Oleh: Kusno Yuli Widiati
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul)
Hampir semua orang Indonesia masih mengingat bahwa pada 10 November yang baru berlalu merupakan Hari Pahlawan Nasional yang dahulu kita peringati dengan cukup meriah. Waktu saya masih SD, sekitar tahun ’70-an, guru-guru meminta kami berpakaian ala pahlawan yang berjuang dengan membawa bambu runcing, dan kami berkeliling desa berjalan kaki sambil menyanyikan lagu-lagu wajib seperti “Satu Nusa Satu Bangsa,” “Bangun Pemudi Pemuda,” “Maju Tak Gentar,” “Berkibarlah Benderaku,” dan lagu lainnya yang bersemangat.
Kami tetap bersemangat meskipun jalan desa belum beraspal, hanya pengerasan penuh kerikil. Kebanyakan anak-anak berjalan bertelanjang kaki, bahkan pakai sandal jepit dianggap keren. Baju kami banyak yang lusuh karena rata-rata yang bersekolah di SD Negeri adalah anak buruh tani, penderes nira, dan pedagang kecil. Anak-anak para priyayi atau orang mampu tak sampai 5 persen. Jadi, saat memegang bambu runcing, kami tampak seperti kaum yang baru keluar dari hutan. Sayangnya, tak ada yang memiliki kamera saat itu. Memori tersebut hanya tersimpan rapi dalam benak kami yang mulai menua dan bersyukur belum pikun.
Kembali ke masa sekarang. Apakah ini hanya ilusi atau kenyataan bahwa generasi saat ini banyak yang tak memahami atau bahkan lupa akan Hari Pahlawan Nasional? Hidup mereka penuh dinamika media sosial. Bahkan, pada Hari Sumpah Pemuda, ketika saya meminta mahasiswa di kelas yang saya ajar untuk menyebutkan isi Sumpah Pemuda, banyak yang diam hingga saya berkata, āSilakan lihat Mbah Google.ā
Sambil mengerutkan kening, menyadari betapa waktu telah banyak berlalu, saya membuka kembali sejarah pertempuran dahsyat 10 November 1945 di Surabaya yang dipicu oleh kematian Brigadir Jenderal Mallaby pada 30 Oktober 1945. Hal ini membuat Inggris marah dan memberi mereka alasan untuk menekan Indonesia yang baru merdeka secara arogan. Namun, karena saya sering menonton film drama, membaca sejarah ini membuat pikiran saya terikut alur film.
Pikiran ini juga didukung oleh fakta bahwa penembak Jenderal Mallaby tidak pernah jelas siapa, hanya berdasarkan pengakuan orang lain, bukan pelaku sebenarnya. Menurut asumsi saya, para pejuang Indonesia terkenal agamis, bukan preman, dan tidak mudah mencabut nyawa seseorang, apalagi dalam waktu atau situasi yang sudah sepakat dengan isi perundingan. Mungkin saja saat itu ada provokasi dari pihak lawan yang disengaja untuk menciptakan pembenaran bagi pihak sekutu agar dapat kembali menjajah Indonesia.
Provokasi ini sesuai dengan hasil yang diharapkan sekutu, bila dilihat dari korban perang saat itu. Kurang lebih 20.000 warga Surabaya menjadi korban dan 1.600 tentara Inggris tewas. Rasio korban 12,5:1 menunjukkan lebih banyak rakyat sipil tak berdosa yang menjadi korban keganasan sekutu. Jadi, peristiwa 10 November 1945 bukan sekadar perang mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih dan harga diri bangsa, tetapi juga ada permainan manipulatif untuk kembali menjajah bangsa ini. Dan bagaimana dengan keadaan sekarang?
Permainan manipulatif saat ini semakin halus, tetapi mampu menyebar bagaikan virus yang sulit terdeteksi dengan bantuan teknologi digital. Penangkalan yang efektif akan berlaku bila kita mampu menyaring informasi secara logis dan berpikir cerdas. Hal ini terutama penting bagi warga Indonesia Raya yang sekarang cenderung mudah mempercayai rumor karena tingkat kepercayaan publik yang semakin rendah. Fenomena ini dipicu oleh kebijakan yang terus berubah tanpa memperhatikan aspirasi rakyat sesungguhnya.
Berbicara soal aspirasi rakyat, bulan November tahun ini juga merupakan waktu penting bagi kita untuk memilih pemimpin daerah. Hari yang seharusnya kita syukuri karena hal ini adalah salah satu keuntungan kita sebagai warga merdeka yang hidup di negara demokrasi berlandaskan Pancasila. Coba bayangkan jika kita tak merdeka atau tak mampu mempertahankan kemerdekaan, tak ada kesempatan memilih pemimpin yang kita inginkan berdasarkan pilihan hati.
Sesuai harapan para pejuang yang membuat kita hidup nyaman sekarang, sebagai bentuk penghormatan dan balas budi terhadap para pahlawan, minimal yang bisa kita lakukan adalah menjaga perilaku kita, termasuk memilih pemimpin yang bisa dipercaya. Jika kita bukan kerabat atau kenalan calon pemimpin, kita bisa melihat karakter mereka dari jejak digital atau tindakan yang mereka ambil selama kampanye.
Pembagian uang sesungguhnya merupakan penghinaan terang-terangan terhadap harga diri pemilih. Meskipun penerima uang mungkin berkata, “Ambil dulu, soal memilih urusan belakangan,” tidak sesederhana itu jika kita masih percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kehidupan setelah kematian. Uang akan cepat habis ketika dibelanjakan, tetapi dampak pemimpin yang lebih mementingkan modal dan praktik KKN akan berakibat panjang. Mulai dari dampak lingkungan, sosial, ekonomi, dan lainnya. Bukankah kita sudah merasakannya sekarang? Jadi, bukan hanya kesalahan pemimpin, sebagian besar adalah akibat dari ketidakpedulian kita terhadap masa depan.
Jika getaran perjuangan kemerdekaan dan khususnya Hari Pahlawan di bulan November masih berdetak dalam jiwa kita, mari berusaha memilih calon pemimpin yang terbaik. Aspirasi kita akan tertampung lancar seperti air hujan deras yang mengalir di saluran bebas sampah.
Misalnya, meski hanya ada calon tunggal, tetapi ada gambar kosong untuk melampiaskan ketidakpuasan kita, apalagi jika ada beberapa calon. Pilihan yang diambil sejak keluar rumah harus jelas. Setiap langkah kita menentukan masa depan. Meskipun siapa pun pemimpinnya nanti terlihat tak berarti bagi kita rakyat kecil, justru kitalah yang paling besar menerima dampaknya.
Jadiā¦ ayo, kita siap-siap pada tanggal 27 November 2024 nanti. (*)
Referensi: