Suhendri (80), membangun kawasan konservasi di sekeliling rumahnya. Menanami tumbuhan-tumbuhan yang biasanya terdapat di hutan. Kawasan seluas 1,5 hektare itu pun menjelma jadi hutan kota, karena keberadaannya di sekitar pemukiman.
Tempat tinggal Suhendri dan hutan kotanya terletak di Jalan Pesut, Kelurahan Timbau, Tenggarong, Kutai Kartanegara. Semula, areal tersebut merupakan lokasi pertanian. Namun tahun demi tahun, dikembangkan menjadi hutan kota. Dan kini menjadi kawasan konservasi.
Bukan hanya tumbuhan liar, ragam tanaman atau bunga hias terdapat di sini. Ada juga pohon damar dan ulin yang menjulang tinggi. Pada Jumat (17/7/2021) sore, Suhendri menerima kedatangan kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com di kediamannya.
“Karena lokasi ini di tengah pemukiman di Tenggarong, maka tercetus lah menjadi hutan kota,” terang Suhendri.
Pengagum Soekarno, presiden pertama RI ini, mengungkapkan jika ia hijrah ke Kaltim pada usia 38 tahun. Bersama istrinya, ia mengadu nasib sebagai petani pada akhir 1970-an. Tenggarong menjadi tempatnya mencari peruntungan.
Hitungan bulan, aktivitas bertani dilakoninya dengan tekun. Namun situasi saat itu belum sepenuhnya membuat nyaman. Maraknya penebangan hutan seiring melambungnya sektor perkayuan Kaltim kala itu membuat Suhendri cukup terusik.
Dari situ lah niatan Suhendri muncul memulai konservasi dan menanam pepohonan dengan tujuan melestarikan alam. Lahan tani yang digunakannya waktu itu dijalankan dengan perjanjian pinjam pakai dan bagi untung.
Pelan-pelan, Suhnderi mulai mengakuisisi. Hasil keuntungan bertani selama satu tahun disisihkannya. Hingga pada 1980, lahan 1,5 hektare tersebut dibelinya Rp 100 ribu. Hingga kini, total luas lahannya sudah 2,5 hektare.
Di kawasan itu, ditanaminya berbagai tumbuhan. Didominasi pohon damar dan ulin. Kebanyakan bibit tumbuhan didatangkan dari Pulau Jawa. Tak sedikit didapat dari bantuan. Seperti hibah Kementerian Kehutanan pada 1980, serta dari Institut Pertanian Bogor yang memberi tanaman berjenis Agathis Pinophyta. Tanaman tersebut umumnya tumbuh di ketinggian 700 meter dari permukaan laut namun tetap bisa tumbuh ketinggian 30 meter dari atas permukaan laut. “Dan ternyata tumbuh dengan subur,” ungkapnya.
Suhendri juga menanam tumbuhan endemik Kalimantan yaitu kayu ulin. Tanaman jenis Camellia Sinensis (tanaman teh) juga tumbuh subur di lahannya yang dipetak berukuran 10×10 meter. Banyak tumbuhan lain yang hanya terdapat di hutan primer, tumbuh subur di lahannya.
Seiring waktu, lahan yang ia miliki itu beberapa kali ditawar swasta. Dimaksudkan menjadi objek wisata alam karena memiliki keunikan. Namun demikian, tawaran Rp 10 miliar itu rupanya ditolak. Suhendri mengklaim usahanya itu bukan dimaksudkan untuk mendapat kekayaan.
Ketika memulai, Suhendri rupanya telah berjanji untuk terus merawat hutan mini itu. Keberadaannya terus terjaga selama 50 tahun. Sebagai lokasi edukasi, keberadaannya juga menjadi konservasi alam.
“Tujuan kami bukan uang. Tapi untuk menjaga alam dan mengenalkan kepada masyarakat,” jelasnya.
Dari hutan kota buatannya, tak sedikit akademikus perguruan tinggi dari dalam maupun luar Kaltim melakukan penelitian dan studi. Tak terkecuali lembaga pemerintahan terkait. “Sampai ada mahasiswa Jepang ke mari membuat skripsi S2,” ungkapnya.
Dari usahanya itu, Suhendri banyak diganjar penghargaan. Salah satunya dari Departemen Kehutanan pada Agustus 2008. Ia ditetapkan sebagai kader konservasi terbaik tingkat nasional.
Suhendri berharap usahanya itu bisa jadi inspirasi sekaligus menyadarkan banyak orang. Terutama oknum-oknum yang menebang hutan Kaltim selama ini dengan masif untuk berpikir ulang terkait risiko ke depan yang merugikan generasi mendatang.
“Tolong yang masih ada dipertahankan dan yang rusak diperbaiki. Jangan sampai Borneo yang disebut paru-paru dunia nanti tinggal cerita,” pungkasnya. (kk)