SAMARINDA – Penghapusan Presidential Threshold oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang diumumkan pada Kamis, (2/1/2025), dalam putusan nomor 62/PUU-XXII/2024, mendapat apresiasi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Namun, meskipun mengapresiasi langkah tersebut, YLBHI juga menilai ada kepentingan politik yang terlibat dalam keputusan tersebut.
Muhamad Sanur, Ketua YLBHI, mempertanyakan penghapusan ambang batas pengajuan calon presiden yang semula mengharuskan partai politik memiliki 20-25 persen suara sah. Sanur menilai setelah MK menolak 32 permohonan sebelumnya, keputusan kali ini terasa politis.
“Harusnya dalam konteks pertimbangan konstitusi dia itu suatu sikap, kok sekarang berubah. Pertanyaannya berubah karena apa, apa karena waktu momentum setelah Pilpres selesai,” ucap Sanur saat ditemui di Samarinda pada Selasa, (14/01/2025).
Momentum penghapusan setelah 32 permohonan menjadi pertanyaan baginya. Apakah karena Jokowi tidak lagi berkuasa? Apakah karena Prabowo sudah terpilih? Atau karena hakimnya yang berbeda? Yang jelas, ada sisi politik di MK yang kuat.
“Itu saya memandang ada pertanyaan, mengapa yang sebelumnya tidak dikabulkan menjadi dikabulkan begitu,” katanya.
Terlepas dari itu, ia pun mengapresiasi penghapusan ambang batas itu terlepas dari faktor politis. Sehingga menjadi suatu ruang baru demokrasi yang selama ini mengganjal dan menjadi poin yang merusak demokrasi sekarang.
Walaupun kemudian keputusan tersebut menyelesaikan masalah, sayangnya tidak menyelesaikan sepenuhnya. Ada masalah lain yang bertentangan dengan konstitusi, yaitu permasalahan partai politik.
Partai politik justru dipersyaratkan begitu rumit dengan administrasi yang mencekik. Sehingga tidak mudah membangun partai politik karena perlu modal yang besar. Sedangkan sumber uang partai politik tidak banyak diketahui darimananya. Dengan itu, praktek korupsi bisa saja terjadi bermula dari partai politik itu sendiri.
Memandang kemungkinannya ada dieksekusinya keputusan tersebut di tangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah, Sanur mengaku cukup khawatir.
“Tapi memang saya curiga dan khawatir DPR dan pemerintah akan mengotak-atik ini (Penghapusan Presidential Threshold oleh MK). Malah akan dibuat persyaratan-persyaratan baru,” tutupnya.
Pewarta : K. Irul Umam
Editor : Nicha R