JAKARTA – Undang-Undang (UU) Narkotika telah berlaku selama 15 tahun tanpa perubahan, sementara perkembangan jenis narkotika kian beragam dan memunculkan tantangan baru. UU Narkotika saat ini dianggap tidak lagi memadai untuk menjadi dasar hukum dalam menindak pelaku penyalahgunaan narkotika jenis baru, seperti New Psychoactive Substances (NPS).
NPS adalah narkoba sintetis yang dirancang untuk lolos dari pengawasan hukum dengan memanfaatkan celah dalam daftar jenis narkotika yang diatur dalam UU. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat hingga 2024, terdapat 1.247 jenis NPS di dunia, dan 167 di antaranya telah terindikasi beredar di Indonesia.
Menurut Dr. Mohamed Zakir Karuvetil, Konsultan The National Addictions Management Service, Singapura, NPS secara kimiawi menyerupai narkotika kuat seperti metamfetamin, heroin, ganja, dan kokain, tetapi memiliki efek yang lebih buruk.
Kelebihan Kapasitas Lapas dan Masalah Penegakan Hukum
Masalah narkotika tidak hanya menyangkut zat baru, tetapi juga dampaknya terhadap lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia. Data Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) per April 2024 menunjukkan, penghuni lapas dan rutan mencapai 271.385 orang, jauh melampaui daya tampung sebesar 140.424 orang. Dari jumlah tersebut, 52,97 persen atau 135.823 orang adalah narapidana kasus narkoba.
Kondisi ini membuka celah bagi pengendalian jaringan narkotika dari dalam lapas oleh narapidana yang masih memiliki akses komunikasi. Revisi UU Narkotika diharapkan dapat mengatasi masalah ini melalui penerapan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) bagi pengguna narkotika.
Pendekatan ini mengutamakan rehabilitasi bagi pengguna dibanding hukuman penjara, sementara sanksi tegas tetap diberikan kepada kurir dan bandar narkotika. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kepadatan lapas dan mencegah peredaran narkotika dari dalam rutan.
Keadilan Restoratif untuk Pengguna Narkotika
Keadilan restoratif bertujuan memulihkan kerugian akibat kejahatan dengan melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat. Dalam revisi UU Narkotika, pendekatan ini diharapkan menjadi payung hukum kuat untuk menangani pengguna narkotika.
Rancangan UU (RUU) Narkotika dan Psikotropika, yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025–2029, diharapkan segera disahkan untuk memperkuat implementasi keadilan restoratif.
Namun, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengingatkan bahwa pendekatan ini hanya dapat diterapkan pada pengguna, bukan kurir atau bandar narkotika. Ia juga menggarisbawahi pentingnya kehati-hatian dalam penerapan keadilan restoratif untuk menghindari resistensi masyarakat terhadap fasilitas rehabilitasi.
Belajar dari Portugal
Indonesia dapat belajar dari Portugal, yang berhasil menurunkan prevalensi penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan dekriminalisasi. Pecandu narkotika di Portugal yang tertangkap dengan persediaan kurang dari 10 hari pemakaian diarahkan ke Commision for the Dissuassion of Drug Addiction (CDA) untuk rehabilitasi.
Keberadaan CDA di Portugal mirip dengan Tim Asesmen Terpadu (TAT) di Indonesia, tetapi CDA memiliki landasan hukum yang lebih kuat karena diatur dalam undang-undang. Revisi UU Narkotika diharapkan dapat memperkuat peran TAT sehingga lebih efektif menangani pengguna narkotika.
RUU ini juga diharapkan dapat menjadi langkah besar dalam memerangi penyalahgunaan narkotika hingga ke akarnya, sekaligus menciptakan sistem hukum yang lebih manusiawi bagi para pengguna narkotika.
Oleh Agatha Olivia Victoria
Editor : Achmad Zaenal M