Mereka hanya petani,
mereka juga wong cubung,
mereka sedang berusaha merawat tanah kehidupan,
dan mereka melawan dengan menanam.
Bumi Pertiwi itu Luas, Tapi Tidak untuk Wong Cubung
Bumi pertiwi memang luas, lebih dari sekadar peta yang dapat ditemui dalam ukuran cetak yang acapkali sudah dapat membuat mata takjub saat melihat. Namun, dalam realitasnya luas tanah yang dimiliki tidak berbanding lurus nan apik terhadap kesejahteraan penduduk di dalamnya. Masifnya mega proyek atas pembangunan infrastruktur yang hadir semakin menyempitkan ruang hidup disertai dengan kekerasan yang mengganggu, intimidasi yang menakuti, hingga keselamatan yang dipandang sebelah mata. Hal ini yang dirasakan selama 15 tahun oleh para petani dari pesisir Kulon Progo, Yogyakarta dalam perlawanan mereka menolak rencana perusahaan penambang pasir besi di lahan garapan yang merupakan nyawa kehidupan mereka.
Ruang hidup yang menjadi nyawa mereka kini terancam oleh mega proyek pihak Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, didukung Kraton Yogyakarta dengan investor dari Australia atas rencana penambangan pasir besi di lahan yang mereka garap. Pertambangan itu dioperasikan oleh PT Jogja Magasa Iron (JMI) yang memiliki izin kontrak karya hingga tahun 2038, dengan wilayah konsesi tak kurang dari 2.900 (Serunai, 2022). Gemerlap proyek tersebut kemudian menjadi alasan terbentuknya Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) pada 1 April 2007 yang beranggotakan ribuan petani pesisi Selatan itu.
Semakin terancamnya ruang hidup yang mereka miliki, wong cubung turut bertransformasi dengan kuat dari akar rumput untuk terus merawat ruang hidup untuk kehidupannya.
Bingkai Representasi Wong Cubung
Wong cubung, entah kalian mengenal mereka atau tidak, yang jelas wong cubung telah hadir lama dalam kehidupan yang bahkan turut menghidupi kehidupan antar manusia. Representasi atas sebutan peyoratif tersebut ditujukan kepada masyarakat pesisir Kulon Progo yang berstrata sosial terbawah, memiliki keterbelakangan ekonomi, dan pendidikan, memiliki penyakit kulit dan mata. Jika diulas terkait representasi dalam kajian media dan budaya, Stuart Hall (1997) menyebutkan bahwa, representasi adalah proses untuk memproduksi makna dari konsep yang tertanam di dalam pikiran melalui bahasa. Dalam proses pemaknaan tersebut akan sangat bergantung pada latar belakang pengetahuan dan pemahaman suatu kelompok sosial terhadap tanda yang dimaknai. Kelompok tersebut harus memiliki pengalaman yang sama untuk memaknai sesuatu dengan cara yang serupa.
Representasi atas sebutan wong cubung kemudian dapat terlihat melalui bagaimana dua sistem dalam kajian representasi oleh Hall terbentuk, yakni melalui representasi mental dan bahasa sebagai tanda. Representasi mental akan melihat konsep tentang sesuatu terbentuk atas pikiran dan kesadaran yang melingkupi, bagi petani pesisir (wong cubung) sebutan tersebut hadir melalui pengalaman dan sejarah perjuangan untuk bertahan dari gilasan kapitalisme global atas rencana pertambangan pasir besi. Lalu, jika ditilik melalui representasi bahasa, kontruksi atas sebutan tersebut terbentuk dari konsep abstrak yang ada dalam pikiran kemudian diterjemahkan dalam bahasa yang lazim agar menghubungkan relasi antara ‘sesuatu’, ‘peta konseptual’, dan ‘bahasa’ serta bagaimana pertarungan sosial atas peristiwa yang menimpa para petani yang menimbulkan pendefinisian realitas terkait sebutan “wong cubung”. Awalnya istilah itu menandakan keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Namun, lambat laun istilah tersebut turut menjadi pemantik atas kesadaran mereka dalam memajukan ruang hidup melalui pertanian pesisi secara mandiri bermodal lahan pasir tandus, terik matahari serta tekad untuk maju.
Pembahasan representasi mental dan bahasa dari sebutan wong cubung di atas terekam dalam obituari Dialog Wong Cubung terus membangkitkan api perlawanan atas realitas yang terjadi dalam mempertahankan ruang hidup yang dimiliki.
Menanam adalah Melawan
Kedua sistem atas representasi yang telah di bahas sebelumnya, diperinci oleh salah satu pendekatan atas Teori Representasi oleh Hall, yakni pendekatan reflektif. Hal ini, akan bermuara pada satu tujuan atau simbol yang terus dipertahankan melalui tindakan yang dilakukan oleh wong cubung, yaitu menanam (bertani). Pendekatan reflektif menyatakan bahwa makna dapat dipahami melalui objek seutuhnya, dalam hal ini makna-makna yang telah ada sesungguhnya telah memiliki makna serupa dengan objek. Bahasa bekerja dengan refleksi atau peniruan sederhana tentang kebenaran yang telah ada.
