penguasaan minerba oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
“Itu artinya, yang memberikan izin penambangan bukan lagi pemerintah daerah, tapi pemerintah pusat. Kekuatan hukum perwali atau perda tidak lebih kuat dengan undang-undang,” jelas Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang.
Selain Pasal 4 ayat 2, bagi Jatam, ada 8 pasal lagi dalam UU itu yang bermasalah. Yaitu, Pasal 17A ayat 2, Pasal 22A, Pasal 31A ayat 2, Pasal 162, dan Pasal 169 ayat 1. Kemudian Pasal 169A ayat 5, Pasal 169B ayat 1, dan Pasal 172B.
Karena masih ada yang bermasalah, Jatam Kaltim bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dan Nur Aini, warga Banyuwangi, melakukan uji materil UU Minerba 3/2020 melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang perdana yang digelar pada 9 Agustus 2021, tiga hakim meminta para pemohon memperbaiki naskah pokok perkara dan petitum yang dibuat. Hakim memberi waktu perbaikan sampai sidang selanjutnya pada 23 Agustus 2021.“Kami punya waktu 14 hari untuk perbaikan. Pasti selesai sebelum waktunya,” papar Rupang.
Jatam berharap Pemkot Balikpapan sampai saat ini konsisten dengan komitmennya menolak tambang. Sebab, sama seperti Rizal, Jatam menilai tambang hanya akan mendatangkan bencana. Banjir, lubang ‘maut’, hingga kerusakan lingkungan, akan terjadi di wilayah pertambangan. Biaya pemulihan atas bencana-bencana itu, sebut Rupang, jauh lebih besar ketimbang uang yang dihasilkan pertambangan.“Kami mengajak Pemkot Balikpapan ikut menolak UU Minerba melalui judicial review ini,” ujarnya.
Aktivis lingkungan dari Kelompok Kerja Pesisir Balikpapan, Mappaselle, juga menyampaikan bahwa pertambangan tidak akan menguntungkan masyarakat. Oleh karena itu, Pokja Pesisir menyerukan agar masyarakat Balikpapan menolak tambang.
“Kerusakan lingkungan yang berpotensi meningkatkan volume banjir saat musim hujan, dan krisis air bersih saat musim kemarau, pasti terjadi jika ada penambangan,” jelas Mappaselle.
Kepada kaltimkece.id jejaring mediakaltim.com, Wali Kota Balikpapan, Rahmad Masud, tetap berkomitmen tak boleh ada tambang di Balikpapan. “Balikpapan ini ‘kan sudah rawan terhadap banjir. Nah, itu (pertambangan) akan merusak ekosistem lingkungan dan tata kota Balikpapan,” jelasnya. “Kalau itu di daerah lain, silakan. Tapi jangan di Balikpapan,” imbuhnya.
Rahmad menyatakan, Pemkot Balikpapan mendukung penuh upaya yang dilakukan Jatam Kaltim dengan menguji materil UU Minerba. “Bersedia ikut, lah, kalau demi kebaikan Balikpapan. Tapi enggak yang frontal,” ucapnya.
Sejumlah polemik dalam UU 3/2020 tentang Minerba sudah diketahui Rizal Effendi saat masih menjabat Wali Kota Balikpapan. Lewat undang-undang tersebut, kata Rizal, tambang memang berpotensi hadir di Balikpapan.
Menyikapi itu, Rizal bersama sejumlah pejabat yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kota seluruh Indonesia, pernah menyoal UU Minerba. Mereka menyoroti sejumlah kebijakan yang sebelumnya bisa dibuat pemda namun hilang dalam UU tersebut. Salah satunya izin pertambangan yang diambil alih pemerintah pusat.
“Karena pusat yang memberi izin, maka pemkot tidak bisa mengendalikan pertambangan, juga tidak bisa mengontrolnya,” kata bapak tiga anak yang kini berusia 63 tahun ini.
Sampai kapan pun, Rizal berucap, tidak akan sudi melihat tambang di Kota Beriman. Andai tambang benar-benar datang di kota ini, ia berjanji mengerahkan massa untuk mengusirnya. Demi satu hal, kata dia, agar warga kota dilindungi dari marabahaya. (kk)