spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Harga Batu Bara Melambung, Illegal Mining Makin Mengancam

SAMARINDA – Rekor harga tertinggi batu bara dunia pecah di tengah serbuan pandemi Covid-19. Terus merangkak sejak April lalu, harga future (kontrak) emas hitam pada Senin, 12 Juli 2021, menembus USD 143 (sekitar Rp 2 juta) per metrik ton. Harga komoditas ini naik 138 persen hanya dalam 10 bulan.

Meroketnya harga batu bara terpantau dari bursa ICE Newcastle, satu dari antara bursa yang menentukan harga komoditas energi di pasar dunia. Menurut catatan ICE Newcastle, harga pada Senin ini adalah yang tertinggi dalam sejarah. Angka USD 143 per ton memecahkan rekor tertinggi pada Januari 2011 yang sebesar USD 137 per ton. Harga batu bara yang makin prima diikuti pula kenaikan harga batu bara acuan (HBA). Jika HBA pada Juni 2021 sebesar USD 100 per ton, HBA pada Juli 2021 menjadi USD 115 per ton.

Menurut keterangan tertulis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kepada sejumlah media nasional, harga batu bara yang membumbung disebabkan kenaikan permintaan sejumlah negara Asia Timur. Paling besar adalah Tiongkok yang sedang menggenjot pembangkit listrik untuk aktivitas ekonominya.

“Tiongkok sedang kewalahan memenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri karena kendala operasional seperti kecelakaan tambang dan perubahan cuaca berupa hujan yang ekstrem,” demikian Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama, Kementerian ESDM, Agung Pribadi, masih dalam keterangan tertulis.

Di samping itu, permintaan dari Jepang dan Korea Selatan menunjukkan tren serupa. Demand yang semakin besar menyebabkan kenaikan harga batu bara di pasar dunia.
Kaltim jelas segera ketiban durian runtuh dari situasi ini. Dalam satu dekade terakhir, tujuan utama ekspor batu bara Kaltim adalah Tiongkok. Mengutip Badan Pusat Statistik Kaltim, ekspor nonmigas Bumi Etam ke Tiongkok menembus USD 434,63 juta. Sebagian besar adalah komoditas emas hitam.

Kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com pada Juni 2021, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Tutuk SH Cahyono, menilai bahwa gangguan di sisi penawaran disertai permintaan tinggi dari negara-negara empat musim melatarbelakangi fenomena tersebut. Menurut Tutuk, kenaikan harga batu bara diprediksi membawa peningkatan terhadap perusahaan.

Secara tidak langsung membawa efek kepada pekerja maupun masyarakat. “Akan tetapi, untuk perekonomian lokal, kenaikan harga batu bara belum berpengaruh signifikan,” jelasnya. Dasar asumsi Tutuk tersebut adalah pertumbuhan ekonomi Kaltim triwulan pertama 2021 yang turun 2,96 persen (year on year).

Harga batu bara dunia yang menari-nari di panggung tertinggi membawa kekhawatiran bagi pegiat lingkungan di Kaltim. Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, menilai bahwa melambungnya harga batu bara berpotensi menambah kerusakan lingkungan. Yang paling dikhawatirkan adalah aktivitas tambang ilegal.
“Situasi ini makin membuka peluang bagi pemain tambang ilegal untuk mendapatkan uang yang besar dan cepat. Aktivitas ilegal ini bisa menjamur,” terang Rupang kepada kaltimkece.id.

Pada Mei 2021, Jatam Kaltim telah melaporkan 21 titik aktivitas pengerukan batu bara yang diduga ilegal kepada Kepolisian Daerah Kaltim. Lokasinya berada di dua wilayah yakni Kutai Kartanegara dan Berau. Rupang mengatakan, mafia tambang ilegal sengaja memanfaatkan pandemi. Masalahnya, sambung Rupang, penegak hukum sedang sibuk mengawal PPKM dan Satgas Covid-19 sehingga kejahatan sumber daya alam tidak menjadi prioritas.

“Selama ini, kami tanya penegak hukum dan itu argumentasinya. Ditambah harga batu bara yang tinggi, celah pemain tambang ilegal mendulang uang makin lebar. Negara harus sadar situasi ini dengan menghentikan pesta mereka,” tegas Rupang.

Ia menambahkan, yang banyak tidak dibicarakan dari aktivitas tambang ilegal adalah laju kerusakan lingkungan yang tidak terpantau negara. Pengerukan ilegal tidak memiliki rencana kerja dan anggaran biaya selayaknya perusahaan yang sah. Tanpa rencana kerja, luas bukaan lubang tambang dan angka produksi tidak diketahui. Sumber biaya untuk pemulihan di lahan bekas tambang juga tidak ada. “Tambang ilegal sangat merugikan masyarakat dan lingkungan serta tidak memberi keuntungan kepada negara,” tutup Rupang. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti