SAMARINDA—Kenaikan 8 persen partisipasi masyarakat Kota Samarinda sempat diapresiasi oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Samarinda, Firman Hidayat. Ia mengatakan ada penambahan positif daripada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebelumnya di tahun 2020.
“Meski belum menyentuh target nasional. Ada penambahan yang positif jika disandingkan dengan Pilkada 2020,” begitu kata Firman seusai pleno rekapitulasi pada Jum’at, (6/12/2024).
Walaupun mengalami kenaikan, nyatanya tingkat partisipasi Kota Samarinda menjadi yang terendah. Betapa tidak, persentase partisipasi Pilkada serentak 2024 hanya menyentuh di angka 50 persenan, jauh dari 9 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur.
Jika diakumulasikan, tingkat partisipasi Pilkada tahun ini secara keseluruhan di Kaltim berada di angka 77,5 persen. Dengan Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) sebagai yang terbanyak, yaitu 80,6 persen dan 79,6 persen. Sisanya ada Kabupaten Kutai Barat (Kubar) 74,9 persen, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) 70,3 persen, Kota Bontang 71,4 persen.
Sedangkan Kota Balikpapan mencapai 60,5 persen, Kabupaten Berau 67,7 persen, Kabupaten Paser 67,7 persen, Kabupaten Kutai Timur 67,8 persen, dan Kota Samarinda hanya 59,7 persen.
Secara perbedaan, Kota Samarinda sendiri diisi oleh pasangan calon (Paslon) tunggal. Andi Harun dan Saefuddin Zuhri yang berhadapan dengan kotak kosong. Namun pengamat politik yang juga seorang akademisi, Tino Tindangen mengatakan justru hadirnya kolom kosong tidak berdampak banyak terhadap tingkat partisipasi yang rendah.
“Kritiknya, kolom kosong itu semacam tanda bahwa bahkan dengan kolom kosong pun dia bisa di atas 10 persen. Berarti memang ada tegangan dari masyarakat yang tidak suka (Dengan kepemimpinan Andi Harun) tapi tidak bisa dipresentasikan dengan kotak kosong,” jelas founder Aliansi Diskusi Samarinda tersebut.
Terbukti, Andi Harun dan Saefuddin Zuhri hanya mendapat 300 ribu lebih suara dibanding dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kota Samarinda yang mencapai 600 ribu lebih. Bisa dibilang, Andi Harun mendapatkan setengah suara dari sepenuhnya suara masyarakat. Belum lagi 40 ribu lebih suara berpihak kepada kolom kosong.
“Politik itu tergantung metode kampanye,” tambahnya.
Tino menganggap pemilih pemula tidak bisa disalahkan atas rendahnya tingkat partisipasi Pilkada di Samarinda. Bagi Tino, Gen-Z (Generasi yang lahir tahun 1996-2012) semestinya menjadi kekuatan terbesar penyumbang suara. Tetapi faktor bahasa kampanye bisa jadi mengakibatkan pemilih muda enggan ambil bagian dalam Pilkada.
Media Kaltim sempat mewawancarai Gen-Z, Azkil (23), yang mengatakan ia tidak ingin menggunakan hak suaranya karena Paslon yang dipilih tetap sama saja.
“Untuk apa memilih 2 paslon yang visinya sama saja dan ujung-ujungnya juga sama saja, mending tidur,” ucap Azkil.
Tidak hanya Azkil. Ardan (23) juga tidak menggunakan hak pilihnya karena lebih memilih kerja di hari libur dan mendapatkan bonus, daripada ikut datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Perusahaan menawarkan gaji harian di tanggal merah, jadi aku kerja aja,” ujarnya.
Memandang fenomena itu, menurut Tino ada hal lain yang mengakibatkan partisipasi yang rendah. Dekatnya momen Pemilihan Presiden (Pilpres) dengan pilkada bisa jadi penyebabnya. Demikian masih ada sikap belum “Move on” dari pendukung yang kalah di Februari lalu. Koalisi Indonesia Maju (KIM) akhirnya mengikutcampuri kontes politik daerah yang membuat kelompok yang kalah merasa enggan.
“Dampak psikologis dari Pilpres masih terbawa,” tekan Tino.
Kejenuhan akibat situasi Pilpres lalu merupakan akibat nyata dari turunnya tingkat partisipasi masyarakat. Sebab peristiwa yang terpaut 10 bulan tersebut, menyisakan berbagai ketegangan hingga di daerah.
Perpindahan dukungan hingga bersebrangnya partai koalisi setelah Pilpres memberikan pandangan lain soal situasi politik yang seakan kian rancu.
Terlepas dari itu, situasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) ternyata-pun tak dapat memberikan dorongan ke masyarakat untuk memilih ke TPS. Dilematis masyarakat antara sang petahana yang dianggap belum memberikan kesan saat memimpin hingga sang penantang baru, Rudy-Seno, juga dianggap tidak memberikan sosok yang tepat untuk menggantikan sang petahana, Isran-Hadi.
“Samarinda memang dulu adalah episentrum politik Kaltim. Memang juga ada jarak antara Samarinda dengan 9 Kabupaten/kota lain. Selain karena jumlah penduduk yang banyak, walaupun juga jumlah penduduk tidak mempengaruhi kualitas pemilihnya,” ujar Tino.
Menurutnya, bukan soal tingkat kecerdasan yang tinggi soal politik yang membuat Samarinda menjadi pembeda. Tino menyebut, kultur politik Kota Samarinda sangatlah berbeda dengan kota atau kabupaten lain. Di mana kabupaten atau kota lain masih nampak corak feodalisme lebih kental di daerah lain daripada Samarinda.
Kejenuhan politik akibat dekatnya pilpres lalu serta budaya politik yang berbeda di Kota Samarinda menghasilkan tingkat partisipasi yang rendah. Tino menjelaskan dampak dari tingkat partisipasi yang rendah ada dua, yaitu alarm bahaya terhadap demokrasi dan adanya kritik terhadap demokrasi itu sendiri.
“Demokrasi kita hanya berujung pada pilih atau enggak pilih. Di hari H pilih ini, sebagai hak masyarakat untuk memilih. Tapi dalam praktiknya sama sekali tidak demokratis, praktiknya malah feodal. Feodal itu praktik yang jauh dari kontestasi gagasan,” tutup Tino.
Pewarta : K. Irul Umam
Editor : Nicha R