Representasi ini nampak pada bagian obituari Dialog Wong Cubung pada bagian yang berjudul Mengenang Widodo: Menanam adalah Melawan (MaM) oleh Sugeng Riyadi. MaM merupakan hasil dari catatan rutin Widodo mengenai berbagai pengalaman dan aktivitasnya, melalui catatan yang telah dibubukan tersebut dapat dijadikan sarana untuk mengkritisi para peneliti agrarian ataupun akademisi yang kerap bersebarangan dengan metode dan cara berpikir PPLP-KP dalam menafsirkan gerakan perlawanan yang dibangun. MaM berhasil dibukukan pada 2013 yang serta merta memuat wawancara dengan Widodo, dokumentasi surat-surat solidaritas, laporan analisis produksi pertanian PPLP-KP, dan naskah teater “Prahara Kulon Kono” oleh Widodo (Project Multatuli, 2022).
Lahan pertanian pasir basi tersebut mulanya tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, hingga pada 2000-an awal setelah Widodo memutuskan untuk pulang ke kampung halaman dan bertani, menampakkan hasil yang baik. Sejak saat itu pula, ia meneguhkan dirinya sebagai petani juga dibarengi oleh banyak orang di kampungnya. Para petani tak henti-hentinya mengusahakan pertanian di lahan pasir dengan berbagai eksperimen. Seperti diksi yang telah dipilih oleh Widodo dalam bukunya, “Menanam adalah Melawan” dapat diapahami sebagai satu gagasan yang merepresentasikan bahwa tindakan menanam atau bertani yang kerap dilakukan adalah satu tindakan perlawanan atas perjuangan mempertahankan ruang hidup yang dimiliki. Menanam adalah refleksi atas kegiatan sehari-hari guna bertahan hidup para petani di pesisir selatan jawa.
Proses untuk dapat menghidupi ruang hidup yang dimiliki tidak mudah, beragam usaha dilakukan. Misalnya, oleh Sukarman seorang petani yang getol dalam menghidupkan lahan pertanian pasir besi tersebut yang terinspirasi oleh tiga batang pohon cabai yang tumbuh di antara semak belukar di pesisir pantai. Sukarman berpikir jika tanaman cabai dipelihara dan dirawat dapat menghasilkan cabai yang baik, namun air menjadi penghambatnya. Ia mencoba untuk membuat sumur brunjung (sumur yang dibuat di pesisir dengan memanfaatkan anyaman bambu yang dilapisi plastik sebagai penyangga dinding sumur) di lahan pesisir sedalam 4 meter di lahan pasir dan mendapati air tawar yang jernih, dengan itu ia mulai menanam cabai di lahan pasir dan menghasilkan panen cabai pertamanya yang tak lebih dari 1 kilogram, keajaiban turut terjadi pada petikan keenam ia berhasil mendapatkan 17 kilogram.
Eksperimen yang dilakukan turut memantik semangat juang para petani pesisir lainnya untuk memikirkan bersama-sama bagaimana meningkatkan kualitas dan kuantitas produk hasil pertanian lainnya. Menanam seolah jadi satu harapan dan aksi nyata untuk menyelamatkan kehidupan segenap masyarakat di sana. Terbitnya buku MaM seakan menjadi sejarah bahwa perlawanan mereka berasal dari akar rumput yang menghidupi dan merawat setiap ingatan untuk menjaga perlawanan warga pesisir dari ancaman industri pertambangan.
“Kami sudah berhasil menggarap lahan yang sebelumnya tidak produktif menjadi lahan yang mendatangkan kemakmuran. Kini, di lahan pasir tempat kami hidup dan bertani apapun bisa tumbuh, kecuali tambang!”(Widodo, dalam berbagai forum dan Dialog Wong Cubung, 2022).
Mereka meyakini bahwa salah satu kekuatan utama untuk mencapai kekokohan gerakan adalah melalui kemandirian, untuk mempertahankan lahan adalah dengan tetap menanam sembari menggalang solidaritas seluas-luasnya. Melalui representasi menanam adalah melawan, Widodo dan segenap kamerad para pendahulu Paguyuban Petani Lahan Pantai-Kulon Progo berhasil membuka wadah perjuangan lainnya, yang mereka pertahankan tak lain dan tak bukan adalah ruang hidup dari rezim modal yang mengatasnamakan mega proyek sebagai pembangunan negeri, pemenuhan kepentingan umum, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Perjuangan mereka dari akar rumput, perjuangan mereka dari tapak ke tapak, perjuangan mereka terekam abadi melalui menanam adalah melawan.
Sumber Referensi
Afandi et al., 2022. Dialog dengan Wong Cubung.
Afandi, M. (2022, May 13). Menanam adalah melawan: Obituari Widodo, petani-pejuang dari pesisir kulon progo menentang kerusakan keraton yogya. Project Multatuli. https://projectmultatuli.org/menanam–adalah–melawan–obituari–widodo–petani–pejuangdari–pesisir–kulon–progo–menentang–kerakusan–keraton–yogya/
Hall, Stuart. (1997). Representation cultural representations and signifying practice. The Open University. Sage Publication. Ltd
Radja, I. G. S., & Sunjaya, L. R. (2024). Representasi Budaya Jember dalam Jember Fashion Carnival: Pendekatan Teori Representasi Stuart Hall. WISSEN: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 2(3), 13-20.
Saraswati, I. (2022, June 17). Widodo, jembatan petani pesisir kulon progo. Serunai.
https://serunai.co/2022/06/17/widodo%EF%BB%BF–jembatan–petani–pesisir–kulonprogo%EF%BB%BF/
Tim Kolaborasi Liputan Agraria. (2021, September 8). Was-was petani pesisir kulon progo kala lahan tani terancam tambang. Mongabay. https://www.mongabay.co.id/2021/09/08/waswas–petani–pesisir–kulonprogo–kala–lahan–tani–terancam–tambang–1/
Penulis:
Yaasiina Nur Laila Aprilia – 2202056001
Ilmu Komunikasi A 2022