JAKARTA – Ekonom dan pakar kebijakan publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta Achmad Nur Hidayat menyarankan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tahap kedua sebaiknya dilakukan dengan pendekatan yang lebih efisien.
Achmad juga menyarankan agar pemerintah dapat memaksimalkan keterlibatan swasta melalui skema public-private partnership (PPP) atau yang dikenal dengan kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), serta memastikan proyek ini benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat luas.
“Pembangunan infrastruktur memang penting, tetapi lebih penting lagi memastikan bahwa setiap rupiah dari APBN digunakan secara bijak untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar ambisi politik segelintir elite,” kata Achmad saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Ia menambahkan, pemerintahan Prabowo juga harus menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dengan meninjau ulang anggaran IKN dan memastikan bahwa kebijakan fiskal yang diambil benar-benar bermanfaat bagi kesejahteraan bangsa.
Presiden Prabowo Subianto, dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (21/1), menyetujui anggaran kelanjutan pembangunan IKN periode 2025-2029 sebesar Rp48,8 triliun. Alokasi pembangunan tahap tersebut lebih rendah apabila dibandingkan tahap pertama pada masa pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo.
Menurut catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total alokasi yang dianggarkan untuk IKN pada 2022 sampai dengan 2024 sebesar Rp75,8 triliun. Secara rinci, realisasi 2022 sebesar Rp5,5 triliun, realisasi 2023 sebesar Rp27,0 triliun, dan realisasi sementara pada 2024 mencapai Rp43,3 triliun.
Achmad menilai, pembangunan IKN tahap pertama dengan anggaran Rp75,8 triliun belum memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi nasional. Oleh sebab itu, alokasi anggaran IKN tahap kedua harus dievaluasi secara lebih kritis.
Menurut dia, pilihan terbaik adalah merealokasi anggaran tahap kedua ke sektor-sektor yang lebih membutuhkan, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
“Jika melihat kebutuhan anggaran nasional secara keseluruhan, ada banyak sektor yang lebih membutuhkan pendanaan, seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial,” kata Achmad.
Pada sektor pendidikan, ia mengingatkan bahwa Indonesia masih menghadapi masalah akses dan kualitas pendidikan yang buruk. Anggaran pendidikan pada 2024 diproyeksikan sekitar Rp660 triliun, tetapi sebagian besar terserap untuk gaji guru dan tunjangan pegawai. Sementara alokasi untuk perbaikan sarana pendidikan dan peningkatan kualitas pembelajaran masih terbatas.
“Jika Rp48,8 triliun dialihkan ke sektor pendidikan, dapat digunakan untuk membangun lebih dari 50.000 sekolah baru atau meningkatkan fasilitas sekolah di daerah terpencil,” ujar dia.
Pada sektor kesehatan, anggaran kesehatan yang berkisar di angka Rp200 triliun per tahun masih diikuti dengan keterbatasan dalam pengadaan alat kesehatan, pembangunan rumah sakit di daerah terpencil, serta insentif tenaga kesehatan.
“Jika anggaran tahap kedua IKN dialihkan ke sektor kesehatan, dapat digunakan untuk membangun 100 rumah sakit tipe C di seluruh Indonesia, meningkatkan kapasitas layanan kesehatan untuk jutaan masyarakat,” ujar Achmad.
Sedangkan terkait dengan bantuan sosial, ia mengatakan bahwa anggaran perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) masih kurang untuk menjangkau semua masyarakat yang membutuhkan.
“Jika Rp48,8 triliun dialihkan ke bantuan sosial, setidaknya 10 juta keluarga miskin tambahan bisa mendapatkan bantuan selama lima tahun ke depan,” kata Achmad Nur Hidayat. (ant/mk)